Thursday 16 February 2017

Hadits Pertama | Syarah Hadits Arba'in

Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah.

Syarah Hadits Arba'in.

Syaikh Ibnu Daqiiqil 'Ied.

Syaikh Usamah Abdul Kariem Ar-Rifa'i.

Ustadz Abu Umar Abdullah Asy-Syarif.

1. Hadits Pertama.

"Dari Amirul mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab (1) radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Segala amal itu tergantung niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan atasnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak ia nikmati atau karena wanita yang hendak ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya."

Diriwayatkan oleh dua imam muhadditsin Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fi dan Abu Al-Husain, Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisabuuri (no. 1907) semoga Allah meridhai keduanya, di dalam dua kitab shahih milik keduanya yang merupakan kitab yang paling shahih di antara kitab-kitab yang disusun manusia.

Syarah:

Hadits ini adalah hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, keagungan dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Imam Abu Abdillah Al-Bukhari (2) telah meriwayatkannya pada beberapa bab dalam kitab shahihnya. Juga Imam Abu Al-Husein Muslim bin Al-Hajjaj (3) telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab jihad.

Hadits ini merupakan salah satu pokok penting dari ajaran Islam. Imam Ahmad bin Hambal (4) dan Imam Syafi'i (5) -semoga Allah merahmati keduanya- berkata, "Hadits tentang amal tergantung niat ini mengandung sepertiga ilmu." Al-Baihaqi (6) dan yang lain berkata tentangnya, "Hal itu disebabkan karena perbuatan manusia itu adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota badannya, sedangkan niat adalah satu bagian di antara tiga bagian tersebut."

Diriwayatkan pula bahwa Asy-Syafi'i radhiyallahu 'anhu berkata, "Di dalam hadits ini terkandung tujuh puluh bab dari ilmu fikih." Dan serentetan ulama mengatakan, "Hadits ini adalah sepertiga Islam."

Para ulama suka membuka karangan mereka dengan hadits ini, di antara ulama yang meletakkan hadits ini di awal kitab karangannya adalah Abu Abdillah Al-Bukhari. Abdurrahman bin Al-Mahdi (7) berkata: "Sudah selayaknya bagi setiap orang yang hendak menulis sebuah kitab memulainya dengan hadits ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk meluruskan niat."

Hadits ini tergolong masyhur jika dilihat dari perawi yang akhir-akhir, namun gharib bila ditinjau dari asal mulanya, karena tiada yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, dan tiada yang meriwayatkan dari Umar (8) melainkan Alqamah bin Abi Waqash (9) dan tiada yang meriwayatkan dari Alqamah selain Muhammad bin Ibrahim At-Taimi (10) dan tiada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa'id Al-Anshari (11), kemudian setelah beliau diriwayatkan secara masyhur bahkan lebih dari dua ratus orang yang kebanyakan mereka adalah para imam ulama.

Lafazh "innama/ hanyalah" adalah pembatas yang menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut. Kata "hanyalah" terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas yang hal itu dapat dipahami berdasarkan qarinah (ketetapan yang menyertainya). Misalnya kalimat pada firman Allah:

"Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (Ar-Ra'du: 7)

Kalimat tersebut sekilas bermakna bahwa tugas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melulu untuk menyampaikan ancaman dari Allah dan tidak ada tugas lain bagi beliau. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak tugas seperti memberi kabar gembira dan sebagainya. Begitu pula dengan kalimat dalam firman Allah:

"Sesungguhnya kehidupan dunia hanya permainan dan senda gurau." (Muhammad: 36)

Sepintas kalimat tersebut -wallahu a'lam- menunjukkan bahwa pembatasan tersebut adalah dari sisi pengaruhnya. Adapun bila ditinjau dari hakekat dunia terkadang ia dapat menjadi penyebab untuk mendapatkan kebaikan. Disebutkannya kesenangan dan permainan sebagai kehidupan dunia adalah untuk menyatakan keadaan pada umumnya. Artinya, kebanyakan manusia hidup di dunia hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main.

Dengan demikian jika disebutkan kata "hanyalah" dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan dengan baik. Jika susunan kalimatnya menunjukkan arti pembatasan dalam hal-hal yang khusus, maka hendaklah dipakai dalam pengertian tersebut. Akan tetapi jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pembatasan secara khusus, maka hendaklah dipakai pembatasan dalam konteks umum/ mutlak.

Oleh karena itu sabda Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) "segala amal hanyalah tergantung pada niatnya" maksud dari amal di sini adalah seluruh amal yang syar'i. Sehingga pengertiannya adalah tidak dianggap sebagai suatu amal jika tidak disertai dengan niat. Seperti tatkala berwudhu, mandi (janabah), tayyamum, shalat, zakat, shaum, haji, i'tikaf dan seluruh bentuk peribadatan yang lain. Adapun menghilangkan najis tidak perlu niat, karena perbuatan tersebut berarti meninggalkan sesuatu (dalam hal ini najis, -pent), sedangkan meninggalkan sesuatu tidak membutuhkan niat. Dan jumhur ulama berpendapat bahwa wudhu dan mandi (janabah) tetap sah sekalipun tanpa diawali dengan niat.

Tentang sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "segala amal tergantung niatnya", para ulama berbeda pendapat tentang maksud kalimat tersebut. Ada ulama yang mempersyaratkan niat dalam suatu amal sehingga amal itu dianggap sah manakala diawali dengan niat. Adapula yang tidak mempersyaratkan niat, sehingga niat adalah kesempurnaan amal (bukan syarat sahnya amal, -pent).

Sedangkan sabda Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) "dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan atasnya" tentang hal ini Al-Khathabi, "Kalimat ini menunjukkan pengertian yang lebih khusus dari kalimat pertama yakni pengkhususan suatu amal yang harus disertai dengan niat." Demikian pula Syaikh Muhyiddin (12) berkata bahwa niat terhadap amal tertentu adalah merupakan syarat sahnya amal. Jika sekiranya seseorang mengqadha' shalat yang telah ditinggal, namun juga harus dia niatkan dengan jelas apakah itu shalat Dhuhur, Ashar atau yang lain. Jika sekiranya kalimat kedua ini menetapkan pengertian yang sama dengan kalimat pertama, niscaya dianggap sah niat tanpa mengkhususkan niat untuk amal tertentu. Wallahu a'lam.

Sabda Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) "maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya". Menurut ketetapan para pakar bahasa Arab bahwa antara syarat dan jaza', atau mubtada' dan khabar haruslah ada perbedaan, namun di dalam kalimat tersebut sama, maka maknanya adalah "barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan niat dan kesengajaan maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya secara hukum dan syar'i."

Hadits ini muncul karena suatu sebab, yakni adanya seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekah ke Madinah dengan tujuan hendak menikahi seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais, yang mana ia tidak mengharapkan keutamaan hijrah sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais (13). Wallahu a'lam.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

1. Perawi hadits adalah sayyidina Umar bin Khaththab bin Nufail Al-Adawwi, seorang fuqaha di kalangan sahabat, khulafa'ur rasyiduun yang kedua, termasuk salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk jannah, pertama kali yang disebut amiirul mukminin, mengikuti perang Badar, dipercaya oleh umat menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu 'anhuma, telah ditaklukkan banyak negeri pada masa beliau, masuk Islam setelah empat puluhan orang masuk Islam. Dari Ibnu Umar secara marfu' bahwa Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Dijadikan haq (kebenaran) pada lisan Umar dan hatinya." Tatkala beliau dimakamkan, Ibnu Mas'ud berkata, "Telah hilang hari ini 7/10 dari ilmu." Beliau syahid pada akhir tahun 23 H dan dikebumikan pada awal tahun 24 H tatkala berumur 63 tahun, Shuhaib termasuk yang menshalatkannya, dikuburkan di kamar Nabi (di samping Nabi dan Abu Bakar).

2. Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ja'fi Abu Abdillah Al-Bukhari, seorang hafizh, Amiirul Mukminin dalam bidang hadits, penulis Al-Jaami' Ash-Shahih. Beliau berkata, "Tiada aku letakkan satu haditspun di dalamnya melainkan sebelumnya aku mandi dan shalat dua raka'at. Sayyidina Ahmad bin Hambal berkata, "Aku keluar dari Khurasan dan aku tidak melihat orang semisal Muhammad bin Isma'il (Al-Bukhari). Beliau adalah ulama umat ini, wafat tahun 256 H pada malam Iedul Fithri semoga Allah merahmati dan meridhai beliau.

3. Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisabuuri Abu Al-Husein Al-Haafizh, seorang di antara imam terkenal dan memiliki kitab Ash-Shahih. Al-Hafidz Abu Ali An-Naisabuuri berkata, "Tiada di kolong langit ini yang lebih shahih dari kitabnya Muslim dalam hal hadits." Wafat tahun 261 H tatkala berusia 55 tahun.

4. Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani Abu Abdillah seorang faqih dan hafizh. Imam Asy-Syafi'i berkata, "Aku keluar dari Baghdad dan tidak aku tinggalkan di dalamnya orang yang lebih faqih dan lebih wara' serta lebih zuhud dari Ahmad bin Hambal." Dikatakan pula bahwa Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits. Wafat tahun 241 H.

5. Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' Al-Mathlabi Abu Abdillah Asy-Syafi'i, imamnya ahli ilmu, hafal Al-Qur'an usia tujuh tahun dan hafal kitab Al-Muwatha' (karya Imam Malik) pada usia 10 tahun. Ar-Rabi'i berkata, "Imam Asy-Syafi'i mengkhatamkan Al-Qur'an enam puluh kali setiap bulan Ramadhan." Bahr bin Nasr berkata, "Apabila kami ingin menangis, maka kami saling berkata, 'Mintalah anak itu (Syafi'i) untuk membacakan Al-Qur'an, maka tatkala ia mendatangi kami dan membaca Al-Qur'an maka menangislah orang-orang yang mendengarkannya.'" Ahmad bin Hambal berkata, "Enam orang yang aku do'akan setiap malam, satu di antaranya adalah Asy-Syafi'i." Beliau berkata, "Sesungguhnya Imam Asy-Syafi'i adalah bagaikan matahari bagi alam yang membuat manusia sejahtera." Beliau wafat tahun 204 H di Mesir dan dikebumikan di sana.

6. Abu Bakar Ahmad bin Al-Husein bin Ali Al-Baihaqi seorang faqih bermadzhab Syafi'i, Al-Hafizh, ahli dalam bidang hadits dan dikenal sebagai pakarnya, beliau adalah orang yang paling banyak perjuangannya dalam menyebarkan amdzhab Syafi'i, wafat tahun 458 H di Naisabuur.

7. Abdurrahman bin Mahdi Hasan Al-Azdi Abu Sa'id, seorang hafizh dan imam. Ibnu Al-Madani berkata, "Orang yang paling pandai dalam hal hadits adalah Ibnu Mahdi, beliau mengkhatamkan Al-Qur'an setiap dua malam dan beliau berhaji setiap tahunnya, wafat tahun 198 H.

8. Yakni tidak ada riwayat yang tsiqah dari Umar melainkan yang melalui Alqamah, dan tiada riwayat yang tsiqah dari Alqamah melainkan melalui Muhammad bin Ibrahim, sedangkan tiada riwayat yang tsiqat dari beliau melainkan dari jalan Yahya.

9. Alqamah bin Waqash Al-Laitsi seorang yang tsiqah namun menyimpan sedikit hadits, wafat di Madinah pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.

10. Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harts At-Taimi Al-Madani, seorang ulama terkenal, seorang yang faqih dan ahli hadits. Wafat tahun 120 H.

11. Yahya bin Sa'id bin Qais Al-Anshari, qadhi di Madinah, tsiqah hujahnya dan banyak meriwayatkan hadits, wafat tahun 143 H.

12. Beliau adalah Yahya bin Syaraf penulis matan kitab ini, lihat biografi beliau dalam mukadimah.

13. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jam Kabiir-nya.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Syarh Matan Al-Arba'ien An-Nawawiyah, Pensyarah: Ibnu Daqiiqil 'Ied, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Syarah Hadits Arba'in, Penerjemah: Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!