al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.
Shahih Tafsir Ibnu Katsir.
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.
Surat al-Baqarah.
Al-Baqarah, Ayat 30.
Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu?" Rabb berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. 2: 30)
Sikap dan Perkataan Para Malaikat Atas Diangkatnya Nabi Adam ('alaihis salaam) dan Keturunannya Sebagai Khalifah
Allah Ta'ala memberitahukan tentang karunia yang Dia anugerahkan kepada anak cucu Adam, berupa kehormatan bagi mereka dimana Allah membicarakan perihal mereka di hadapan para Malaikat sebelum mereka diciptakan. Dia berfirman: "Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat." Maknanya, wahai Muhammad, ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, dan ceritakan pula hal itu kepada kaummu. "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Yakni suatu kaum yang akan menggantikan kaum lainnya, kurun demi kurun dan generasi demi generasi (berkesinambungan). Sebagaimana Allah berfirman: "Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi." (QS. Al-An'aam: 165)
Allah berfirman: "Dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi." (QS. An-Naml: 62)
Allah juga berfirman: "Dan kalau Kami berkehendak, benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi Malaikat-malaikat yang turun-temurun (generasi) pengganti." (QS. Az-Zukhruf: 60)
Dan Allah berfirman: "Maka datanglah sesudah mereka (pengganti)." (QS. Maryam: 59)
Yang jelas, bahwa yang dikehendaki oleh Allah bukan hanya Adam ('alaihis salaam) saja. Karena jika yang Dia maksud hanya Adam, niscaya tidak akan tepat pertanyaan Malaikat: "Mengapa Engkau jadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Artinya, maksud para Malaikat itu bahwa ada di antara jenis makhluk ini yang melakukan perbuatan tersebut. Seolah-olah para Malaikat mengetahui hal itu berdasarkan ilmu khusus, atau pengetahuan mereka tentang tabi'at manusia, karena Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada mereka bahwa jenis makhluk ini diciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, atau mereka memahami dari kata 'khalifah', yaitu orang yang memutuskan perkara di antara manusia tentang kezhaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka dan mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikatakan oleh al-Qurthubi.
Ucapan Malaikat tersebut bukan merupakan penentangan kepada Allah 'Azza wa Jalla, bukan pula kedengkian terhadap anak cucu Adam, sebagaimana yang disalahfahami oleh sebagian ahli tafsir, karena Allah telah menyifati para Malaikat sebagai makhluk yang tidak pernah mendahului-Nya dengan ucapan. Artinya, mereka tidak menanyakan sesuatu yang tidak Dia izinkan. Di sini, tatkala Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk di bumi, maka menurut Qatadah, para Malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi. Lalu Malaikat bertanya: "Mengapa Engkau hendak menjadikan ... dan menumpahkan darah?" Pertanyaan Malaikat ini hanya dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang terdapat di dalamnya. Seakan-akan para Malaikat itu mengatakan: "Wahai Rabb kami, apakah hikmah di balik penciptaan mereka, sedang di antara mereka ada orang-orang yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah? (130) Seandainya Engkau bermaksud agar mereka hanya beribadah kepada-Mu, maka kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Mu, yakni bershalawat atas-Mu, sebagaimana akan dijelaskan. Yakni, tidak mungkin hal-hal buruk semacam itu muncul dari kami, lalu mengapa tidak cukup kami saja (yang Engkau ciptakan untuk hanya beribadah kepada-Mu)?!"
Allah Ta'ala memberikan jawaban atas pertanyaan para Malaikat itu:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Artinya, Aku (Allah) mengetahui bahwa di balik penciptaan makhluk ini terdapat kemashlahatan yang lebih besar daripada sebagian kerusakan yang kalian sebutkan tadi. Kalian tidak mengetahui bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para Nabi dan Rasul yang diutus di tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka pun terdapat para shiddiqin, syuhada', orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang baik, orang-orang yang dekat kepada Allah, para 'ulama yang mengamalkan 'ilmunya, orang-orang yang khusyu', dan orang-orang yang cinta kepada-Nya Tabaaraka wa Ta'aala serta orang-orang yang mengikuti Rasul-rasul-Nya. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah atas mereka semua.
Sebuah hadits shahih menyebutkan bahwa jika para Malaikat naik menghadap Allah dengan membawa 'amal hamba-hamba-Nya, maka Dia akan menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih tahu tentang keadaan manusia: "Dalam keadaan bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?" Mereka menjawab, "Kami datang kepada manusia ketika mereka sedang mengerjakan shalat, dan kami tinggalkan mereka juga dalam keadaan mengerjakan shalat." (131)
Hal itu karena mereka datang bergiliran mengawasi kita, dan mereka berkumpul dan bertemu pada waktu shalat Shubuh dan shalat 'Ashar. Ketika sebagian di antara mereka tinggal untuk mengawasi, maka yang lainnya naik menghadap Allah dengan membawa 'amal hamba-hamba-Nya. Sebagaimana Nabi 'alaihish shalaatu was salaam bersabda:
"Amalan malam hari diangkat kepada-Nya sebelum siang, dan 'amalan siang hari sebelum malam." (132)
Perkataan Malaikat bahwa mereka datang kepada manusia ketika mereka sedang shalat dan meninggalkan mereka juga dalam keadaan mengerjakan shalat, merupakan salah satu tafsir firman Allah kepada mereka: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna jawaban Allah kepada mereka: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui," adalah sesungguhnya Aku mengetahui hikmah secara rinci di balik penciptaan mereka. Meski keadaannya seperti yang kalian sebutkan itu, namun kalian tidak mengetahuinya.
Pendapat lain mengatakan bahwa hal itu merupakan jawaban atas ucapan para Malaikat: "Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu," maka Dia berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Yakni, kalian tidak mengetahui keberadaan iblis di antara kalian, dimana iblis itu tidak seperti yang kalian sifatkan untuk diri kalian, (karena iblis tidak bertasbih dengan memuji dan menyucikan Aku, -pent).
Pendapat lain menyebutkan bahwa dalam ucapan para Malaikat yang terdapat dalam firman Allah: "Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu," terkandung permohonan kepada Allah agar mereka (Malaikat) ditempatkan di bumi sebagai pengganti Adam dan anak keturunannya. Maka Allah berfirman kepada mereka: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Maksudnya, menetapnya kalian di langit itu lebih maslahat dan lebih layak untuk kalian. Pendapat ini dikemukakan oleh ar-Razi, serta masih ada pendapat-pendapat lainnya. Wallaahu a'lam.
Kewajiban Mengangkat Khalifah dan Beberapa Masalah yang Menyangkut Kekhilafahan
Al-Qurthubi dan yang lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya mengangkat khalifah untuk memutuskan perkara di tengah ummat manusia dalam perkara yang mereka sengketakan, memutuskan perkara yang mereka perebutkan, juga menolong orang yang teraniaya dari orang yang menzhaliminya, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan perkara-perkara penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya imam (pemimpin). Dan sesuatu yang sebuah kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu juga merupakan hal yang wajib.
Metode Pengangkatan Khalifah, -pent.
Imamah (kepemimpinan) itu dapat dicapai melalui beberapa cara:
1. Dengan nash, sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa 'ulama Ahlus Sunnah tentang pengangkatan Abu Bakar ra-dhiyallaahu 'anhu.
2. Melalui penunjukan, seperti penunjukan kepada Abu Bakar menurut pendapat yang lainnya.
3. Melalui pelimpahan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap 'Umar bin al-Khaththab ra-dhiyallaahu 'anhu.
4. Dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Umar bin al-Khaththab.
5. Dengan kesepakatan bersama dari ahlul hilli wal 'aqdi (orang-orang pilihan yang terdiri dari ulama dan tokoh terkemuka yang mewakili kaum muslimin) untuk membai'atnya (yang dengan orang-orang inilah kesepakatan dapat mudah dicapai).
6. Dengan bai'at salah seorang dari mereka, maka wajib mengikutinya menurut pendapat jumhur.
Syarat-syarat Seorang Imam (Pemimpin), -pent.
Imam (pemimpin) haruslah seorang laki-laki, merdeka, baligh, berakal, muslim, adil, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, memahami strategi perang, dan berwawasan luas serta berasal dari suku Quraisy menurut pendapat yang shahih. Namun tidak disyaratkan harus berasal dari keturunan Bani Hasyim dan tidak harus seorang yang ma'shum (terjaga) dari kesalahan. Tidak seperti kekeliruan kaum rafidhah (syi'ah).
Jika seorang imam berbuat fasik, apakah dia harus dipecat?
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Dan yang benar, dia tidak harus dipecat. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, sedangkan kalian memiliki dalil dari Allah dalam hal kekufuran itu." (133)
Apakah seorang khalifah boleh mengundurkan diri?
Juga terdapat perbedaan pendapat. Al-Hasan bin 'Ali ra-dhiyallaahu 'anhuma telah mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Mu'awiyah (ra-dhiyallaahu 'anhu), tetapi hal itu didasarkan pada suatu alasan, dan karena tindakannya itu ia mendapatkan pujian.
Adapun mengangkat dua imam atau lebih secara bersamaan di muka bumi, maka hal itu tidak dibolehkan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Siapa saja yang mendatangi kalian ketika semua urusan sudah menyatu (di bawah seorang pemimpin) dengan maksud ingin memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah ia, bagaimanapun keadaan orang tersebut." (134)
Demikian menurut pendapat jumhur. Imam al-Haramain menghikayatkan dari al-Ustadz Abu Ishaq bahwasanya ia membolehkan dua imam atau lebih jika berbagai wilayah saling berjauhan dan berbagai daerah sudah terlalu luas. Namun, Imam al-Haramain masih bimbang dalam masalah ini.
Baca selanjutnya:
Kembali ke Daftar Isi Buku ini.
Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.
===
Catatan Kaki:
(130) Tafsiir ath-Thabari 1/464.
(131) Fat-hul Baari 8/417. Al-Bukhari no. 555.
(132) Muslim no. 179 dan Musnad Abi 'Awanah 1/145.
(133) Al-Bukhari no. 7056, dan Tafsiir ath-Thabari 1/477.
(134) Muslim 3/1470 No. 1852 dengan perbedaan lafazh.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.