Tuesday 28 February 2017

Melaksanakan sholat (sunnah) sebelum sholat 'Id, maupun setelahnya | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

16. Melaksanakan sholat (sunnah) sebelum sholat 'Id, maupun setelahnya.

Di antara kaum muslimin ada yang apabila telah tiba di musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), ia melakukan sholat (sunnah) dua roka'at. Sebagian dari mereka ada yang menjadikannya sebagai sholat Tahiyyatul Masjid, sedangkan sebagian yang lainnya menjadikannya sebagai sholat sunnah Qobliyah 'Id.

Dua hal tersebut adalah keliru, dikarenakan musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) bukanlah sebuah masjid, sehingga ada sholat Tahiyyatul Masjid baginya. Dan hal tersebut tidak pernah ada pada generasi Salaf (para pendahulu: Shohabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in -ed) yang mulia. Dan juga dikarenakan tidak ada sholat sunnah untuk sholat 'Id, baik Qobliyah maupun Ba'diyah.

Dalam kitab ash-Shohiihain, dari Ibnu 'Abbas ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, ia berkata, "Bahwa pada hari 'Idul Fithri Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam keluar (dari rumahnya menuju lapangan), kemudian Beliau sholat ('Id) dua roka'at. Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak melaksanakan sholat sebelumnya maupun setelahnya." (33)

Az-Zuhri rohimahuLLOOH berkata, "Aku belum pernah mendengar seorang pun dari para 'ulama kita menyebutkan bahwa seseorang dari para Salaf ummat ini pernah sholat sebelum maupun setelah sholat ('Id) tersebut." (34)

Ibnu Qudamah rohimahuLLOOH berkata, "Dimakruhkan sholat sunnah sebelum maupun setelah pelaksanaan sholat 'Id, baik imam maupun makmum di tempat pelaksanaan sholat. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhum." (35)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahuLLOOH berkata, "Kesimpulannya adalah bahwa tidak ada keterangan bagi sholat sunnah Qobliyah maupun Ba'diyah untuk sholat 'Id." (36)

===

(33) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Bukhori nomor 989 dan Imam Muslim nomor 884.

(34) Kitab al-Mughni 3/280.

(35) Kitab al-Mughni.

(36) Kitab al-Fat-h, mengenai syaroh hadits nomor 989.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Takbir bersama setelah pelaksanaan sholat lima waktu (pada hari-hari Tasyriq) | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

15. Takbir bersama setelah pelaksanaan sholat lima waktu (pada hari-hari Tasyriq).

Ibnul Hajj rohimahuLLOOH berkata, "Yang Sunnah adalah hendaknya imam bertakbir pada hari-hari Tasyriq, setiap selesai pelaksanaan sholat dengan takbir yang dapat didengar oleh dia sendiri dan yang di sampingnya. Para makmum pun bertakbir, setiap orang bertakbir untuk dirinya sendiri, tanpa mengikuti suara yang lainnya dengan takbir yang dapat didengar olehnya dan orang yang di sampingnya. Inilah yang Sunnah.

Adapun yang dilaksanakan oleh sebagian orang pada hari ini, yaitu apabila imam telah salam dari sholatnya, kemudian para muadzin bertakbir dengan koor, sementara itu orang-orang mendengarkan mereka, bahkan kebanyakan dari mereka tidak bertakbir. Seandainya salah seorang dari mereka bertakbir, maka ia pun bertakbir dengan mengikuti suara para muadzin itu. Semua perbuatan itu adalah bid'ah, disebabkan tidak pernah dinukil bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pernah melakukannya tidak juga salah seorang dari Khulafa ar-Rosyidin sepeninggal Beliau." (32)

===

(32) Kitab al-Madkhol 2/440.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Terbaginya manusia ke dalam dua kelompok di musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) 'Id, kedua kelompok tersebut saling bersautan dalam bertakbir | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

14. Terbaginya manusia ke dalam dua kelompok di musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) 'Id, kedua kelompok tersebut saling bersautan dalam bertakbir

Syaikh 'Ali Mahfuzh rohimahuLLOOH berkata, "Di antara bid'ah yang dimakruhkan (dibenci) adalah berkumpulnya orang-orang di masjid-masjid pada hari 'Id. Mereka terbagi pada dua kelompok, setiap kelompok saling bersautan dalam bertakbir dengan lafazh takbir yang telah ma'ruf. Yang sunnah adalah kaum muslimin bertakbir di rumah-rumah mereka dan di jalan-jalan serta di musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) secara sendiri-sendiri, sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab furu' (fiqih)." (31)

===

(31) Kitab al-Ibdaa' nomor 179.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Seruan untuk pelaksanaan sholat 'Id dengan seruan, "ash-Sholaatu Jaami'ah" | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

13. Seruan untuk pelaksanaan sholat 'Id dengan seruan, "ash-Sholaatu Jaami'ah".

Sebagian muadzin apabila tiba saat untuk sholat 'Id, ia berseru, "Ash-Sholaatu Jaami'ah, ash-Sholaatu Jaami'ah," hal ini adalah salah.

Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pernah terlambat hingga waktu pelaksanaan sholat 'Id telah masuk. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam langsung masuk ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), kaum muslimin berdiri dan bershoff pada tempat mereka masing-masing di saat mereka melihat Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, lalu Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pun sholat mengimami mereka tanpa iqomat dan tanpa seruan, "ash-Sholaatu Jaami'ah."

Jabir ro-dhiyaLLOOHU 'anhu berkata, "Tidak ada adzan untuk sholat 'Idul Fithri, baik di saat imam keluar ataupun setelah ia keluar, tidak juga iqomat, seruan, dan hal lainnya. Pada hari itu tidak ada seruan dan iqomat." (28)

Ibnu Qudamah rohimahuLLOOH berkata, "Berkata sebagian Shohabat kami, 'Diserukan untuk dilaksanakan sholat 'Id, 'ash-Sholaatu Jaami'ah', dan hal itu merupakan pendapat dari Imam asy-Syafi'i. Tetapi sunnah Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam adalah lebih berhak untuk diikuti (yaitu pada saat pendapat seorang imam bertentangan dengan sunnah Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam -pent)." (29)

Ibnul Qoyyim rohimahuLLOOH berkata, "Apabila Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tiba di musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam sholat ('Id) tanpa adzan dan iqomat. Juga tanpa seruan, 'ash-Sholaatu Jaami'ah'. Termasuk sunnah apabila tidak melakukan sesuatu pun dari hal tersebut." (30)

===

(28) Shohih. Hadits Riwayat Imam Muslim nomor 886.

(29) Kitab al-Mughni 3/268.

(30) Kitab Zaadul Ma'aad 1/442.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Monday 27 February 2017

Adzan dan iqomat untuk sholat 'Id | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

12. Adzan dan iqomat untuk sholat 'Id.

Sebagian orang melakukan adzan dan iqomat untuk sholat 'Id. Hal ini adalah salah, dikarenakan telah diriwayatkan bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam melakukan sholat 'Id tanpa adanya adzan dan iqomat.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Samuroh ro-dhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata:

"Aku sholat ('Id) bersama Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, bukan hanya sekali atau dua kali, (dilakukan) tanpa adanya adzan dan iqomat." (26)

Juga dalam ash-Shohihain, dari Ibnu 'Abbas dan jabir ro-dhiyaLLOOHU 'anhum, keduanya berkata, "Tidak pernah ada adzan pada hari 'Idul Fithri dan 'Idul Adh-ha." (27)

===

(26) Shohih. Hadits Riwayat Imam Muslim nomor 887 dan Imam at-Tirmidzi nomor 532.

(27) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Bukhori nomor 960 dan Imam Muslim nomor 886.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Pendapat yang menyatakan bahwa sholat 'id hukumnya adalah sunnah, tidak berdosa dengan meninggalkannya | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

11. Pendapat yang menyatakan bahwa sholat 'id hukumnya adalah sunnah, tidak berdosa dengan meninggalkannya.

Telah masyhur pada khalayak ramai bahwa sholat 'id itu hukumnya sunnah, tidak berdosa dengan meninggalkannya. Berdasarkan pendapat ini engkau melihat sebagian mereka sholat Fajar (Shubuh), kemudian tidur, lalu meninggalkan sholat 'id. Hal ini adalah suatu kesalahan, bahkan yang benar adalah bahwa hal itu wajib, berdosa dengan meninggalkannya, kecuali karena udzur.

Al-Kasani al-Hanafi rohimahuLLOOH berkata, "Diriwayatkan dari al-Hasan dari Abu Hanifah rohimahuLLOOH bahwa sholat 'id itu wajib bagi orang yang wajib baginya sholat jum'at." (22)

Ad-Dasuqi al-Maliki rohimahuLLOOH berkata, "Dikatakan bahwa sholat 'id adalah fardhu 'ain, hal ini dinukil oleh Ibnu Harits, dari Ibnu Habib. Dan dikatakan pula bahwa sholat 'id adalah fardhu kifayah, hal ini dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab al-Muqoddimaat." (23)

Al-Mardawi al-Hanbali rohimahuLLOOH berkata, "Sholat 'id adalah fardhu kifayah, sedangkan pendapat yang dipilih oleh asy-Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) adalah fardhu 'ain." (24)

Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) rohimahuLLOOH berkata, "Sholat 'id adalah fardhu 'ain. Hal ini merupakan pendapat dari Imam Abu Hanifah dan selainnya. Juga termasuk salah satu dari pendapat-pendapat Imam asy-Syafi'i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Adakah pendapat yang menyatakan tidak wajib, maka pendapat tersebut sangat jauh sekali. Hal itu dikarenakan sholat 'id merupakan bagian dari syi'ar Islam yang terbesar, dimana manusia berkumpul untuk sholat 'id dalam jumlah yang lebih banyak dari berkumpul untuk sholat jum'at dan juga disyari'atkan takbir padanya. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa sholat 'id adalah fardhu kifayah, maka pendapat tersebut tidak tepat. Hal itu disebabkan apabila dalam suatu kota besar ada empat puluh orang telah mendirikannya, maka belumlah tercapai tujuan dari sholat 'id itu. Dan sesungguhnya tujuan tersebut tercapai dengan hadirnya seluruh kaum muslimin, seperti pada sholat jum'at." (25)

===

(22) Kitab Badaa-i'ush Shinaa-i fii Tartiibisy Syaroo-i 1/275.

(23) Kitab Haasyiyah ad-Dasuqi 1/396 dinukil dari kitab Jaami' Ikhtiyaaroot Ibni Taimiyyah 1/258.

(24) Kitab al-Inshoof fii Mak'rifatir Roojih minal Khilaaf 2/420.

(25) Kitab Fataawaa Ibni Taimiyyah 23/161-162.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Menambah lafazh takbir dengan lafazh yang tidak dicontohkan | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

10. Menambah lafazh takbir dengan lafazh yang tidak dicontohkan.

Redaksi yang benar (yang dicontohkan) untuk takbir adalah:

ALLOOHU Akbar, ALLOOHU Akbar, Laa ilaaHa illaLLOOHU waLLOOHU Akbar, ALLOOHU Akbaru waliLLAAHIL hamdu.

"ALLOH Maha Besar, ALLOH Maha Besar, tidak ada ilah yang berhak di'ibadahi dengan benar, kecuali ALLOH dan ALLOH Maha Besar, ALLOH Maha Besar dan segala puji bagi ALLOH." (20)

ALLOOHU Akbaru kabiiroo, ALLOOHU Akbaru kabiiro, ALLOOHU Akbaru wa ajallu, ALLOOHU Akbaru waliLLAAHIL hamdu.

"ALLOH Maha Besar, ALLOH Maha Besar, ALLOH Maha Besar dan Maha Agung, ALLOH Maha Besar dan segala puji bagi ALLOH." (21)

Adapun lafazh yang ditambahkan kepadanya oleh sebagian manusia, di antaranya:

ALLOOHU Akbar kabiiroo, walhamdu liLLAAHI katsiiroo, wa sub-haanaLLOOHI wa bihamdiHi bukrotan wa a-shiilaa, laa ilaaHa illaLLOOHU wahdaH, shodaqo wa'daH, wa na-shoro 'abdaH, wa a'azza jundaH, wa Hazamal ahzaaba wahdaH.

Laa ilaaHa illaLLOOHU wa laa na'budu illaa iyyaaH, mukhli-shiina laHud diina wa law kariHal kaafiruun.

ALLOOHUmma sholli 'alaa sayyinaa muhammad, wa 'alaa aali sayyinaa muhammad, wa 'alaa ash-haabi sayyinaa muhammad, wa 'alaa an-shoori sayyinaa muhammad, wa 'alaa asy-yaa'i sayyinaa muhammad, wa 'alaa azwaaji sayyinaa muhammad, wa 'alaa dzurriyyati sayyinaa muhammad, wa sallama tasliiman katsiiroo.

Semua lafazh tambahan yang panjang tersebut bukanlah berasal dari riwayat (hadits), baik yang marfu' maupun yang mauquf, sepanjang yang aku ketahui.

Yang terbaik adalah mencukupkan diri bacaan takbir itu hanya dengan riwayat yang berasal dari Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam dan para Shohabat yang suci saja.

Semua kebaikan itu ada dalam mengikuti generasi terdahulu

Dan semua keburukan itu ada dalam mengikuti generasi belakangan.

===

(20) Shohih mauquf. Hadits Riwayat Imam Ibnu Abi Syaibah 2/2 dan Imam al-Baihaqi 3/315, "Sanadnya shohih." Demikian yang dikatakan oleh Imam al-Albani dalam kitab al-Irwaa' 3/126. Al-Muhamili berkata, "Sanadnya shohih."

(21) Shohih mauquf. Al-Muhamili berkata, "Sanadnya shohih." Maka dua atsar (riwayat dari Shohabat) tersebut adalah shohih mauquf pada Ibnu 'Abbas rodhiyaLLOOHU 'anhu. Lihat kitab al-Irwaa' 3/126.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Pergi ke tempat sholat dengan diam (tidak bertakbir) | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

9. Pergi ke tempat sholat dengan diam (tidak bertakbir).

Sebagian kaum muslimin pergi ke lapangan tempat pelaksanaan sholat dengan diam tidak bertakbir, hingga mereka selesai melaksanakan sholat. Hal ini adalah keliru, yang benar adalah hendaknya seorang muslim bertakbir sejak berangkat keluar dari rumahnya, hingga sampai ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), dengan mengeraskan suara takbir, mensyi'arkan syi'ar Islam yang agung ini. ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Demikianlah (perintah ALLOH). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar ALLOH, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati."
(Qur-an Suroh al-Hajj: 32)

Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dengan sanad yang shohih, dari az-Zuhri rohimahuLLOOH bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam berangkat keluar pada hari 'idul Fithri dengan bertakbir, hingga sampai ke tempat sholat." (15)

Nafi rohimahuLLOOH berkata, "Abdulloh bin 'Umar rodhiyaLLOOHU 'anhuma berangkat keluar pada pagi hari 'id dengan mengeraskan takbirnya, hingga dia sampai ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat)." (16)

Ibnu Abi Musa rohimahuLLOOH berkata, "Orang-orang bertakbir saat mereka berangkat keluar dari rumah-rumah mereka untuk sholat 'id dengan menjahrkan (mengeraskan) suara takbirnya." (17)

Imam Ahmad rohimahuLLOOH berkata, "(Seseorang itu) bertakbir dengan mengeraskan suara, ketika berangkat keluar dari rumahnya, hingga tiba di musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat)." (18)

Imam Ibnu Qudamah rohimahuLLOOH berkata, "Hal tersebut diriwayatkan dari 'Ali, Ibnu 'Umar, Abu Umamah, Abu Ruhm, dan para Shohabat Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam." (19)

Hal itu pun termasuk pendapat 'Umar bin 'Abdil 'Aziz, Aban bin 'Utsman, dan Abu Bakar bin Muhammad, dan di'amalkan oleh an-Nakho'i, Sa'id bin Jubair, dan Ibnu Abi Laila. Juga merupakan pendapat Imam al-Hakim, Hammad, Imam Malik, Ishaq, dan Abu Tsaur.
===

(15) Shohih mursal. Imam al-Albani berkata dalam kitab al-Irwaa' 3/123, "Shohih mursal dan hadits ini memiliki hadits penguat dalam riwayat Imam al-Baihaqi 3/279, dari hadits Ibnu 'Umar rodhiyaLLOOHU 'anhuma."

(16) Hasan. Hadits Riwayat Imam al-Baihaqi 3/279 dengan sanad yang hasan.

(17) Kitab al-Mughni 256 dan 262.

(18) Kitab al-Mughni.

(19) Kitab al-Mughni.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Hadits Keenam | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

6. Hadits Keenam.

Dari Abu Abdillah An Nu'man bin Basyir (1) radhiyallahu 'anhuma berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga dari perkara-perkara yang syubhat tersebut maka berarti dia telah menjaga dien dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara yang syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja itu memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah itu adalah apa-apa yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasad. Dia adalah hati." (HR. Al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (1599)).

Syarah.

Hadits ini merupakan prinsip yang agung dalam dasar-dasar syari'ah. Abu Dawud As-Sajastani (2) berkata, "Islam itu berkisar pada empat hadits." Beliau menyebutkan salah satunya adalah hadits ini. Para ulama sepakat akan keagungan dan besarnya faedah dari hadits ini.

Sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam): "Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat" maksudnya adalah bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga macam.

Apa-apa yang telah disebutkan nashnya tentang kehalalannya berarti halal, seperti firman Allah:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu." (Al-Maidah: 5)

Dan firman-Nya:

"Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian." (An-Nisaa': 24)

dan semisalnya.

Apa-apa yang telah disebutkan nasnya tentang keharamannya berarti jelas haram, seperti firman Allah:

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan." (An-Nisaa': 23)

Firman Allah:

"Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram." (Al-Maidah: 96)

Demikian pula dengan diharamkannya perbuatan yang keji baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi serta setiap perbuatan yang Allah menetapkan sangsi tertentu ataupun mengancamnya dengan siksa maka ia adalah haram.

Adapun syubhat adalah setiap perkara yang masih dalam pembicaraan atau pertentangan dalil-dalilnya dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, menjauhi perbuatan syubhat ini adalah bentuk dari sikap wara'.

Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini. Sebagian berpendapat bahwa pada dasarnya itu adalah haram karena sebagaimana yang beliau sabdakan: "Berarti dia telah menjaga dien dan kehormatannya." Orang yang memegang pendapat ini berkata, barangsiapa yang tidak menjaga dien dan kehormatannya itu artinya dia terjerumus ke dalam yang haram. Namun yang lain berkata, "Pada asalnya ia adalah halal." Mereka menggunakan dalil sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan" hal ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya itu halal namun meninggalkannya adalah sikap wara' (kehati-hatian). Adapula yang berpendapat bahwa kata syubhat dalam hadits ini tidak bisa dikategorikan ke dalam yang halal ataupun yang haram, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menempatkannya antara yang halal dan yang haram. Maka sudah sepantasnya kita berlaku tawaqquf (berdiam diri) dan sikap ini merupakan wara' juga.

Telah disebutkan di dalam shahihain dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anhuma berkata, "Sa'ad bin Abi Waqash (3) dan Abdu bin Zam'ah (4) telah mengadu kepada Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) perihal anak laki-laki. Sa'ad berkata, 'Wahai Rasulullah, anak laki-laki ini adalah putra saudara laki-lakiku, Utbah bin Abi Waqash dia berkata kepadaku bahwa ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya.' Sedang Abdu bin Zam'ah berkata, 'Ini adalah saudarak laki-laki, wahai Rasulullah, ia dilahirkan di tempat tidur ayahku oleh ibunya.' Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kemiripan antara anak tersebut dengan Utbah. Maka Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, 'Dia untukmu wahai Abdu bin Zam'ah, anak itu untuk ibu yang melahirkannya, berhijablah darinya wahai Saudah.' (5) Maka sejak itu Saudah sama sekali tidak melihat anak laki-laki tersebut."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi bahwa anak tersebut bagi suami dari perempuan yang melahirkannya. Secara dhahir anak tersebut adalah anak dari Zam'ah dan berarti dia saudara laki-laki Saudah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau adalah putri dari Zam'ah, namun hal itu dilihat dari dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) memerintahkan Saudah berhijab dari anak tersebut (padahal secara dhahir ia adalah saudara laki-laki Saudah, -pent) karena masih adanya syubhat tentangnya. Hal ini sebagai sikap hati-hati dan merupakan bukti takutnya kepada Allah Azza wa Jalla. Sebab kalau saja anak itu sudah pasti anak dari Zam'ah menurut ilmu Allah Azza wa Jalla, sudah barang tentu beliau tidak memerintahkan Saudah untuk berhijab darinya sebagaimana beliau tidak menyuruhnya berhijab dari saudara-saudaranya baik Abdun maupun yang lain.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Adi bin Hatim (6), dia berkata, "Wahai Rasulullah, saya melepaskan anjing saya dengan menyebut basmalah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan." Beliau bersabda:

"Janganlah kau makan karena engkau hanya mengucapkan basmalah bagi anjingmu saja, sedangkan anjing yang lain tidak." (7)

Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) berfatwa kepadanya dengan hukum syubhat karena beliau khawatir jangan-jangan anjing yang menerka hewan buruan tersebut adalah anjing lain yang dilepas tanpa menyebut basmalah. Sehingga kedudukan hewan tersebut seperti kedudukan hewan yang disembelih untuk selain Allah. Allah berfirman tentang hal ini:

"Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan." (Al-An'am: 121)

Fatwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjadi dalil akan kehati-hatian terhadap perkara-perkara yang masih samar tentang halal haramnya karena ada sebab-sebab yang belum jelas. Inilah makna dari hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dan ambillah apa-apa yang tidak meragukanmu." (8)

Di antara ulama berpendapat bahwa syubhat itu ada tiga macam. Pertama, sesuatu yang telah diketahui manusia akan keharamannya tetapi ia ragu apakah masih tetap haram atau tidak. Misalnya, makan daging hewan yang tidak diketahui dengan pasti penyembelihannya, maka hewan semacam ini menjadi haram kecuali jika terbukti telah disembelih. Alasan dari pendapat ini adalah hadits Adi bin Hatim seperti tersebut di atas.

Kedua, sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kepastian kehalalannya. Seperti seorang laki-laki yang memiliki istri, namun ia ragu apakah dia telah menjatuhkan talak kepadanya ataukah belum, atau apakah istrinya berstatus budak apakah telah merdeka. Hal-hal semacam ini pada asalnya mubah sampai diketahui dengan jelas bahwa hal itu haram. Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci. (9)

Ketiga, seseorang yang ragu akan kedudukan sesuatu, apakah halal atau haram dan kedua-duanya adalah mungkin, sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal seperti ini lebih baik ditinggalkan, sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya tatkala beliau menemukan kurma di rumahnya beliau bersabda:

"Kalau saja aku tidak khawatir kurma ini dari harta zakat, niscaya aku telah memakannya." (10)

Akan halnya dengan orang-orang yang melewati batas dalam hal membatalkan sesuatu yang telah jelas halal karena adanya dugaan, maka tidak ada asalnya. Seperti orang yang tidak mau menggunakan air bekas yang ternyata masih suci dengan dalih takut najis. Atau tidak mau shalat di suatu tempat yang bersih dengan alasan jangan-jangan tempat tersebut ada bekas air kencing yang telah kering atau mencuci pakaian yang masih bersih karena khawatir terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, maka sikap semacam ini tidak layak untuk diikuti, karena sikap semacam itu merupakan waswasah (bisikan syetan agar manusia menjadi ragu) dari syetan, karena kasus-kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan syubhat sedikitpun, wallahu a'lam.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia" maksudnya adalah kebanyakan manusia tidak mengetahui tentang halal haramnya. Atau kalau tidak, mungkin ada yang mengetahui syubhat tersebut, dia mengetahui bahwa hal itu sulit dikembalikan karena belum jelas kedudukannya. Jika akhirnya dia mendapatkan atau menemukan dari mana asalnya, maka hilanglah status syubhat tersebut dan berubah menjadi halal atau haram. Ini merupakan dalil pula bahwa syubhat memiliki hukum khusus yang diterangkan oleh syari'at sehingga memungkinkan bagi sebagian manusia untuk mengetahuinya.

Adapun sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Barangsiapa yang menjaga dari perkara-perkara yang syubhat tersebut maka berarti dia telah menjaga dien dan kehormatannya" yakni barangsiapa yang meninggalkan apa-apa yang masih syubhat.

Sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara yang syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram" hal ini terjadi dalam dua keadaan.

Pertama, bahwa barangsiapa yang tidak bertakwa kepada Allah dan senang dengan perkara yang syubhat, maka ia akan terseret kepada yang haram dan meremehkan perkara-perkara yang syubhat akan membawa seseorang untuk meremehkan yang haram. Sebagaimana dikatakan sebagian ulama, "Dosa-dosa kecil akan menyeret ke dosa besar, sedangkan dosa besar akan menyeret kepada kekufuran" sebagaimana dikatakan, "Maksiat adalah perantara kekafiran." (11)

Kedua, bahwa orang yang paling banyak terjerumus ke dalam perkara syubhat adalah orang yang hatinya gelap karena tiadanya ilmu dan wara' di dalamnya. Sehingga dia terjerumus ke dalam perkara-perkara yang haram namun ia tidak menyadarinya. Terkadang mengambil sesuatu yang syubhat itu dianggap berdosa apabila menyebabkan ia menyepelekannya.

Sabda Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk ke dalamnya" ini adalah merupakan perumpamaan bagi apa-apa yang diharamkan Allah. Dahulu orang-orang Arab biasa membuat pagar agar hewan gembalaannya tidak masuk ke daerah larangan dan membuat peringatan dengan ancaman kepada siapa saja yang mendekati daerah tersebut. Maka orang yang takut dari hukuman penguasa akan menjauhkan hewan gembalaannya dari daerah larangan tersebut. Karena kalau mendekati daerah tersebut nyaris masuk ke daerah larangan tersebut. Terkadang penggembala hanya seorang diri sehingga tidak kuasa untuk mengendalikannya. Sebagai tindakan hati-hati, maka ia membuat pagar penghalang agar hewan yang digembalakan tidak mendekat ke daerah larangan yang berarti pula dia terhindar dari sangsi. Demikian halnya dengan larangan-larangan Allah seperti membunuh, riba, mencuri, minum khamr, menuduh (tanpa bukti), ghibah, mengadu domba dan sebagainya adalah merupakan perkara-perkara yang tidak layak bagi seseorang untuk berkeliaran di sekitarnya.

Makna kata "يُو شِكُ" adalah fi'il muqarabah (kejadian yang hampir terjadi), sedangkan makna "يَرْ تَعُ" (masuk) yakni akan makan di bagian daerah terlarang.

Sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad." Yang dimaksud mudhghah adalah sekerat daging, yang kadar kekenyalannya seperti sesuatu yang mampu di kunyah. Hadits ini menunjukkan akan sifat hati yang kecil bentuknya namun demikian besar peranannya. Hati merupakan inti, atau dinamakan dengan anggota badan yang paling terhormat karena begitu cepatnya terjadi perubahan-perubahan padanya. Ada yang bersenandung mensifatkan hati:

Tiada dikatakan qalb (hati) melainkan karena taqallubnya (mudahnya berbolak-balik).

Maka waspadalah terhadap hati akan perubahannya.

Allah mengistimewakan manusia dan hewan dengan anggota badan ini dan mempercayakannya untuk mengatur kemaslahatan yang dituju, sehingga anda mendapatkan binatang dengan berbagai macamnya itu mengetahui apa yang mendatangkan maslahat baginya dan dapat membedakan dari sesuatu yang membahayakan dirinya. Lalu Allah mengistimewakan akal bagi manusia dan menyandarkannya kepada hati. Allah Ta'ala berfirman:

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar." (Al-Hajj: 46)

Allah telah menjadikan anggota badan tunduk kepada hati, taat terhadap apa yang diputuskannya, perwujudan dhahir dari apa yang ada padanya dan mengamalkan sesuai dengan keadaannya, maka apabila hati baik, baiklah jasad dan apabila ia buruk, maka buruklah jasad. Jika anda memahami hal ini maka telah jelaslah sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasad. Dia adalah hati."

Kita memohon kepada Allah yang Maha Agung agar memperbaiki kerusakan hati kita, wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas dien-Mu, wahai yang mengendalikan hati, arahkanlah hatiku untuk mentaati-Mu.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Perawi hadits adalah Sayyidina Nu'man bin Basyir Al-Anshari Al-Khazraji, anak dari golongan Anshar yang lahir dalam Islam, beliau seorang yang fasih ditugaskan di Kufah dan Damsyiq, terbunuh di Syam tahun 64 H.

2. Beliau adalah Imam Sulaiman bin Asy'ats Al-Azdi As-Sajastani, seorang alim, salah seorang imamnya dunia, faqih, pandai, hafizh ahli ibadah, wara' dan teguh, wafat tahun 275 H.

3. Sa'ad bin Abi Waqash Az-Zuhri, mengikuti perang Badar, beliau termasuk satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk jannah, sahabat yang terakhir kali wafat dan beliau adalah orang pertama yang melemparkan panah fii sabilillah, faarisul Islam, satu di antara enam syura, menjadi panglima pasukan Islam dalam membuka kota Irak, wafat tahun 55 H dimakamkan di Madinah.

4. Abdu bin Zam'ah saudara sayyidah Saudah binti Zam'ah, ummul mukminin. Ibnu Abdil Barr berkata, "Beliau termasuk di antara pemimpin para sahabat."

5. Beliau adalah Ummul Mukminin Saudah binti Zam'ah bin Qais Al-Amiriyah, berhijrah ke Habsyah, Aisyah berkata, "Tiada seorang wanitapun yang aku ingin seperti dia melainkan Saudah" wafat pada masa khilafah Sayyidina Umar bin Khathab.

6. Adi bin Hatim Ath-Tha'i Al-Jawwad, menyaksikan ditaklukannya Mada'in hidup selama 120 tahun, wafat tahun 68 H.

7. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 175, Muslim no. 1929, Abu Dawud no. 2854, At-Tirmidzi no. 1470.

8. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

9. Bahwa ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dirinya seperti merasakan sesuatu tatkala shalat (ragu antara kentut dan tidak, -pent), maka beliau bersabda, "Janganlah membatalkan shalatnya hingga ia mendengar suara atau mencium baunya." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 137, Muslim 361).

10. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2055, Muslim 107.

11. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitsami, "Aku mengira ini adalah perkataan salaf."

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Hadits Kelima | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

5. Hadits Kelima.

"Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah Aisyah (1) radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami (dien) ini yang bukan dari kami maka tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat Muslim: "Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak."

Syarah.

Para ahli bahasa mengatakan bahwa makna radd adalah marduud (tertolak) yakni bathil dan tidak sah.

Sedangkan hadits Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "yang tidak ada perintah dari kami" yakni yang tidak kami tetapkan hukumnya.

Hadits ini merupakan kaidah yang agung di antara pedoman dien ini sekaligus menunjukkan jawami'ul kilmi (kalimat yang ringkas dan mudah tapi padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini menunjukkan sharihnya kebathilan (tertolaknya) seluruh bid'ah dan perkara-perkara yang baru (dalam urusan dien). Hadits ini merupakan dalil akan bathilnya seluruh perjanjian yang dilarang dan tidak ada buahnya. Juga dijadikan dalil para ahli ushul bahwa setiap larangan pastilah mengandung kerusakan (apabila dilanggar, -pent).

Di dalam riwayat yang lain "Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak." Dengan tegas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid'ah, baik yang dia ciptakan sendiri ataupun mengikuti orang sebelumnya. Sebab terkadang para pembangkang tatkala melakukan bid'ah dia berdalih, "Bukan saya yang mengada-adakan bid'ah ini" lalu dia berdalih dengan hadits di atas (yakni "Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami (dien) ini yang bukan dari kami maka tertolak," dia berdalih, karena dalam hadits ini yang tertolak amalnya adalah yang mengada-adakan bid'ah saja, -pent) maka hadits yang kedua yang diriwayatkan oleh Muslim ini sebagai bantahannya. Hadits ini sepantasnya untuk dihafal, disebarkan dan mempergunakannya untuk mencegah kemungkaran, karena hadits di atas menuntut semuanya itu.

Adapun hal-hal yang bukan merupakan pokok-pokok dien yang tidak keluar dari sunnah maka tidak termasuk yang tertolak seperti penulisan Al-Qur'an Al-Aziz dalam mushaf, ataupun pembukuan dari pendapat para ahli fikih mujtahidin yang mengembalikan perkara-perkara yang furu' kepada perkara-perkara yang ushul yakni sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Atau seperti penulisan bab-bab tertentu semacam ilmu nahwu, ilmu hisab, ilmu fara'idh dan ilmu-ilmu lain yang merujuk dan mendasarkannya kepada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan perintahnya, kesemuanya itu tidaklah terkena ancaman hadits di atas.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Perawi hadits adalah Ummul Mukminin As-Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu 'anhuma, Ummu Abdillah, seorang yang faqih rabbaniyah, wanita yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi bersabda tentang beliau: "Keutamaan Aisyah di atas seluruh wanita laksana keutamaan tsariid di atas seluruh makanan." Urwah berkata, "Aku tidak melihat orang yang lebih pandai tentang sya'ir dari Aisyah." Wafat tahun 57 H dimakamkan di Baqi'.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Sunday 26 February 2017

Mengkhususkan malam 'id untuk sholat malam | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

8. Mengkhususkan malam 'id untuk sholat malam.

Sesungguhnya sholat malam itu dianjurkan pada seluruh malam dalam setahun (12), terutama pada bulan Romadhon, berdasarkan riwayat yang terdapat dalam kitab ash-Shohiihain (Shohiih al-Bukhori dan Shohiih Muslim), bahwa Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang sholat malam di bulan Romadhon, karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampunilah dosanya yang telah lalu." (13)

Sholat malam tersebut lebih dianjurkan lagi dalam sepuluh hari terakhir pada bulan Romadhon, karena mengharapkan (bertepatan dengan saat) Lailatul Qodar, berdasarkan riwayat dalam ash-Shohiihain, bahwa Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang sholat malam di malam Lailatul Qodar, karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampunilah dosanya yang telah lalu." (14)

Adapun mengkhususkan Lailatul Qodar untuk sholat malam dengan anggapan bahwa malam tersebut memiliki keutamaan dari malam lainnya tanpa adanya dalil syari'at, maka hal ini adalah termasuk dari bid'ah yang diharomkan.

Termasuk juga (ke dalam kebid'ahan) apa yang kita lihat dari orang-orang yang bersemangat untuk sholat malam pada malam dua hari 'id, berkenaan dengan perbuatan itu, mereka menyebutkan tiga buah hadits:

1. Hadits 'Ubadah bin Shomith rodhiyaLLOOHU 'anhu secara marfu':

"Barangsiapa yang menghidupkan malam 'idul Fithri dan 'idul Adh-ha, maka hatinya tidak akan mati, di hari ketika banyak hati yang mati."

Derajat hadits tersebut adalah maudhu' (palsu).

Diriwayatkan oleh Imam ath-Thobroni dalam kitab al-Kabiir dan al-Ausath. Dalam sanadnya terdapat 'Umar bin Harun al-Balkhi.

Imam Yahya bin Ma'in berkomentar mengenainya, dengan komentar yang tegas, "Pendusta!"

Oleh karenanya Imam al-Albani berpendapat dalam kitab as-Silsilah adh-Dho'iifah, "(Hadits tersebut) maudhu'."

2. Hadits Abu Umamah rodhiyaLLOOHU 'anhu, secara marfu':

"Barangsiapa yang sholat malam di malam dua hari raya, karena mengharapkan pahala dari ALLOH, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika banyak hati yang mati."

Derajat hadits tersebut adalah dho'if jiddan (lemah sekali).

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah nomor 1782. Dalam sanadnya terdapat Baqiyyah bin al-Walid, ia seorang mudallis (menyembunyikan cacat hadits baik pada matan maupun sanad) yang meriwayatkan dengan 'an'anah.

Oleh karena itu, Imam al-Albani berkata dalam kitab adh-Dho'iifah nomor 521, "(Hadits tersebut) dho'if jiddan."

Imam al-'Iroqi berkomentar, "Sanadnya dho'if."

Imam al-Bushiri berpendapat, "Sanadnya dho'if, dikarenakan tadlis yang dilakukan oleh Baqiyyah."

3. Hadits Mu'adz rodhiyaLLOOHU 'anhu, secara marfu':

"Barangsiapa yang menghidupkan malam yang empat, maka ia berhak memperoleh Surga: malam Tarwiyah, malam 'Arofah, malam 'idul Adh-ha, dan malam 'idul Fithri."

Derajat hadits tersebut adalah maudhu'.

Imam al-Albani rohimahuLLOOH berkata, "Diriwayatkan oleh Nashrul Maqdisi dalam salah satu bagian dari kitabnya al-Amaalii 2/186, di dalam sanadnya terdapat 'Abdurrohman bin Zaid al-'Ami."

Imam Yahya bin Ma'in berkomentar (tentangnya), "Pendusta."

Di dalam sanadnya juga terdapat Suwaid bin Sa'id dan ia adalah dho'if.

Berkata Imam Ibnul Jauzi rohimahuLLOOH, "Hadits ini tidak shohih."

Imam al-Albani rohimahuLLOOH berpendapat di dalam kitab Silsilah adh-Dho'iifah nomor 522, "(Hadits tersebut derajatnya) maudhu'."

Telah jelas dari keterangan yang telah disebutkan bahwa ternyata tidak terdapat hadits shohih mengenai keutamaan menghidupkan dua malam hari 'id tersebut dan bahwa hadits-hadits yang terdapat mengenainya, semuanya adalah dho'if, tidak dapat dipakai sebagai hujjah dan tidak dapat dipakai untuk berdalil mengenai dianjurkannya sholat malam pada kedua malam 'id tersebut. Juga bahwa menghidupkan dua malam 'id tersebut tidak ada keutamaan di dalamnya dibandingkan malam-malam lainnya.

Maka barangsiapa yang memiliki kebiasaan sholat malam, kemudian pada kedua malam 'id tersebut ia mendirikan sholat malam karena ALLOH, maka hal itu merupakan kebaikan dan keberkahan, tetapi barangsiapa yang sengaja sholat pada kedua malam 'id tersebut, karena keyakinannya terhadap keutamaannya, maka hal ini adalah keliru dan dapat termasuk bid'ah.

===

(12) Lihat kitab Risalah al-Umuurul Muyassaroh li Qiyaamil Lail, oleh Penulis (Wahid 'Abdus Salam Baali)

(13) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Bukhori nomor 37 dan Imam Muslim nomor 760.

(14) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Bukhori nomor 1901 dan Imam Muslim nomor 760.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Tidak bertakbir pada hari-hari 'id | 50 Kesalahan dalam Berhari Raya

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

7. Tidak bertakbir pada hari-hari 'id.

ALLOH Ta'ala berfirman mengenai hari 'idul Fithri:

"Dan hendaklah kamu mengagungkan ALLOH atas petunjuk-NYA yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
(Qur-an Suroh al-Baqoroh: ayat 185)

ALLOH Ta'ala juga berfirman mengenai hari 'idul Adh-ha:

"Dan berdzikirlah (dengan menyebut) ALLOH dalam beberapa hari yang berbilang."
(Qur-an Suroh al-Baqoroh: ayat 203)

Waktu bertakbir untuk 'idul Adh-ha adalah dari saat (selesai) sholat shubuh hari 'Arofah hingga akhir hari-hari Tasyriq. Mengenai hal ini terdapat riwayat dari 'Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu 'Abbas rodhiyaLLOOHU 'anhum. (10)

Sedangkan waktu bertakbir untuk 'idul Fithri adalah dari tenggelamnya matahari pada akhir bulan Romadhon, hingga selesainya pelaksanaan sholat 'id.

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shohih, dari az-Zuhri:

"Pada hari 'idul Fithri, Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam berangkat keluar ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bertakbir hingga tiba di musholla, dan hingga selesai melaksanakan sholat ('id). Apabila Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam telah melaksanakan sholat Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam menghentikan takbir." (11)

===

(10) Shohih. Sanadnya dishohihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab al-Irwaa' 3/125.

(11) Shohih mursal. Imam al-Albani mengatakan dalam kitab al-Irwaa' 3/123, "Shohih mursal dan hadits ini memiliki hadits penguat yang baik, dari Ibnu 'Umar rodhiyaLLOOHU 'anhuma, dalam riwayat Imam al-Baihaqi 3/279.

===

Maroji':
Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Saturday 25 February 2017

50 Kesalahan dalam Berhari Raya (4-6)

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Mufti Hamdan.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

4. Makan sebelum berangkat ke Musholla (Lapangan tempat pelaksanaan sholat) pada hari 'idul Adh-ha.

Di antara orang-orang ada yang makan sebelum berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), pada hari 'idul Adh-ha. Ini adalah suatu kekeliruan, bahkan ia seharusnya tidak sarapan pagi terlebih dahulu, sampai selesai pelaksanaan sholat.

Dari Buroidah rodhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata,
"Pada hari 'idul Fithri, Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam tidak keluar (berangkat sholat), shingga Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam makan, sedangkan pada hari 'idul Adh-ha Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam tidak makan, hingga Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam selesai sholat." (5)

Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dengan redaksi:

"Pada hari 'idul Fithri, Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam tidak keluar, hingga Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam makan dan pada hari an-Nahr ('idul Adh-ha) Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam tidak makan, hingga Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam berkurban." (6)

5. Kembali dari musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) dari jalan yang sama.

Di antara orang-orang ada yang berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat), kemudian kembali darinya dengan menempuh jalan yang sama (seperti saat berangkat). Hal ini menyelisihi Sunnah.

Imam al-Bukhori telah meriwayatkan dari Jabir rodhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata:

"Pada hari 'id, Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam membedakan jalan (yang ditempuh antara saat berangkat dan kembali)." (7)

6. Berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) dengan berkendaraan tanpa adanya udzur.

Di antara mereka ada yang berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) 'id dengan berkendaraan (tanpa adanya udzur). Yang terbaik adalah hendaknya berangkat dengan berjalan kaki, kecuali apabila ada udzur, seperti jauhnya jarak dan semisalnya.

Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan yang dihasankan oleh Imam al-Albani, dari 'Ali bin Abi Tholib rodhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata:
"Termasuk sunnah, yaitu hendaknya engkau berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) 'id dengan berjalan kaki dan hendaknya engkau memakan sesuatu sebelum engkau berangkat keluar (pada saat 'idul Fithri -pent)." (8)

Imam at-Tirmidzi rohimahuLLOOH berkata, "Hadits ini hasan dan di'amalkan menurut kebanyakn ahli 'ilmu. Mereka menganjurkan agar seseorang berangkat keluar ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) dengan berjalan kaki dan agar memakan sesuatu sebelum berangkat keluar untuk sholat 'idul Fithri."

Imam at-Tirmidzi juga mengatakan, "Dan dianjurkan untuk tidak berkendaraan, kecuali dikarenakan udzur." (9)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(5) Hasan. Hadits Riwayat Imam at-Tirmidzi nomor 542, juga oleh yang lainnya. Dishohihkan oleh Imam al-Albani.

(6) Hasan. Hadits Riwayat Imam Ahmad nomor 21.964, dengan sanad yang hasan.

(7) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Bukhori nomor 986.

(8) Hasan. Hadits Riwayat Imam Ibnu Majah nomor 1296, dan Imam at-Tirmidzi nomor 530, dihasankan olehnya dan Imam al-Albani.

(9) Kitab Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Jumu'ah, bab Maa Jaa-a fil Masyi Yaumal 'iid.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya (1-3)

al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain.

50 Kesalahan dalam Berhari Raya.

Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali.

Mufti Hamdan.

Bab I.

Kesalahan-kesalahan seputar dua hari raya.

1. Tidak mandi untuk melaksanakan shalat 'id.

Di antara orang-orang (Islam) ada yang meremehkan urusan mandi dan bersuci untuk pelaksanaan shalat 'id. Ini adalah suatu kesalahan, bahkan ia dianjurkan mandi untuk pelaksanaan shalat 'id.

Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Zadzan, ia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada 'Ali radhiyallahu 'anhu mengenai mandi, 'Ali menjawab, 'Mandilah setiap hari jika kau mau.' Lalu orang itu berkata, 'Bukan itu, maksudku mengenai mandi (tertentu).' 'Ali menjawab, 'Yaitu, mandi hari jum'at, hari 'arafah, hari an-nahr ('idul adh-ha), dan hari 'idul fithri." (1)

2. Tidak memakai pakaian terbaik pada hari 'id.

Di antara kaum muslimin ada yang tidak memakai pakaian yang baru kecuali setelah pelaksanaan sholat 'id. Ini adalah suatu kesalahan, bahkan seharusnya ia memperbaiki penampilan (dengan memakai pakaian terbaik, mandi, dan memakai wewangian -penj).

Imam ath-Thobroni telah meriwayatkan dalam kitab al-Ausath, dengan sanad yang hasan, dari Ibnu 'Abbas rodhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata:

"Pada hari 'id, Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam mengenakan kain burdah merah." (2)

3. Tidak memakan beberapa butir kurma sebelum berangkat sholat pada hari 'idul Fithri.

Di antara orang-orang ada yang berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat) pada hari 'idul Fithri sebelum memakan sesuatu. Ini adalah suatu kekeliruan, bahkan ia disunnahkan untuk memakan beberapa butir kurma, sebelum berangkat ke musholla (lapangan tempat pelaksanaan sholat).

Imam al-Bukhori telah meriwayatkan dari Anas rodhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata:

"Pada hari 'idul Fithri, tidaklah Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam berangkat, melainkan setelah Beliau makan beberapa butir kurma." (3)

Dalam satu riwayat disebutkan, "Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam memakannya dalam jumlah ganjil." (4)

Imam at-Tirmidzi rohimahuLLOOH berkata, "Beberapa orang dari ahli 'ilmu menganjurkan agar tidak keluar (berangkat sholat) pada hari 'idul Fithri, sehingga memakan sesuatu dan menganjurkan agar makan pagi dengan tamr (kurma matang)."

Imam Ibnu Qudamah rohimahuLLOOH berkata, "Kami tidak mengetahui adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam anjuran sarapan pagi pada hari 'idul Fithri."

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(1) Shahih: Hadits Riwayat Imam al-Baihaqi. Imam al-Albani berkata dalam kitab al-Irwaa' 1/176, "Sanadnya shahih."

(2) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Baihaqi. Imam al-Albani berkata dala kitab al-Irwaa' 1/176, "Sanadnya shohih."

(3) Shohih. Hadits Riwayat Imam al-Bukhori nomor 953.

(4) Shohih. Ini adalah redaksi hadits yang dimu'allaqkan (diriwayatkan tanpa sanad) oleh Imam al-Bukhori dengan shighoh jazm. Dan dimaushulkan (disambung sanadnya) oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ahmad, dengan sanad yang hasan, dengan redaksi: "Beliau memakannya dalam jumlah ganjil."

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: al-Kalimaatun Naafi'ah fil Akhthoo-isy Syaa-i'ah: Khomsuun Khotho-an fii Sholaatil 'Iidain, Penulis: Syaikh Wahid 'Abdus Salam Baali, Penerbit: Dar Ibni Rojab, Cetakan II, 1424 H/ 2003 M, Judul terjemahan: 50 Kesalahan dalam Berhari Raya, Penerjemah: Mufti Hamdan, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir - Bogor, Cetakan I, 1426 H/ 2005 M.

Friday 24 February 2017

Hadits Keempat | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

4. Hadits Keempat.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud (1) radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kami -sedangkan beliau adalah yang benar dan dibenarkan: 'Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari menjadi nuthfah, kemudian menjadi 'alaqah selama empat puluh hari pula kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari pula. Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya, lalu Malaikat tersebut meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara, rezekinya, ajalnya, amalnya, celaka atau bahagianya. Demi Allah yang tiada ilah yang haq selain-Nya, sesungguhnya salah seorang di antara kalian mengamalkan amalan ahli jannah hingga tiada jarak antara dirinya dengan jannah melainkan satu hasta saja, maka yang demikian itu telah didahului oleh Kitab. Lalu dia mengamalkan amalan ahli neraka maka diapun masuk neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kalian beramal dengan amalan ahli naar hingga tiada jarak antara dia dan neraka melainkan satu hasta saja, yang demikian itu telah didahului oleh Kitab. Lalu dia beramal dengan amalan ahli jannah maka diapun masuk jannah.'" (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 3208) dan Muslim (no. 2643))

Syarah.

Maksud dari shadiqul mashduq yakni benar yang diucapkannya dan dibenarkan bahwa apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia.

Berkata sebagian ulama tentang sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya" bahwa tatjala nuthfah masuk ke rahim ibu, Allah mengumpulkannya selama empat puluh hari setelah tadinya berpencar. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud mengenai tafsir dari hadits tersebut, "Sesungguhnya apabila nuthfah memancar ke dalam rahim ibu manakala Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nuthfah tersebut mengalir pada pembuluh darah perempuan sampai dasar kuku dan rambutnya, kemudian tinggal selama empat puluh hari lalu menjadi darah di rahim, maka itulah pengumpulannya, lalu saatnya ia menjadi 'alaqah." (2)

Maksud dari sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya" yakni Malaikat yang ditugaskan Allah di rahim ibu.

Kalimat "Sesungguhnya salah seorang di antara kalian mengamalkan amalan ahli jannah" mengindikasikan bahwa pada mulanya amalnya benar dan mendekatkan dirinya ke jannah hanya saja ia terhalang oleh takdir yang telah mendahuluinya karena pada akhirnya ia melakukan amal ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua perbuatan baik itu tergantung dengan apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi akhirnya amal baiknya tertutup pada akhir hayatnya dengan amal buruk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya amalan itu tergantung bagaimana ia mengakhirinya." (3)

Yakni, menurut kami hanya terjadi pada sebagian orang sebagian kasus saja.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dalam Kitabul Iman bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya seseorang beramal dengan amal ahli jannah pada pandangan manusia, padahal ternyata dia adalah ahli neraka."

Maksudnya adalah apa yang ia lakukan hakekatnya tidak benar karena dia melakukannya dengan riya' dan sum'ah. Dapat diambil faedah pula dari hadits tersebut hendaknya manusia tidak hanya mengandalkan amalnya dan optimis dengannya namun tidak berharap akan kemurahan Allah dan rahmat-Nya.

Sebelumnya Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda "وَيُوءْ مَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ" menjadi kasrah karena merupakan badal dari kata "أَرْبَعِ كَلِمَاتٍ".

Sedangkan kalimat marfu' dengan dhammah karena ia adalah khabar mubtada' yang tersembunyi. Pada asalnya adalah "وَهُوَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ".

Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "Demi Allah yang tiada ilah yang haq selain-Nya, sesungguhnya salah seorang di antara kalian mengamalkan amalan ahli jannah... sampai ...Dan sesungguhnya salah seorang di antara kalian beramal dengan amalan ahli neraka..." yang dimaksud di sini hanyalah terjadi pada sedikit manusia saja, bukan terjadi pada umumnya manusia. Yang demikian itu karena kelembutan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan luasnya rahmat-Nya, maka berbaliknya manusia dari baik menjadi buruk merupakan kasus yang jarang, segala puji bagi Allah atas karunia tersebut.

Di dalam hadits ini tercakup pula keharusan untuk mengimani qadar sebagaimana ini merupakan bagian yang diyakini oleh madzhab ahlus sunnah wal jama'ah, dan bahwa segala kejadian berlaku atas qadha'nya Allah Ta'ala dan qadar-Nya yang baik ataupun buruk yang bermanfaat ataupun yang madharat. Allah Ta'ala berfirman:

"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." (Al-Anbiya': 23)

Dia tidak berkonsultasi dengan siapapun dalam kekuasaan-Nya, Dia berbuat dengan apa yang Dia kehendaki terhadap kekuasaan-Nya. Berkata Imam As-Sam'ani (4), "Metode untuk memahami perkara takdir ini adalah paket berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas ataupun rasio belaka. Maka barangsiapa yang menyelisihi petunjuk dari Al-Kitab dan As-Sunnah, niscaya dia sesat dan terjerumus kepada kebingungan serta tidak akan mendapatkan obat bagi jiwa dan tidak pula sampai kepada apa yang dapat menenangkan hatinya, karena takdir merupakan satu rahasia di antara rahasia Allah Ta'ala yang tertutup bagi selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala merahasiakannya dari akal manusia dan pengetahuan mereka karena Allah mengetahui adanya hikmah mengapa Allah merahasiakannya. Maka wajib atas kita untuk tawaqquf (berdiam diri) terhadap perkara yang kita tiada kuasa menjangkaunya. Allah Ta'ala merahasiakan takdir-Nya atas sekalian alam, maka tiada mengetahuinya secara rinci baik Malaikat ataupun Nabi yang diutus. Dikatakan, "Sesungguhnya rahasia takdir akan terkuak bagi manusia manakala sudah masuk jannah dan sebelumnya belum terkuak."

Telah disebutkan di dalam hadits-hadits tentang larangan meninggalkan amal dengan dalih menggantungkan takdir, bahkan wajib untuk beramal dan mengerjakan apa yang telah disebutkan oleh syari'at dan setiap orang dimudahkan dengan apa yang diciptakan untuknya yang tidak ditakdirkan untuk selainnya, maka barangsiapa yang ditakdirkan Allah untuk menjadi orang yang berbahagia (ahli jannah) niscaya Allah akan memudahkan baginya untuk mengamalkan perbuatan ahli jannah dan barangsiapa yang ditetapkan Allah sebagai orang yang celaka (ahli neraka) maka Allah Ta'ala akan memudahkan baginya mengerjakan amalan ahli neraka. Allah Ta'ala berfirman:

"Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (Al-Lail: 7)

"Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar." (Al-Lail: 10)

Para ulama berkata, "Ketetapan Allah Ta'ala, Lauh (Al-Mahfudz) dan tulisannya merupakan perkara yang wajib diimani, adapun tentang bagaimana hakekatnya dan sifatnya maka yang mengetahui adalah Allah Ta'ala:

"Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya." (Al-Baqarah: 255)

Wallahu a'lam.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Perawi hadits adalah sayyidina Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil Al-Hadzali Abu Abdirrahman, termasuk as sabiqunal awwaluun (yang awal-awal masuk Islam), mengikuti perang Badar, beliau menyerupai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal memberikan arahan, bimbingan dan tingkah lakunya. Mendapatkan Al-Qur'an secara langsung dari Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) sebanyak 70 surat, wafat di Madinah tahun 32 H.

2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

3. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6607.

4. Manshur bin Muhammad bin Abdul Jabbar Al-Marwazi As Sam'ani Asy-Syafi'i, ahli tafsir, termasuk ulama hadits, lahir dan wafat di Marwazi, beliau adalah mufti Khurasan dan kakek dari As-Sam'ani pengarang Al-Ansaab, wafat tahun 489 H.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Thursday 23 February 2017

Hadits Ketiga | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

3. Hadits Ketiga.

"Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab (1) radhiyallahu 'anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke baitullah dan shaum ramadhan." (Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 8) dan Muslim (no. 16))

Syarah.

Abu Al-Abbas Al-Qurthubi (2) rahimahullahu Ta'ala berkata, yakni bahwa lima perkara tersebut merupakan asas (dasar) dien Islam dan pokok-pokok yang di atasnyalah Islam dibangun serta dengannya pula ia tegak. Dikhususkannya lima perkara tersebut tanpa menyertakan jihad padahal jihad adalah untuk memenangkan dien dan menghadapi pembangkangan orang-orang kafir, karena lima hal ini adalah fardhu selamanya, sedangkan jihad termasuk fardhu kifayah dan terkadang gugur kewajibannya pada waktu-waktu tertentu.

Telah disebutkan dalam sebuah riwayat tentang hadits ini yang mana haji lebih dahulu disebut daripada shaum dan hal ini meragukan wallahu a'lam, karena Ibnu Umar tatkala mendengar ada yang mengulangi hadits tersebut dengan mendahulukan haji daripada shaum beliau memarahinya dan melarangnya, beliau mendahulukan shaum daripada haji, lalu berkata, "Begitulah aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Umar "Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu engkau beribadah kepada Allah dan mengkufuri sesembahan selain-Nya dan menegakkan shalat..." (3) dan seterusnya, dalam riwayat yang lain, "Bahwa seseorang berkata kepada Abdullah bin Umar, 'Tidakkah anda ikut berjihad?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima dasar..."'" (4)

Disebutkan pula dalam beberapa riwayat menggunakan kata khamsah, sebagian lagi menggunakan kata khamsin, keduanya shahih.

Hadits ini merupakan prinsip yang agung sebagai panduan untuk mengenal dienul Islam dan di atasnyalah disandarkan tentang ma'rifah dienul Islam dan sekaligus telah terkumpul rukun-rukunnya.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Perawi hadits adalah Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khaththab, berhijrah bersama ayahnya, mengikuti perang Khandaq dan Bai'ah Ridhwan. Beliau adalah seorang imam yang terpercaya, ahli ibadah dan memiliki kehormatan yang agung, wafat tahun 74 H.

2. Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Anshari Al-Qurthubi, seorang faqih bermadzhab Maliki, termasuk rijalul hadits, beliau mengajar di Iskandariyah dan wafat di sana tahun 656 H. Di antara kitabnya adalah Al-Mufhim Limaa Asykala min Talkish Kitab Muslim.

3. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 16.

4. Diriwayatkan oleh Muslim 16, Ahmad II/ 143.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Saturday 18 February 2017

Hadits Kedua | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

2. Hadits Kedua.

Dari Umar bin Khaththab (1) radhiyallahu 'anhu juga, beliau berkata: Tatkala kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba muncullah di tengah-tengah kami seorang laki-laki yang amat sangat putih bajunya, amat sangat hitam rambutnya, tidak ada bekas melakukan perjalanan dan tidak seorangpun di antara kami yang mengenalnya, lalu dia duduk di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menempelkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya ke paha beliau lalu berkata, "Wahai Muhammad, beritakan kepadaku tentang Islam?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Islam adalah engkau bersyahadat bahw tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah jika kamu kuasa perjalanannya." Orang itu berkata, "Engkau benar." Maka kami heran, dia yang bertanya, dia pula yang membenarkannya, lalu dia berkata lagi, "Beritakan kepadaku tentang iman." Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, "Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir baik dan buruk," "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu." Dia berkata, "Beritakan kepadaku tentang hari Kiamat." Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, "Yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Dia berkata, "Beritakan kepadaku tentang tanda-tandanya." Beliau bersabda, "Jika seorang budak melahirkan majikannya, dan jika engkau melihat orang-orang yang telanjang kaki, berpakaian compang-camping, miskin dan penggembala domba telah berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan." Kemudian orang tersebut pergi dan aku tinggal beberapa lama, lalu Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, "Wahai Umar, tahukah kamu siapakah yang bertanya tadi?" Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajari urusan dien kalian." (HR Muslim, no. 8)

Syarah.

Ini adalah hadits yang agung yang mencakup seluruh aspek amal yang dhahir dan yang bathin. Ilmu-ilmu syar'ie semua kembali kepadanya dan merupakan cabang (uraian) dari hadits ini, karena telah terkandung dalam hadits ini seluruh ilmu sunnah, sehingga ia laksana induk bagi seluruh sunnah (Ummus Sunnah) sebagaimana Al-Fatehah adalah induk Al-Qur'an (Ummul Qur'an) karena Al-Fatehah mencakup seluruh isi Al-Qur'an.

Hadits ini menunjukkan anjuran untuk memperbagus pakaian, penampilan dan kebersihan tatkala mendatangi ulama, orang-orang yang utama ataupun raja. Karena Jibril mendatangi pengajar manusia dengan keadaan demikian.

Kalimat "tidak terlihat padanya bekas melakukan perjalanan" yang masyhur adalah dengan kalimat "laa yuraa" (tidak terlihat padanya) karena telah disebut pelakunya di depan. Adapula yang meriwayatkan dengan kalimat "laa naraa" (kami tidak melihat bekas safar padanya). Kedua-duanya adalah shahih.

Adapun kalimat "dan meletakkan kedua tangannya ke paha beliau lalu berkata, 'Wahai Muhammad...'" inilah yang masyhur akan keshahihannya. Nasa'i (2) meriwayatkan, "Lalu dia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." Sehingga maksud riwayat Muslim "dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha beliau..." maknanya adalah kedua lututnya.

Dapat diambil kesimpulan dari hadits tersebut bahwa kata Islam dan Iman memiliki perbedaan baik secara lughah (bahasa) maupun secara syar'i, bila dilihat dari asal pengertian dari dua kata tersebut. Akan tetapi alam pengertian syar'i terkadang satu kata telah mengandung makna yang lain dan sebaliknya.

Perkataan "maka kami heran, dia yang bertanya, dia pula yang membenarkannya", yang menjadikan para sahabat heran adalah karena orang yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut hanya dikenal oleh beliau sendiri dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendengarkan sabda-sabdanya, kemudian ia mengajukan pertanyaan yang dia sendiri telah mengetahui jawabannya bahkan membenarkannya. Itulah yang menjadikan para sahabat heran dengan kejadian tersebut.

Kalimat "Engkau beriman kepada Allah, Mailakat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya..." Iman kepada Allah adalah membenarkan bahwa Dia yang Maha Suci adalah ada dan disifati dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaan serta bersih dari sifat-sifat kekurangan dan bahwa Dia Maha Tunggal, Maha Benar, Tempat bergantung dan Pencipta seluruh makhluk serta mengatur mereka sesuai kehendak-Nya dan Dia bebruat terhadap kekuasaan-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.

Iman kepada Malaikat maksudnya adalah membenarkan bahwa mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah mendahului perintah Allah dan mereka senantiasa mengerjakan apapun yang diperintahkan Allah kepada mereka.

Iman kepada para Rasul Allah adalah mengimani bahwa apa yang mereka kabarkan dari Allah Ta'ala adalah benar, Allah menguatkan mereka dengan mukjizat sebagai bukti kebenaran mereka. Dan bahwasanya mereka telah menyampaikan risalah dari Allah dan telah menjelaskannya kepada para mukallaf sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Dan wajib untuk menghormati mereka serta tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka (yakni tidak boleh mengimani sebagian Nabi dan mengingkari sebagian yang lain, -pent).

Iman kepada hari Akhir yaitu mengimani adanya hari Kiamat, termasuk di dalamnya kehidupan setelah kematian, dikumpulkannya mahluk di mahsyar, adanya hisab, mizan, meniti shirat antara jannah dan neraka, serta mengimani adanya jannah dan neraka yang mana keduanya ini merupakan tempat pemberian pahala bagi orang-orang yang beramal shalih dan siksa bagi orang-orang yang berdosa, termasuk pula mengimani hal-hal lain yang telah disebutkan di dalam nash-nash yang shahih.

Iman kepada takdir berarti mengakui semua yang telah tersebut di atas yang disertai dengan keimanan terhadap firman Allah:

"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (Ash-Shaaffat: 96)

"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (Al-Qamar: 49)

dan ayat-ayat yang semisalnya.

Demikian pula dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Ketahuilah sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat memberikan manfaat kepadamu sedikitpun melainkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk memberikan madharat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat memadharatkanmu sedikitpun melainkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atasmu, telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran." (3)

Madzhab salaf dan juga khalaf mengatakan bahwa barangsiapa yang membenarkan semua urusan tersebut dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan serta tidak terdetik sedikitpun keraguan di hatinya maka dia adalah mukmin sejati, baik hal itu diperoleh dari bukti-bukti yang pasti ataupun karena keyakinan yang kuat.

Sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya..." pada intinya merujuk kepada kekhusyukan dalam beribadah, menunaikan hak-hak Allah serta menyadari pengawasan Allah terhadapnya, juga merasakan keagungan dan kebesaran Allah di saat menjalankan ibadah.

Maksud dari kalimat "Beritakan kepadaku tentang tanda-tandanya." Beliau bersabda, "Jika seorang budak melahirkan majikannya,..." adalah kelak kaum muslimin akan menguasai negeri-negeri kafir sehingga banyak tawanan, maka budak-budak perempuan banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati kedudukan sebagai majikan (merdeka) karena kedudukan ayahnya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda akan datangnya kiamat, yaitu kaum muslimin akan mengalahkan kaum musyrikin dan banyaknya tawanan yang diperoleh kaum muslimin. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud kalimat tersebut adalah munculnya kerusakan pada umat manusia, sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anak mereka sehingga menjadi barang yang berpindah-pindah pemiliknya dari satu pembeli ke pembeli yang lain, yang mungkin sekali akhirnya jatuh ke tangan anak kandungnya sendiri tanpa diketahui. Kejadian semacam ini mengisyaratkan munculnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat. Hal ini terjadi karena meluasnya kebodohan haramnya memperjualbelikan ibu dari anak-anaknya sebagai budak. Ada pula yang mengatakan bahwa makna hadits tersebut adalah banyaknya anak-anak durhaka yang memperlakukan orang tua seperti layaknya seorang majikan memperlakukan budaknya yang ditandai dengan peremehan dan berani mencelanya.

Maksud dari Al 'Aalah jama' dari 'Aa'ilun adalah fakir.

Hadits ini juga mengisyaratkan adanya larangan berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan yang tidak diperlukan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

"Anak Adam diberi pahala atas apa yang ia belanjakan kecuali apa yang ia belanjakan untuk mendirikan bangunan di atas tanah ini." (4)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat tanpa pernah meletakkan batu ataupun bata untuk mendirikan bangunan, maksudnya beliau tidak meninggikan bangunan dan tidak berlomba-lomba untuk itu.

Kalimat "penggembala domba", disebutkannya secara khusus karena ia adalah gambaran kaum yang paling lemah di kalangan Badwi, maknanya adalah orang-orang yang keadaannya lemah dan jauh dari sarana-sarana untuk itu, berbeda dengan orang-orang yang berkendaraan onta (gambaran dari orang kaya waktu itu, -pent) yang pada umumnya bukan tergolong miskin dan fakir.

Adapun kalimat "لَبِثْتُ مَلِيًا" "labits-tu maliyan" (dan aku tinggal beberapa lama) maknanya adalah Umar radhiyallahu 'anhu tinggal beberapa lama. Ada pula riwayat yang menyebutkan dengan kalimat "لَبِثَ" "labitsa" (dia tinggal beberapa lama) berarti yang tinggal sejenak setelah kepergian orang tersebut adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua riwayat tersebut benar secara makna. Adapun kata "beberapa lama" yakni waktu yang banyak yang lamanya adalah tiga saat sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud dan yang lain.

Adapun sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan kalian perihal dien kalian" yakni tentang kaidah-kaidah dien kalian atau keseluruhan urusan dien kalian, begitulah menurut pendapat Asy-Syaikh Muhyiddin (An-Nawawi) tatkala mensyarah hadits ini dalam shahih Muslim.

Poin paling penting yang harus diingat dalam hadits ini adalah penjelasan tentang Islam, iman dan ihsan serta wajibnya mengimani kekuasaan Allah Ta'ala. Berbicara tentang Islam dan Iman amat panjang pembahasannya yang disebutkan oleh jama'ah para ulama.

Di antaranya perkataan Imam Abu Al-Husein yang dikenal dengan Ibnu Baththal Al-Maliki (5), bahwa beliau berkata, "Madzhab jama'ah ahlus sunnah dari salaful ummah maupun setelahnya berpendapat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah maupun berkurang. Dalilnya adalah firman Allah:

"Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)." (Al-Fath: 4)

serta ayat-ayat lain yang semisalnya.

Sebagian ulama berkata, "Pada asalnya tashdiq (pembenaran) itu memang tidak bertambah ataupun berkurang, akan tetapi iman bila ditinjau secara syar'ie dapat bertambah dan berkurang sejalan dengan bertambah dan berkurangnya buah dari iman yang berupa amal. Mereka berkata bahwa pendapat tersebut merupakan kompromi antara dalil-dalil yang telah tersurat dalam nash dengan pengertian asalnya secara bahasa. Sekalipun pendapat yang lebih rajih (wallahu a'lam) adalah bahwa "tashdiq" (pembenaran) itu sendiri dapat bertambah sebagaimana dapat dicermati dalam banyak dalil. Oleh karena itulah keimanan shiddiqiin lebih kuat dari keimanan selain mereka, karena ia tidak terhalangi oleh syubhat, tidak goyah imannya karena rintangan bahkan hati mereka senantiasa terang bercahaya sekalipun terjadi perubahan-perubahan kondisi. Adapun selain mereka yang tergolong mu'allafah atau yang dekat dengannya tidaklah demikian keadaannya. Ini adalah realita yang tak dapat dipungkiri. Tidak diragukan lagi bahwa tashdiq yang dimiliki oleh Abu Bakar Ash-Shidiq (6) radhiyallahu 'anhu tidak sama dengan tashdiq yang dimiliki oleh manusia manapun.

Oleh karena itu Al-Bukhari berkata dalam shahihnya, "Ibnu Abi Maliikah (7) berkata, "Aku menjumpai 30 orang dari sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang keseluruhannya khawatir terhadap penyakit nifak kalau-kalau menimpa diri mereka. Tak seorangpun di antara mereka berkata bahwa keimanan yang dimiliki adalah sebagaimana keimanan Jibril dan Mikail 'Alaihimas Salaam. (8)

Adapun kata iman yang mencakup di dalamnya amal, maka hal ini telah disepakati oleh ahlul haq dengan dalil-dalil yang terlampau banyak untuk disebutkan. Allah berfirman:

"Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu." (Al-Baqarah: 143)

yakni Allah tidak menyia-nyiakan shalat kalian.

Telah diriwayatkan dari Syaikh Abu Amru bin Ash-Shalah (9) tentang sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam "Islam adalah engkau bersyahadat bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendirikan shalat dan seterusnya...", kemudian Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) menafsirkan kata iman dengan sabdanya, "Engkau beriman kepada Allah Ta'ala, Malaikat-malaikat-Nya, dan seterusnya...", dalam hal ini Ibnu Ash-Shalah berkata, "Ini sebagai penjelasan bahwa asal dari iman adalah tashdiq (pembenaran hati) dan asal Islam adalah tunduk dan berserah diri secara dhahir. Seseorang dihukumi Islam secara dhahir adalah tatkala mengucapkan syahadatain, adapun disebutkannya kata menegakkan shalat, zakat, shaum dan haji adalah karena amal-amal tersebut merupakan syi'ar Islam yang paling nampak dan paling agung, sehingga dengan menegakkannya maka menjadi sah-lah ketundukannya.

Kemudian kata "iman" mencakup pula pengertian yang merupakan tafsir dari Islam dalam hadits ini, demikian pula seluruh bentuk ketaatan. Karena amal-amal tersebut merupakan buah dari tashdiq (pembenaran hati) yang merupakan asal dari iman. Maka tidak dapat disebut mukmin secara mutlaq bagi siapa yang terjerumus ke dalam dosa besar atau meninggalkan hal-hal yang fardhu, karena penamaan sesuatu secara mutlak hanyalah boleh dalam keadaan sempurna dan tidak diperbolehkan penggunaan istilah mutlak manakala secara dhahir ada kekurangannya melainkan dengan niat.

Dengan kata lain diperbolehkan mengatakan hilangnya kemutlakan iman sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Tiada berzina seorang pezina tatkala berzina sedangkan dia mukmin dan tiada mencuri seorang pencuri tatkala dia mencuri sedangkan dia mukmin." (10)

Demikian pula istilah Islam telah mencakup apa-apa yang merupakan pengertian iman secara asal, yakni pembenaran hati dan mencakup asal dari ketaatan yang kesemuanya itu bermakna tundak dan pasrah. Syaikh Abu Amru berkata, "Maka kalimat iman dan Islam itu apabila disebut seluruhnya maknanya berbeda, apabila disebut sendirian maknanya sama dan bahwa setiap mukmin itu pasti muslim tetapi tidak setiap muslim itu mukmin." Beliau berkata pula, "Pendapat ini merupakan kompromi (menyatukan) apa-apa yang tersebut dalam nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang menyebutkan tentang iman dan Islam yang dalam banyak hal banyak orang yang bingung memahaminya. Dan pendapat ini sekaligus sesuai dengan pendapat jumhur ulama dari ahli hadits dan yang lain, wallahu a'lam.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Biografi perawi telah kami sebutkan pada hadits yang pertama.

2. Ahmad bin Syu'aib bin Ali An-Nasa'i Abu Abdirrahman Al-Qadhi, Al-Hafizh, penulis Sunan (Nasa'i) dan termasuk salah satu imam yang terkenal dan ulama penghafal hadits. Abu Ali An-Naisabuuri berkata, "An Nasa'i telah menyampaikan ilmu hadits kepada kami tanpa digaji," beliau wafat di Palestina tahun 304 H.

3. Ini adalah potongan hadits dari hadits yang kesembilan belas dalam kitab ini, nanti akan disebutkan haditsnya secara sempurna dengan sedikit penjelasan.

4. Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 5672.

5. Dalam sumber-sumber yang ada beliau adalah Abu Al-Hasan (bukan Al-Husein) sebagaimana yang disebut di sini. Beliau adalah Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Bathal Al-Bakari Al-Qurthubi Al-Maliki dan seorang ahli hadits. Di antara karyanya adalah Syarhu Al-Jamii' Ash-Shahiih lil Bukhari fii 'iddati Asfaari wal I'tisham fil Hadits beliau wafat tahun 449 H.

6. Beliau adalah Sayyidina Abdullah bin Utsman bin Amir At-Taimi Abu Bakar bin Abi Quhafah Ash-Shidiq, laki-laki pertama yang masuk Islam, beliau menemani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala berhijrah, mengikuti perang Badar dan beliau adalah sahabat yang paling utama, sebaik-baik makhluk setelah para Nabi dan para Rasul. Sayyidina Umar berkata, "Abu Bakar adalah orang terbaik di kalangan kita, penghulu kita dan paling dicintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Allah mengokohkan rukun Islam dan menjaga dien ini dengannya." Beliau wafat tahun 13 H tatkala berumur 63 tahun, dikebumikan di kamar nubuwwah, tentang keutamaan beliau terlampau sulit untuk dipaparkan.

7. Beliau adalah Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Maliikah Abu Bakar Al-Makki seorang tabi'in yang tsiqah, wafat tahun 117 H.

8. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Al-Iman, bab "Seorang mukmin takut jika amalnya batal sementara ia tidak menyadarinya."

9. Utsman bin Abdirrahman bin Muusa Asy-Syahruzuuri dikenal dengan sebutan Ibnu Shalah, seorang yang utama, terkemuka dalam hal tafsir, hadits, fikih dan nama-nama rijalul hadits, wafat tahun 643 H.

10. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Thursday 16 February 2017

Hadits Pertama | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

1. Hadits Pertama.

"Dari Amirul mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab (1) radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Segala amal itu tergantung niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan atasnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak ia nikmati atau karena wanita yang hendak ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya."

Diriwayatkan oleh dua imam muhadditsin Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fi dan Abu Al-Husain, Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisabuuri (no. 1907) semoga Allah meridhai keduanya, di dalam dua kitab shahih milik keduanya yang merupakan kitab yang paling shahih di antara kitab-kitab yang disusun manusia.

Syarah:

Hadits ini adalah hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, keagungan dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Imam Abu Abdillah Al-Bukhari (2) telah meriwayatkannya pada beberapa bab dalam kitab shahihnya. Juga Imam Abu Al-Husein Muslim bin Al-Hajjaj (3) telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab jihad.

Hadits ini merupakan salah satu pokok penting dari ajaran Islam. Imam Ahmad bin Hambal (4) dan Imam Syafi'i (5) -semoga Allah merahmati keduanya- berkata, "Hadits tentang amal tergantung niat ini mengandung sepertiga ilmu." Al-Baihaqi (6) dan yang lain berkata tentangnya, "Hal itu disebabkan karena perbuatan manusia itu adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota badannya, sedangkan niat adalah satu bagian di antara tiga bagian tersebut."

Diriwayatkan pula bahwa Asy-Syafi'i radhiyallahu 'anhu berkata, "Di dalam hadits ini terkandung tujuh puluh bab dari ilmu fikih." Dan serentetan ulama mengatakan, "Hadits ini adalah sepertiga Islam."

Para ulama suka membuka karangan mereka dengan hadits ini, di antara ulama yang meletakkan hadits ini di awal kitab karangannya adalah Abu Abdillah Al-Bukhari. Abdurrahman bin Al-Mahdi (7) berkata: "Sudah selayaknya bagi setiap orang yang hendak menulis sebuah kitab memulainya dengan hadits ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk meluruskan niat."

Hadits ini tergolong masyhur jika dilihat dari perawi yang akhir-akhir, namun gharib bila ditinjau dari asal mulanya, karena tiada yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, dan tiada yang meriwayatkan dari Umar (8) melainkan Alqamah bin Abi Waqash (9) dan tiada yang meriwayatkan dari Alqamah selain Muhammad bin Ibrahim At-Taimi (10) dan tiada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa'id Al-Anshari (11), kemudian setelah beliau diriwayatkan secara masyhur bahkan lebih dari dua ratus orang yang kebanyakan mereka adalah para imam ulama.

Lafazh "innama/ hanyalah" adalah pembatas yang menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut. Kata "hanyalah" terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas yang hal itu dapat dipahami berdasarkan qarinah (ketetapan yang menyertainya). Misalnya kalimat pada firman Allah:

"Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (Ar-Ra'du: 7)

Kalimat tersebut sekilas bermakna bahwa tugas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melulu untuk menyampaikan ancaman dari Allah dan tidak ada tugas lain bagi beliau. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak tugas seperti memberi kabar gembira dan sebagainya. Begitu pula dengan kalimat dalam firman Allah:

"Sesungguhnya kehidupan dunia hanya permainan dan senda gurau." (Muhammad: 36)

Sepintas kalimat tersebut -wallahu a'lam- menunjukkan bahwa pembatasan tersebut adalah dari sisi pengaruhnya. Adapun bila ditinjau dari hakekat dunia terkadang ia dapat menjadi penyebab untuk mendapatkan kebaikan. Disebutkannya kesenangan dan permainan sebagai kehidupan dunia adalah untuk menyatakan keadaan pada umumnya. Artinya, kebanyakan manusia hidup di dunia hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main.

Dengan demikian jika disebutkan kata "hanyalah" dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan dengan baik. Jika susunan kalimatnya menunjukkan arti pembatasan dalam hal-hal yang khusus, maka hendaklah dipakai dalam pengertian tersebut. Akan tetapi jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pembatasan secara khusus, maka hendaklah dipakai pembatasan dalam konteks umum/ mutlak.

Oleh karena itu sabda Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) "segala amal hanyalah tergantung pada niatnya" maksud dari amal di sini adalah seluruh amal yang syar'i. Sehingga pengertiannya adalah tidak dianggap sebagai suatu amal jika tidak disertai dengan niat. Seperti tatkala berwudhu, mandi (janabah), tayyamum, shalat, zakat, shaum, haji, i'tikaf dan seluruh bentuk peribadatan yang lain. Adapun menghilangkan najis tidak perlu niat, karena perbuatan tersebut berarti meninggalkan sesuatu (dalam hal ini najis, -pent), sedangkan meninggalkan sesuatu tidak membutuhkan niat. Dan jumhur ulama berpendapat bahwa wudhu dan mandi (janabah) tetap sah sekalipun tanpa diawali dengan niat.

Tentang sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "segala amal tergantung niatnya", para ulama berbeda pendapat tentang maksud kalimat tersebut. Ada ulama yang mempersyaratkan niat dalam suatu amal sehingga amal itu dianggap sah manakala diawali dengan niat. Adapula yang tidak mempersyaratkan niat, sehingga niat adalah kesempurnaan amal (bukan syarat sahnya amal, -pent).

Sedangkan sabda Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) "dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan atasnya" tentang hal ini Al-Khathabi, "Kalimat ini menunjukkan pengertian yang lebih khusus dari kalimat pertama yakni pengkhususan suatu amal yang harus disertai dengan niat." Demikian pula Syaikh Muhyiddin (12) berkata bahwa niat terhadap amal tertentu adalah merupakan syarat sahnya amal. Jika sekiranya seseorang mengqadha' shalat yang telah ditinggal, namun juga harus dia niatkan dengan jelas apakah itu shalat Dhuhur, Ashar atau yang lain. Jika sekiranya kalimat kedua ini menetapkan pengertian yang sama dengan kalimat pertama, niscaya dianggap sah niat tanpa mengkhususkan niat untuk amal tertentu. Wallahu a'lam.

Sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya". Menurut ketetapan para pakar bahasa Arab bahwa antara syarat dan jaza', atau mubtada' dan khabar haruslah ada perbedaan, namun di dalam kalimat tersebut sama, maka maknanya adalah "barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan niat dan kesengajaan maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya secara hukum dan syar'i."

Hadits ini muncul karena suatu sebab, yakni adanya seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekah ke Madinah dengan tujuan hendak menikahi seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais, yang mana ia tidak mengharapkan keutamaan hijrah sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais (13). Wallahu a'lam.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Perawi hadits adalah sayyidina Umar bin Khaththab bin Nufail Al-Adawwi, seorang fuqaha di kalangan sahabat, khulafa'ur rasyiduun yang kedua, termasuk salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk jannah, pertama kali yang disebut amiirul mukminin, mengikuti perang Badar, dipercaya oleh umat menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu 'anhuma, telah ditaklukkan banyak negeri pada masa beliau, masuk Islam setelah empat puluhan orang masuk Islam. Dari Ibnu Umar secara marfu' bahwa Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Dijadikan haq (kebenaran) pada lisan Umar dan hatinya." Tatkala beliau dimakamkan, Ibnu Mas'ud berkata, "Telah hilang hari ini 7/10 dari ilmu." Beliau syahid pada akhir tahun 23 H dan dikebumikan pada awal tahun 24 H tatkala berumur 63 tahun, Shuhaib termasuk yang menshalatkannya, dikuburkan di kamar Nabi (di samping Nabi dan Abu Bakar).

2. Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ja'fi Abu Abdillah Al-Bukhari, seorang hafizh, Amiirul Mukminin dalam bidang hadits, penulis Al-Jaami' Ash-Shahih. Beliau berkata, "Tiada aku letakkan satu haditspun di dalamnya melainkan sebelumnya aku mandi dan shalat dua raka'at. Sayyidina Ahmad bin Hambal berkata, "Aku keluar dari Khurasan dan aku tidak melihat orang semisal Muhammad bin Isma'il (Al-Bukhari). Beliau adalah ulama umat ini, wafat tahun 256 H pada malam Iedul Fithri semoga Allah merahmati dan meridhai beliau.

3. Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisabuuri Abu Al-Husein Al-Haafizh, seorang di antara imam terkenal dan memiliki kitab Ash-Shahih. Al-Hafidz Abu Ali An-Naisabuuri berkata, "Tiada di kolong langit ini yang lebih shahih dari kitabnya Muslim dalam hal hadits." Wafat tahun 261 H tatkala berusia 55 tahun.

4. Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani Abu Abdillah seorang faqih dan hafizh. Imam Asy-Syafi'i berkata, "Aku keluar dari Baghdad dan tidak aku tinggalkan di dalamnya orang yang lebih faqih dan lebih wara' serta lebih zuhud dari Ahmad bin Hambal." Dikatakan pula bahwa Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits. Wafat tahun 241 H.

5. Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' Al-Mathlabi Abu Abdillah Asy-Syafi'i, imamnya ahli ilmu, hafal Al-Qur'an usia tujuh tahun dan hafal kitab Al-Muwatha' (karya Imam Malik) pada usia 10 tahun. Ar-Rabi'i berkata, "Imam Asy-Syafi'i mengkhatamkan Al-Qur'an enam puluh kali setiap bulan Ramadhan." Bahr bin Nasr berkata, "Apabila kami ingin menangis, maka kami saling berkata, 'Mintalah anak itu (Syafi'i) untuk membacakan Al-Qur'an, maka tatkala ia mendatangi kami dan membaca Al-Qur'an maka menangislah orang-orang yang mendengarkannya.'" Ahmad bin Hambal berkata, "Enam orang yang aku do'akan setiap malam, satu di antaranya adalah Asy-Syafi'i." Beliau berkata, "Sesungguhnya Imam Asy-Syafi'i adalah bagaikan matahari bagi alam yang membuat manusia sejahtera." Beliau wafat tahun 204 H di Mesir dan dikebumikan di sana.

6. Abu Bakar Ahmad bin Al-Husein bin Ali Al-Baihaqi seorang faqih bermadzhab Syafi'i, Al-Hafizh, ahli dalam bidang hadits dan dikenal sebagai pakarnya, beliau adalah orang yang paling banyak perjuangannya dalam menyebarkan amdzhab Syafi'i, wafat tahun 458 H di Naisabuur.

7. Abdurrahman bin Mahdi Hasan Al-Azdi Abu Sa'id, seorang hafizh dan imam. Ibnu Al-Madani berkata, "Orang yang paling pandai dalam hal hadits adalah Ibnu Mahdi, beliau mengkhatamkan Al-Qur'an setiap dua malam dan beliau berhaji setiap tahunnya, wafat tahun 198 H.

8. Yakni tidak ada riwayat yang tsiqah dari Umar melainkan yang melalui Alqamah, dan tiada riwayat yang tsiqah dari Alqamah melainkan melalui Muhammad bin Ibrahim, sedangkan tiada riwayat yang tsiqat dari beliau melainkan dari jalan Yahya.

9. Alqamah bin Waqash Al-Laitsi seorang yang tsiqah namun menyimpan sedikit hadits, wafat di Madinah pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.

10. Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harts At-Taimi Al-Madani, seorang ulama terkenal, seorang yang faqih dan ahli hadits. Wafat tahun 120 H.

11. Yahya bin Sa'id bin Qais Al-Anshari, qadhi di Madinah, tsiqah hujahnya dan banyak meriwayatkan hadits, wafat tahun 143 H.

12. Beliau adalah Yahya bin Syaraf penulis matan kitab ini, lihat biografi beliau dalam mukadimah.

13. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jam Kabiir-nya.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!