Friday 9 June 2017

Lailatul Qadar | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kesembilanbelas.

Lailatul Qadar.

Keutamaan Lailatul Qadar ini sangat besar, karena malam kesaksian turunnya al-Qur-an al-Karim, yang mengantarkan orang yang berpegang padanya ke jalan keagungan dan kemuliaan, serta mengangkatnya ke puncak ketinggian dan keabadian. Ummat Islam yang selalu mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selangkah demi selangkah, tidak perlu mengibarkan bendera atau membangun gapura besar untuk menyambut malam tersebut, tetapi dia hanya perlu berlomba-lomba untuk bangun malam dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala.

Berikut ini, saudaraku, beberapa ayat al-Qur-an dan juga hadits-hadits an-Nabawi yang permanen yang disebutkan berkenaan dengan Lailatul Qadar ini, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Keutamaan Lailatul Qadar.

Lailatul Qadar ditetapkan mempunyai nilai yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadr: 1-5)

Pada malam itu, semua urusan dipecahkan dengan penuh kebijaksanaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh kebijaksanaan, yaitu urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus para Rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui." (QS. Ad-Dukhaan: 3-6)

2. Waktu Lailatul Qadar.

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa waktu Lailatul Qadar itu jatuh pada malam keduapuluhsatu, keduapuluhtiga, keduapuluhlima, keduapuluhtujuh, atau keduapuluhsembilan, serta malam terakhir dari bulan Ramadhan. (142)

Imam asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan, "Menurutku, wallaahu a'lam, seakan-akan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan jawaban atas apa yang ditanyakan kepada beliau. Ditanyakan kepada beliau: 'Apakah kita bisa mendapatkannya pada malam anu?' Beliau bersabda, 'Capailah Lailatul Qadar itu pada malam tersebut.'" (143)

Pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang menyebutkan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma, dimana dia menceritakan: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu bangun pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan seraya bersabda: 'Dapatkanlah (dalam sebuah riwayat disebutkan: Carilah) Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.'" (144)

Jika seorang hamba tidak mampu, maka jangan sampai tertinggal untuk mengejar tujuh malam terakhir. Hal itu sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, dimana dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah, maka hendaklah dia tidak ketinggalan untuk mengejar tujuh malam yang tersisa." (145)

Dan itu menafsirkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Aku melihat pandangan kalian telah lemah. Oleh karena itu, barangsiapa yang hendak mencarinya, maka hendaklah dia mencarinya pada tujuh malam terakhir." (146)

Sebagaimana diketahui dari Sunnah bahwa pengetahuan mengenai Lailatul Qadar ini tidak diberikan, karena manusia saling berselisih. Dari 'Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar rumah pada (malam) Lailatul Qadar, lalu ada dua orang muslim yang berselisih, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahu kalian mengenai Lailatul Qadar,' lalu si fulan dan si flan berselisih, sehingga pengetahuannya tidak diberikan. Dan mudah-mudahan hal tersebut lebih baik bagi kalian. Oleh karena itu, carilah pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima (dan dalam riwayat lain disebutkan: Pada malam ketujuh, kesembilan dan kelima)." (147)

Peringatan:

Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir. Yang pertama bersifat umum, sedangkan pendapat kedua bersifat khusus. Yang khusus didahulukan dari yang bersifat umum. Ada beberapa hadits lain yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada tujuh malam yang tersisa, dan yang ini terikat pada ketidakmampuan dan kelemahan, sehingga tidak ada masalah. Di sini, hadits-hadits tersebut berkesesuaian dan tidak bertentangan, sepakat dan tidak bertolak belakang.

Ringkas kata, bahwa seorang muslim mencari Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, yaitu malam keduapuluhsatu, keduapuluhtiga, keduapuluhlima, keduapuluhtujuh, dan keduapuluhsembilan. Dan jika seseorang tidak mampu atau lemah untuk mengejarnya pada malam-malam ganjil terakhir, maka hendaklah dia mengejarnya pada tujuh malam ganjil yang tersisa, yaitu malam keduapuluhlima, keduapuluhtujuh, dan keduapuluhsembilan. Wallaahu a'lam.

3. Bagaimana Seorang Muslim Mendapatkan Lailatul Qadar?

Orang yang diharamkan mendapatkan malam yang penuh berkah itu berarti dia telah diharamkan dari semua kebaikan, dan tidaklah seseorang diharamkan dari kebaikannya melainkan dia benar-benar merugi. Oleh karena itu, dianjurkan kepada orang muslim yang benar-benar taat kepada Allah untuk menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan penuh harapan akan pahalanya yang besar. Jika mengerjakan hal tersebut, niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosa yang telah terdahulu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mendirikan ibadah pada (malam) Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan harapan akan pahala, maka akan diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya telah berlalu." (148)

Dan disunnahkan untuk membaca do'a sekaligus memperbanyaknya. Telah diriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma, dimana dia bercerita, pernah kutanyakan: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang mesti aku ucapkan?" Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Bacalah:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ, تُحِبُّ الْعَفْوَ, فَاعْفُ عَنِّيْ

Allaahumma innaka 'afuwwun, tuhibbul 'afwa, fa'fu 'annii.

'Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemaaf, yang mencintai maaf. Karena itu berilah maaf kepadaku.'" (149)

Saudaraku, mudah-mudahan Allah memberi berkah dan petunjuk kepadamu untuk senantiasa taat kepada-Nya, kini engkau telah mengetahui hakikat Lailatul Qadar ini. Oleh karena itu, berusahalah untuk bangun malam pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, dan menghidupkannya dengan ibadah serta meninggalkan hubungan suami isteri. Dan perintahkanlah keluargamu untuk melakukan hal yang sama serta perbanyaklah ketaatan pada malam tersebut.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, "Jika memasuki sepuluh malam terakhir, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memperkuat ikatan kainnya (150) sambil menghidupkan malam itu serta membangunkan keluarganya." (151)

Masih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berusaha keras pada sepuluh malam terakhir, yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya." (152)

4. Tanda-tanda (Malam) Lailatul Qadar. (153)

Ketahuilah, wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah mendukungmu melalui pertolongan-Nya- bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyifati pagi dari Lailatul Qadar agar orang muslim mengetahui, malam apakah itu:

Dari 'Ubay radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Pagi (setelah) malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyinarinya, seakan-akan ia bejana sehingga naik." (154)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, "Kami pernah membicarakan Lailatul Qadar di dekat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau pun bersabda, 'Siapa di antara kalian yang menyebutkan, yaitu ketika bulan terbit, dimana ia seperti separuh mangkuk.'" (155)

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Lailatul Qadar merupakan malam penuh kelembutan, cerah, tidak panas dan tidak pula dingin, dimana matahari pada pagi harinya tampak lemah kemerahan." (156)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(142) Berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan masalah ini cukup beragam. Imam al-'Iraqi telah menyusun satu risalah tersendiri yang dia beri judul: "Syarhush Shadr bi Dzikri Lailatil Qadar", yang di dalamnya dimuat berbagai pendapat para 'ulama mengenai masalah ini, silahkan lihat.

(143) Seperti yang dinukil darinya oleh al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (I/ 388).

(144) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 225) dan Muslim (1169).

(145) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 221) dan Muslim (1165).

(146) Lihat komentar terdahulu.

(147) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 232).

(148) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 217) dan Muslim (759).

(149) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850) dari 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma). Sanad hadits ini shahih. Lihat kembali kitab Bughyatul Insaan fii Wazhaa-ifi Ramadhaan (hal. 55-58) karya Ibnu Rajab al-Hanbali.

(150) Maksudnya, menghindari campur dengan isteri dalam rangka meningkatkan ibadah serta berusaha keras untuk mencari Lailatul Qadar.

(151) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 233) dan Muslim (1174).

(152) Diriwayatkan oleh Muslim (1174).

(153) Masyarakat awam mengenai tanda-tanda Lailatul Qadar ini memiliki banyak khurafat dan keyakinan yang menyimpang, di antaranya adalah bahwa pohon pun bersujud dan gedung-gedung tidur, dan demikian seterusnya.

(154) Diriwayatkan oleh Muslim (762).

(155) Al-Qadhi 'Iyadh mengatakan: "Di dalamnya terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar itu muncul di akhir-akhir bulan, karena bulan tidak mungkin berwujud separuh mangkuk saat terbit kecuali di akhir bulan."

(156) Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi (349), Ibnu Khuzaimah (III/ 231), al-Bazzar (I/ 486), dan sanadnya hasan.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Fidyah | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kedelapanbelas.

Fidyah.

1. Seorang wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap dirinya sendiri atau terhadap anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi hanya cukup dengan memberi makan orang miskin setiap hari. Yang menjadi syahid bagi hal tersebut dari al-Qur-an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Dan kewajiban bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)

Sisi penggunaan dalil di atas adalah bahwa ayat ini dikhususkan bagi orang yang sudah tua dan wanita yang sudah sangat lemah serta orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang menyusui jika keduanya khawatir terhadap dirinya sendiri pada anak mereka, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhum.

2. Engkau, saudaraku seiman, telah mengetahui bahwa ayat ini telah dinasakh (dihapus), berdasarkan pada dua hadits 'Abdullah bin 'Umar dan Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhuma, hanya saja telah ditetapkan pula dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhu) bahwa ayat tersebut tidak dinasakh dan ayat tersebut berkenaan dengan orang yang sudah tua, wanita yang lemah yang keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, maka keduanya harus memberi makan orang miskin setiap hari. (134)

Oleh karena itu, muncul praduga bahwa Ibnu 'Abbas bertolak belakang atau bertentangan dengan mayoritas Shahabat, khususnya jika engkau telah mengetahui bahwa dia telah dengan gamblang menyatakan dalam riwayat lain bahwa ayat tersebut dinasakh: "Diberikan keringanan kepada orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah dalam hal tersebut, sedang keduanya tidak sanggup mengerjakan puasa, maka jika mau, keduanya dibolehkan untuk tidak berpuasa atau memberi makan orang miskin setiap hari dengan tidak ada kewajiban qadha' pada keduanya. Kemudian hal tersebut dinasakh melalui ayat ini:

"Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu (Ramadhan) maka hendaklah dia berpuasa." (QS. Al-Baqarah: 185)

Telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita yang sedang hamil dan wanita yang menyusui, jika keduanya khawatir, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan dia harus memberi makan orang miskin setiap hari." (135)

Ada beberapa orang yang melihat pada lahiriah riwayat terdahulu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab tafsir dari kitab Shahihnya, yang secara gamblang menyebutkan penafian penghapusan (nasakh). Sehingga mereka mengira bahwa Ibnu 'Abbas bertentangan dengan mayoritas Shahabat. Dan ketika mereka berhadapan dengan riwayat yang secara gamblang menyebut nasakh, maka mereka pun mengklaim bahwa Ibnu 'Abbas bertolak belakang.

3. Yang benar dan tidak diragukan lagi bahwa ayat ini telah dinasakh (dihapuskan), tetapi dengan pengertian dinasakh menurut pemahaman Salafush Shalih. Dimana para Salafush Shalih radhiyallahu 'anhum menyebut nasakh sebagai penghapusan dalil umum, mutlak, lahir dan lain-lainnya terkadang, baik dengan maksud memberikan pengkhususan, pembatasan, atau membawa pengertian mutlak kepada muqayyad (terikat), kemudian ditafsirkan dan dijelaskan. Sampai-sampai mereka menyebutnya dengan istitsna' (pengecualian), syarat, dan sifat sebagai nasakh, karena ketercakupannya pada penghapusan dalil yang lahir dan penjelasan yang dimaksud. Dengan demikian, dalam bahasa mereka, nasakh berarti penjelasan maksud tanpa lafazh, bahkan dengan hal di luar hal tersebut. (136)

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang mencermati ungkapan mereka niscaya akan mengetahui apa yang tidak terhingga dari hal tersebut, dan hilang pula darinya berbagai kesulitan pengertian yang mengharuskan membawa ungkapan mereka itu pada istilah baru yang terakhir, dan yang mengandung penghapusan hukum syari'at terdahulu dengan dalil syari'at berikutnya bagi para mukallaf (orang yang terkena hukum wajib).

4. Pengertian ini memperkuat bahwa ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap mukallaf, meliputi semua orang yang mampu mengerjakan puasa dan yang tidak mampu. Yang menjadi dalil tentang hal tersebut dalam Sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Kami pernah berada di bulan Ramadhan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, boleh berpuasa bagi orang yang mau berpuasa, dan boleh tidak berpuasa bagi orang yang mau tidak berpuasa, tetapi harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin, sehingga turunlah ayat ini:

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa." (QS. Al-Baqarah: 185)

Mungkin persoalan yang dimunculkan oleh hadits Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) yang secara jelas menyatakan nasakh, bahwa rukhshah (keringanan) itu diberikan kepada orang tua, laki-laki maupun perempuan, jika keduanya mampu menjalankan puasa secara dipaksakan, tetapi masalah itu hilang jika telah tampak jelas oleh engkau bahwa ia dimaksudkan untuk dalil, bukan untuk pembatasan. Dan dalil pengertian ini adalah hadits itu sendiri, dimana jika keringanan itu untuk orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan, kemudian dinasakh sehingga yang tersisa hanya bagi orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, maka apa makna keringanan yang telah ditetapkan dan manfi (dinafi'kan), jika penyebutan orang-orang itu bukan untuk dalil dan tidak juga untuk pembatasan?

Jika engkau sudah memahami dan benar-benar meyakini, maka telah muncul ketetapan tegas pada dirimu bahwa makna ayat tersebut mansukh bagi orang yang mampu mengerjakan puasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa. Hukum yang pertama merupakan nasakh dengan menggunakan dalil al-Qur-an, sedangkan hukum yang kedua ditetapkan dengan dalil Sunnah, dan tidak dinasakh sampai hari Kiamat.

Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu 'Abbas di dalam riwayat yang jelas tentang nasakh: "Dan ditetapkan bagi orang laki-laki yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita hamil dan wanita yang menyusui jika keduanya khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin."

Pengertian itu semakin jelas oleh hadits Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dimana dia bercerita, "Adapun masalah puasa, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Madinah, lalu beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura'. Kemudian Allah mewajibkan kepada beliau puasa, dimana Dia menurunkan firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa..." (QS. Al-Baqarah: 183)

Setelah itu, Dia menurunkan ayat lain:

"Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan al-Qur-an..." (QS. Al-Baqarah: 185)

Dengan demikian, Allah telah menetapkan puasa bagi orang yang mukim (menetap di tempat tinggal) lagi sehat. Dan Dia berikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Dia tetapkan ketentuan memberi makan orang miskin bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu menjalankan puasa. Demikianlah dua ketentuan..." (137)

Kedua hadits ini secara jelas memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut mansukh bagi orang yang mampu menjalankan puasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu menjalankannya. Dengan kata lain, ayat tersebut mempunyai keberadaan khusus.

Oleh karena itu, Ibnu 'Abbas sejalan dengan para Shahabat lainnya, dan haditsnya pun sejalan dengan dua hadits lainnya, yaitu hadits 'Abdullah bin 'Amr dan hadits Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhum serta tidak pula bertolak belakang. Dengan demikian, ucapannya: "Ayat tersebut tidak dimansukh," ditafsirkan oleh ucapannya: "Ayat tersebut mansukh. Dengan kata lain, ayat tersebut mempunyai keberadaan khusus." Dengan demikian, tampak jelas bahwa nasakh dalam pemahaman para Shahabat bisa menerima pengkhususan dan pembatasan dalam pemahaman para ahli ushul yang hidup setelahnya. Hal itu pula yang diisyaratkan oleh al-Qurthubi rahimahullah di dalam tafsirnya. (138)

5. Saudaraku seiman, engkau mungkin akan menyangka bahwa apa yang ditegaskan dari Ibnu 'Abbas dan Mu'adz radhiyallahu 'anhum di atas hanya sekedar pendapat, ijtihad dan pemberitahuan yang tidak setingkat dengan barisan hadits marfu' yang mengkhususkan keumuman al-Qur-an dan mengikat kemutlakannya serta menafsirkan kemujmalan (keglobalan)nya. Jawabannya sebagai berikut:

a. Menurut kesepakatan para ahli hadits, kedua hadits tersebut marfu', sehingga tidak diperbolehkan bagi orang mukmin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya untuk menyalahi keduanya, karena keduanya datang dalam menafsirkan apa yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat. Dengan kata lain, kedua Shahabat tersebut termasuk orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu yang memberitahukan tentang suatu ayat dari al-Qur-an bahwa ia turun berkenaan dengan peristiwa ini dan itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, hadits ini menjadi sandaran yang kuat. (139)

b. Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma menetapkan bahwa hukum ini bagi wanita yang menyusui dan wanita hamil. Lalu dari mana dia memberi ketetapan hukum tersebut? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu berasal dari Sunnah, apalagi posisinya yang tidak sendiri, tetapi disetujui oleh 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan bahwa ayat ini masukh.

Dari Malik, dari Nafi' bahwa Ibnu 'Umar pernah ditanya tentang seorang wanita hamil jika khawatir pada kandungannya. Maka dia menjawab: "Dia boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan satu mud gandum setiap hari kepada satu orang miskin." (140)

Diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni (I/ 207) dari Ibnu 'Umar dan dia menilainya shahih, bahwasanya dia mengatakan: "Wanita yang hamil dan wanita yang menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadha'nya." Diriwayatkan pula dari jalan yang lain: "Bahwa isterinya pernah bertanya kepadanya ketika dia tengah hamil, maka dia menjawab: 'Tidak perlu berpuasa, tetapi kamu harus memberi makan kepada orang miskin setiap hari dan tidak perlu mengqadha'.'" Sanad hadits ini jayyid. Adapun dari jalan yang ketiga, masih dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma: "Bahwa seorang anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, sedang dia tengah hamil, lalu dia merasa haus di siang hari pada bulan Ramadhan, maka dia menyuruhnya untuk tidak berpuasa, dan mengharuskan memberi makan prang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan."

c. Tidak ada pertentangan dari Ibnu 'Abbas terhadap para Shahabat. (141)

6. Penjelasan ini menerangkan makna peniadaan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui di dalam hadits Anas bin Malik al-Ka'bi (radhiyallahu 'anhu) terdahulu. Dan hal tersebut dibatasi dengan adanya rasa khawatir terhadap diri atau anaknya. Dia harus memberi makan orang miskin dan tidak perlu mengqadha'. Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dengan sanad yang dinilainya shahih (I/ 207), dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) bahwa dia pernah melihat isterinya hamil atau menyusui, maka dia berkata: "Engkau termasuk orang yang tidak mampu menjalankan puasa, tetapi engkau harus memberi makan orang miskin dan tidak harus mengqadha'."

7. Orang yang mengklaim bahwa peniadaan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui itu sama dengan peniadaan kewajiban puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dan mengharuskan bagi mereka (wanita hamil dan menyusui) untuk mengqadha'nya, maka pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena al-Qur-an telah menjelaskan peniadaan kewajiban puasa bagi musafir, dimana Dia berfirman:

"Barangsiapa di antara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan, maka hendaklah dia menggantinya pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)

Selain itu, al-Qur-an juga menjelaskan makna peniadaan kewajiban puasa bagi orang-orang yang tidak mampu menjalankannya:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)

Dengan demikian, telah jelas bagimu bahwa wanita hamil dan wanita menyusui termasuk dalam cakupan ayat ini, bahkan ia termasuk yang dikhususkan bagi mereka.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(134) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (VIII/ 135).

(135) Diriwayatkan oleh Ibnul Jarud (381), al-Baihaqi (IV/ 230), Abu Dawud (2318), dan sanadnya shahih.

(136) Silahkan merujuk hal tersebut di dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin (I/ 35), Ibnu Qayyim. Dan juga al-Muuwaafaqaat (III/ 118) karya asy-Syathibi.

(137) Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya (507), al-Baihaqi di dalam kitab Sunannya (IV/ 200), Ahmad di dalam kitab al-Musnad (V/ 246-247).

(138) Yang berjudul: "Al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan" (II/ 288).

(139) Lihat kitab Tadriibur Raawii (I/ 192-193) karya as-Suyuthi, juga kitab 'Uluumul Hadiits hal. 24 karya Ibnu Shalah.

(140) Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Sunannya (IV/ 230) melalui jalan Imam asy-Syafi'i, dan sanadnya shahih.

(141) Sebagaimana yang ditetapkan oleh Ibnu Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni (III/ 21).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Kaffarat | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Ketujuhbelas.

Kaffarat.

1. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengenai seseorang yang melakukan hubungan badan dengan isterinya pada siang hari di bulan Ramadhan, maka dia harus mengqadha' sekaligus membayar kaffarat, yaitu dengan memerdekakan seorang budak. Jika tidak mendapatkan budak, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu melakukan hal tersebut, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

Ada yang berpendapat, kaffarat yang harus dibayar karena melakukan hubungan badan itu didasarkan pada pilihan dan tidak berdasarkan tertib urutan. Tetapi, yang berpendapat bahwa kaffarat itu harus ditempuh berdasarkan tertib urutan lebih banyak. Karenanya, riwayat mereka lebih rajih, sebab jumlah mereka lebih banyak, dan karena pada mereka terdapat kelebihan ilmu, dimana mereka bersepakat bahwa pembatalan puasa itu disebabkan oleh hubungan badan. Dan hal tersebut tidak terjadi pada riwayat-riwayat lainnya. Orang yang berilmu merupakan hujjah bagi yang tidak berilmu. Dan yang mentarjih tertib urutan juga sebagai suatu tindakan berhati-hati. Dan karena berpegang padanya dibolehkan, apakah kami katakan dengan pilihan atau tidak. Berbeda dengan yang sebaliknya.

2. Barangsiapa yang diwajibkan membayar kaffarat sedang dia tidak mampu memerdekakan budak atau mengerjakan puasa selama dua bulan berturut-turut atau tidak juga mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin, maka kewajiban itu menjadi gugur, karena tidak ada taklif kecuali dengan adanya kemampuan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya." (QS. Al-Baqarah: 286)

Dan dengan dalil apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau menggugurkan kaffarat dari seseorang saat dia memberitahu beliau bahwa dia merasa kesulitan untuk membayar kaffarat tersebut. Bahkan beliau memberikan satu wadah kurma agar dia memberikan makan kepada keluarganya.

3. Tidak diharuskan bagi seorang wanita membayar kaffarat karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahu tentang apa yang dialami oleh seorang laki-laki dengan isterinya, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mewajibkan kecuali satu kaffarat saja. Wallaahu a'lam.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Qadha' Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keenambelas.

Qadha' Puasa.

1. Ketahuilah, wahai orang muslim, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam memahami agama, bahwa mengqadha' puasa Ramadhan yang tertinggal tidak harus dilakukan seketika. Kewajiban mengqadha' ini bersifat fleksibel dan penuh keleluasaan. Hal tersebut didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Sayyidah 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma: "Aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan, lalu aku tidak bisa menggantinya kecuali pada bulan Sya'ban." (127)

Di dalam kitab Fat-hul Baari IV/ 191, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: "Dan di dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan dibolehkannya penundaan qadha' puasa Ramadhan secara mutlak, baik karena suatu alasan maupun tidak adanya alasan."

Sebagaimana diketahui bersama, menyegerakan qadha' puasa itu lebih baik daripada menundanya, karena ketercakupannya dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menundanya. Hal tersebut didukung pula dalil dari al-Kitab al-Majid:

"Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu." (QS. Ali 'Imran: 133)

Dan firman Allah 'Azza wa Jalla:

"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (QS. Al-Mu'minuun: 61)

2. Tidak wajib untuk mengqadha' puasa secara berurutan dan berkesinambungan, karena keeratan sifat qadha' dengan sifat pelaksanaan. Yang demikian itu sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka berpuasalah pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)

Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) mengatakan: "Tidak ada masalah untuk mengqadha' puasa secara terpisah-pisah." (128)

Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu) mengemukakan: "Jika mau, dia boleh mengqadha' dengan bilangan ganjil." (129)

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi (IV/ 259) dan ad-Daraquthni (II/ 191-192), melalui jalan 'Abdurrahman bin Ibrahim dari al-'Ala' bin 'Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu': "Barangsiapa mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka hendaklah dia mengerjakannya secara berurutan dan tidak memutus-mutuskannya," maka sesungguhnya hadits tersebut dha'if.

Ad-Daraquthni mengatakan: "'Abdurrahman bin Ibrahim adalah seorang yang dha'if."

Al-Baihaqi mengemukakan, dinilai dha'if oleh Ibnu Ma'in, an-Nasa-i, dan ad-Daraquthni.

Di dalam kitab at-Talkhiishul Habiir (II/ 206), Ibnu Hajar menukil dari Ibnu Abi Hatim bahwa dia menolak hadits itu sendiri karena 'Abdurrahman.

Uraian tentang kedha'ifan hadits ini telah disampaikan secara rinci oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil no. 943.

Dan yang terdapat di dalam kitab Silsilatul Ahaadiits adh-Dha'iifah (II/ 137), yang menghasankan hadits ini, maka hal tersebut ditolak. (130) Karena itu, berhati-hatilah.

Ringkas kata dapat dikatakan bahwanya tidak dibenarkan adanya hadits yang marfu' -menurut yang kami ketahui- dalam masalah mengqadha' puasa secara terpisah-pisah, dan tidak juga berturut-turut. Adapun yang mendekati pengertian itu dan mudah dipahami, bolehnya dua cara tersebut. Demikian pula yang dikemukakan oleh Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Abu Dawud di dalam Masaa-ilnya (hal. 95) mengatakan: "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang qadha' puasa Ramadhan, maka dia menjawab: "Jika mau, dia boleh memisah-misahkan, dan jika mau, dia juga boleh melakukannya secara berurutan." Wallaahu a'lam.

Oleh karena itu, diperbolehkannya pemisahan hari-hari qadha' puasa tidak berarti dilarangnya mengqadha' secara berurutan.

3. Para 'ulama telah sepakat bahwa orang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai tanggungan kewajiban beberapa shalat yang ditinggalkannya, maka walinya atau yang lainnya tidak berkewajiban untuk mengqadha'nya. Demikian halnya dengan orang yang tidak mampu mengerjakan puasa, maka tidak seorang pun boleh mengganti puasanya itu semasa hidupnya, tetapi dia harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Anas radhiyallahu 'anhu dalam atsar yang telah kami sebutkan tadi.

Tetapi, orang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai nadzar puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa meninggal dunia sedang dia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya yang harus membayar puasanya itu." (131)

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, "Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku harus membayarnya?' Beliau bersabda: 'Ya, karena hutang kepada Allah itu lebih harus (wajib) dibayar.'" (132)

Hadits-hadits yang bersifat umum di atas secara lantang menjelaskan disyari'atkannya puasa oleh wali sebagai ganti puasa orang yang sudah meninggal dari segala macam puasa. Demikian pula yang menjadi pendapat sebagian penganut madzhab Syafi'i dan juga pendapat Ibnu Hazm (VII/ 2 dan 8).

Hanya saja, hadits-hadits yang bersifat umum ini dikhususkan lagi, dimana seorang wali tidak harus membayar puasa orang yang meninggal dunia kecuali puasa nadzar. Hal itu pula yang disampaikan oleh Imam Ahmad, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Masaa-ilul Imam Ahmad, riwayat Abu Dawud, hal. 96, dia bercerita, aku pernah mendengar Ahmad bin Hanbal mengatakan: "Tidak boleh dibayarkan hutang puasa orang yang sudah meninggal dunia, kecuali puasa nadzar." Abu Dawud mengemukakan, kukatakan kepada Ahmad: "Lalu bagaimana dengan puasa Ramadhan?" Dia menjawab: "Dibayar dengan memberi makan (orang miskin)."

Inilah pendapat yang menenteramkan jiwa dan melapangkan hati serta mendinginkan dada. Pendapat ini ditarjih oleh fiqih dalil, karena di dalamnya terkandung pengamalan terhadap semua hadits yang disebutkan mengenai hal tersebut tanpa adanya penolakan sedikit pun terhadapnya, dengan pemahaman yang benar terhadapnya, khususnya hadits pertama. Dimana 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma tidak memahami kemutlakan hal tersebut pada puasa Ramadhan dan yang lainnya, tetapi dia berpendapat untuk membayar dengan memberikan makan orang miskin. Dan itu merupakan riwayatnya dengan dalil, apa yang diriwayatkan oleh 'Umrah, bahwa ibunya meninggal dunia dengan memiliki hutang puasa Ramadhan. Dia bertanya kepada 'Aisyah: "Apakah aku harus membayarnya?" 'Aisyah menjawab: "Tidak. Tetapi, keluarkanlah sedekah sebagai gantinya setiap hari setengah sha' kepada orang miskin." Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam kitab Musykilul Aatsaar (III/ 142). Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhalla (VII/ 4). Lafazh di atas miliknya dengan sanad yang shahih.

Telah menjadi ketetapan bahwa perawi hadits ini lebih mengetahui apa yang diriwayatkannya dan memberikan penjelasan sebagai berikut: "Jika seseorang jatuh sakit pada bulan Ramadhan, kemudian dia meninggal dunia dan tidak mengerjakan puasa, maka puasanya itu dibayar dengan memberi makan orang miskin dan tidak ada kewajiban qadha' baginya. Dan jika dia mempunyai nadzar puasa, maka nadzar itu harus dibayar oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhalla (VII/ 7), dan dia menilai shahih sanadnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah perawi hadits kedua, khususnya dia meriwayatkan sebuah hadits yang di dalamnya ditegaskan tentang seorang wali yang membayar nadzar puasa untuk si mayit, "Bahwa Sa'ad bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana dia berkata: 'Sesungguhnya ibuku sudah meninggal sedang dia mempunyai hutang puasa?' Beliau bersabda: 'Bayarkanlah untuknya.' Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.

Uraian di atas sesuai dengan kaidah-kaidah syari'at dan dasar-dasarnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-'Allamah Ibnu Qayyim di dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin. Dan dia tambahkan keterangan dan tahqiqnya di dalam kitab Tahdziibu Sunan Abi Dawud (III/ 279-282). Silahkan buku tersebut dibaca, karena ia sangat penting.

4. Barangsiapa meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa nadzar, lalu hutang itu dibayarkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang sesuai dengan hari yang ditinggalkan, al-Hasan mengatakan: "Jika dibayarkan oleh tiga puluh orang, dimana setiap orang mewakili satu hari yang ditinggalkan, maka hal itu dibolehkan." (133)

Adapun memberi makan orang miskin maka dibolehkan bagi walinya untuk mengumpulkan orang-orang miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya sampai mereka kenyang. Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(127) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 166) dan Muslim (1146).

(128) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 189), dan disambungkan oleh 'Abdurrazzaq, ad-Daraquthni, dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih. Lihat juga buku Taghliiqut Ta'liiq (III/ 186).

(129) Lihat mengenai hal itu dalam buku Irwaa-ul Ghaliil (IV/ 95).

(130) Dan kami telah menambahkan penjelasan mengenai hal ini melalui penafsiran dari Syaikh kami, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat padanya.

(131) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 168) dan Muslim (1147).

(132) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 169) dan Muslim (1148).

(133) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 12) sebagai komentar. Dan disambung oleh ad-Daraquthni di dalam kitab Kitabul Mudabbaj. Sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Mukhtashar Shahih al-Bukhari (I/ 58).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Hal-hal yang Membatalkan Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kelimabelas.

Hal-hal yang Membatalkan Puasa.

Ada banyak hal yang harus selalu dihindari oleh orang yang menjalankan ibadah puasa. Sebab, jika dia mengerjakannya pada siang hari di bulan Ramadhan, maka dapat membatalkan puasanya dan akan bertambah pula dosanya, yaitu sebagai berikut:

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (QS. Al-Baqarah: 187)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa puasa itu dari makan dan minum. Karenanya, jika orang yang menjalankan ibadah puasa minum, berarti dia sudah tidak lagi berpuasa (batal puasanya). Dan hal tersebut dikhususkan bagi orang yang sengaja meminumnya, karena jika orang yang berpuasa menjalankan hal tersebut karena lupa atau salah atau karena dipaksa, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.

Hal itu didasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika dia lupa lalu dia makan dan minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya." (119)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Sesungguhnya Allah memberi maaf kepada ummatku karena kesalahan dan lupa serta apa yang dipaksakan kepada mereka." (120)

2. Muntah dengan sengaja.

Sebab, orang yang muntah tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa muntah (tanpa sengaja), maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha'nya. Tetapi, barangsiapa sengaja muntah, maka wajib baginya mengqadha'." (121)

3. Haidh dan Nifas.

Jika seorang wanita sedang menjalani haidh atau nifas pada siang hari, baik di awal maupun di akhir waktu, berarti puasanya telah batal dan harus menggantinya. Dan jika dia tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bukankah jika dia (wanita) sedang haidh, dia tidak shalat dan juga tidak puasa?" Mereka menjawab: "Benar." Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Demikianlah kekurangan agamanya."

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan:

"Beberapa malam dia diam tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa pada bulan Ramadhan. Dan inilah kekurangan agamanya." (122)

Telah ada perintah untuk mengqadha' dalam hadits Mu'adzah, dimana dia bercerita, Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma), kataku: "Mengapa wanita yang haidh itu harus mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?" Dia bertanya, "Apakah engkau ini orang Haruriyyah (123)?" Aku pun menjawab: "Aku bukan seorang Haruriyyah, tetapi aku sekedar bertanya." 'Aisyah berkata: "Kami pernah mengalami hal tersebut, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat." (124)

4. Infus Makanan.

Yaitu pemberian zat makanan ke dalam usus dengan tujuan memberi makan kepada orang yang sedang sakit. Hal semacam ini dapat membatalkan puasa, karena ia merupakan proses pemasukan zat makanan ke dalam tubuh (125). Tetapi jika infus itu tidak sampai ke usus dan hanya sampai darah saja, maka infus ini pun membatalkan puasa, karena ia menempati posisi makanan dan minuman. Banyak orang yang sakit tidak sadarkan diri dalam waktu cukup lama, mereka diberi makan dengan cara infus ini, seperti misalnya glukosa dan cairan garam. Demikian pula zat-zat yang diberikan kepada orang-orang yang menderita penyakit asma, dimana zat-zat ini juga membatalkan puasa.

5. Hubungan Badan.

Di dalam kitab, ad-Daraaril Mudhiyyah (II/ 22), asy-Syaukani mengatakan: "Tidak diperdebatkan lagi bahwa hubungan badan dapat membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja. Tetapi, jika dilakukan karena lupa, maka sebagian 'ulama mengkategorikan termasuk orang yang makan dan minum karena lupa."

Sedangkan di dalam kitab Zaadul Ma'aad (II/ 60), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: "Al-Qur-an telah menunjukkan bahwa hubungan badan itu membatalkan puasa, sebagaimana halnya dengan makan dan minum, tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini."

Yang menjadi dalil dalam hal tersebut dari al-Qur-an, adalah firman-Nya:

"Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu." (QS. Al-Baqarah: 187)

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan izin untuk berhubungan badan (pada malam hari).

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa puasa itu dari hubungan badan, makan dan minum. Barangsiapa merusak puasanya dengan hubungan badan, maka dia harus mengganti puasanya itu disertai dengan kaffarat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Beliau pernah didatangi seseorang seraya berucap: 'Wahai Rasulullah, celakalah aku.' 'Apa yang telah mencelakakan dirimu?' Tanya beliau. Dia menjawab: 'Aku telah berhubungan badan dengan isteriku pada siang hari di bulan Ramadhan.' Beliau bertanya: 'Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?' 'Tidak,' jawabnya. Lalu beliau bertanya lagi: 'Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?' Dia menjawab: 'Tidak.' Beliau bertanya lagi: 'Dan apakah kamu mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?' Dia pun menjawab: 'Tidak.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempersilahkan duduk kepadanya. Dan ia pun duduk. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dibawakan satu wadah berisi kurma, dan beliau bersabda: 'Bersedekahlah dengan kurma ini.' Kemudian dia berkata: 'Adakah orang yang lebih miskin dari kami?'" Abu Hurairah mengatakan: "Maka Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau bersabda: 'Ambillah dan berikan makan keluargamu dari sedekah itu.'" (126)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(119) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 135) dan Muslim (1155).

(120) Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam kitab Syarh Ma'aaniyal Aatsaar (II/ 56), al-Hakim (II/ 198), Ibnu Hazm - al-Ihkaam (V/ 149), ad-Daraquthni (IV/ 171) melalui dua jalan dari al-Auza'i, dari 'Atha' bin Abi Rabah dari 'Ubaid bin 'Umair, dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma).

(121) HR. Abu Dawud (II/ 310), at-Tirmidzi (III/ 79), Ibnu Majah (I/ 536), Ahmad (II/ 498) melalui jalan Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dan sanadnya shahih, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikhul Islam di dalam kitab Haqiiqatush Shiyaam hal. 14.

(122) Diriwayatkan oleh Muslim (79) dan (80) dari Ibnu 'Umar dan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhum.

(123) Haruriyyah adalah nisbat pada Harura', sebuah daerah yang berjarak sekitar 2 mil dari Kufah. Dan orang yang meyakini pendapat Khawarij disebut dengan Haruri, karena kelompok pertama dari mereka keluar dari 'Ali radhiyallahu 'anha di negeri tersebut sehingga mereka menisbatkan diri kepadanya.

Demikian yang dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 424). Lihat juga kitab al-Lubaab (I/ 359) karya Ibnul Atsir.

Orang-orang Haruriyyah itu mengharuskan wanita jika sudah suci dari haidh untuk mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama haidh. Lalu 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma khawatir Mu'adzah mengambil pertanyaan tersebut dari Khawarij yang kebiasaan mereka adalah menentang Sunnah dengan pendapat mereka. Dan orang-orang semisal mereka pada zaman sekarang ini cukup banyak.

Lihat juga fasal: at-Tautsiiq 'anillah wa Rasuulihi, dari risalah: Diraasaatun Manhajiyyah fil 'Aqiidah as-Salafiyyah, karya Syaikh Salim al-Hilali.

(124) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 429) dan Muslim (335).

(125) Lihat buku Haqiqatush Shiyaam halaman 55 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

(126) Hadits itu disebutkan dengan lafazh yang bermacam-macam dari al-Bukhari (XI/ 516), Muslim (1111), at-Tirmidzi (724), al-Baghawi (VI/ 288), Abu Dawud (2390), ad-Darimi (II/ 11), Ibnu Majah (1671), Ibnu Abi Syaibah (II/ 183-184), Ibnu Khuzaimah (III/ 216), Ibnul Jarud (139), asy-Syafi'i (299), Malik (I/ 297) dan 'Abdurrazzaq (IV/ 196). Sebagian mereka memursalkannya dan sebagian lainnya menyambungkannya.

Menurut sebagian mereka, penambahan: "Iqdhii yauman makaanahu" itu shahih. Dan telah dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (XI/ 516). Dan derajatnya sama dengan yang ia katakan.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Berbuka Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keempatbelas.

Berbuka Puasa.

1. Kapan Seseorang Boleh Berbuka?

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam..." (QS. Al-Baqarah: 187)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkannya dengan datangnya malam dan berlalunya siang serta tenggelamnya bulatan matahari. Dan kami akan menyampaikan beberapa hal yang membuat hati orang muslim yang mengikuti Sunnatul Huda benar-benar tenang.

Wahai hamba Allah, inilah beberapa sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di hadapan kalian semua, dimana engkau telah membacanya sendiri, dan sesungguhnya semua demikian jelas dan tidak ada yang tertutupi lagi bagimu. Berbagai tindakan para Shahabat radhiyallahu 'anhum pun telah engkau saksikan. Selain itu, engkau pun telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jejak demi jejak.

Diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq di dalam kitab al-Mushannaf (7591) dengan sanad yang dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 199), al-Haitami di dalam kitab Majma'uz Zawaa-id (III/ 154) dari 'Amr bin Maimun al-Audi, dia bercerita:

"Para Shahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat makan sahur."

2. Menyegerakan Berbuka.

Saudaraku seiman, hendaklah engkau berbuka puasa langsung setelah matahari tenggelam, jangan terpengaruh oleh warna merah tajam yang tersisa di ufuk. Sebab, yang demikian itu sebagai upaya mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sekaligus tidak menyerupai orang-orang yahudi dan nashrani, dimana mereka biasa mengakhirkan buka puasa. Penundaan buka puasa mereka itu sampai batas tertentu, yaitu munculnya bintang. Mengikuti jalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjalankan Sunnahnya merupakan salah satu upaya menjunjung tinggi ajaran agama sekaligus wujud rasa bangga atas petunjuk yang kita dapatkan. Dan berikut ini beberapa hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai hal tersebut:

a. Menyegerakan buka puasa akan mendatangkan kebaikan.

Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"Ummat manusia ini akan tetap baik selama mereka menyegerakan buka puasa." (105)

b. Menyegerakan buka puasa merupakan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jika ummat Islam menyegerakan buka puasa, berarti mereka tetap berada dalam bingkai Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan manhaj Salafush Shalih. Dengan izin Allah, mereka tidak akan pernah tersesat selama mereka benar-benar berpegang teguh padanya seraya membuang semua yang akan merubah kaidah-kaidahnya.

Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Ummatku masih tetap berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunda-nunda puasa sampai munculnya bintangnya." (106)

c. Menyegerakan buka puasa berarti menyalahi orang-orang yang sesat lagi mendapat murka.

Seandainya ummat manusia ini masih tetap baik, karena mereka masih menempuh manhaj Rasul mereka serta mempertahankan Sunnahnya, niscaya Islam akan tetap jaya dan berdiri kokoh serta tidak akan disusahkan oleh orang-orang yang menentangnya. Pada saat itulah ummat Islam akan menjadi cahaya yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk menerangi tempat yang gelap sekaligus sebagai teladan yang baik yang dijadikan panutan. Sebab, ia tidak akan pernah menjadi ekor ummat-ummat timur maupun barat, sekaligus sebagai naungan bagi setiap kelompok yang condong oleh angin ke mana saja angin itu berhembus.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Agama ini masih tetap jaya selama ummat manusia menyegerakan buka puasa, karena orang-orang yahudi dan nashrani biasa mengakhirkannya." (107)

Dapat kami katakan, dalam hadits-hadits di atas terdapat manfaat yang cukup banyak dan beberapa hal penting, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

* Kejayaan agama ini masih akan terus melaju dengan kibaran panjinya jika kita menyalahi ahlul kitab yang datang sebelum kita. Dalam hal itu terkandung penjelasan bagi ummat Islam, dimana ia akan tetap mencengkram kebaikan dengan semua kandungan jika ummat ini masih tetap memiliki keistimewaan Rabbani, dengan tidak terombang-ambing ke timur dan ke barat, menolak tegas untuk berkiblat pada atmosfir kremlin atau tunduk pada kebijakan gedung putih (white house), mudah-mudahan Allah membuatnya (gedung putih itu) hitam kelam, atau berkiblat pada london, semoga Allah meluluhlantakkannya. Jika ummat Islam benar-benar menjalankan hal tersebut, niscaya Islam akan berdiri tegak penuh kewibawaan di tengah-tengah ummat-ummat yang lain, menjadi pusat perhatian seluruh pandangan. Selain itu, semua hati akan tertarik padanya. Dan ummat ini tidak akan memperoleh posisi tersebut kecuali dengan kembali kepada Islam dengan berpegang teguh pada al-Qur-an dan as-Sunnah, 'aqidah maupun manhaj.

* Berpegang teguh kepada Islam secara menyeluruh dan komprehensif. Yang demikian itu didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan." (QS. Al-Baqarah: 208)

Dengan demikian, pembagian Islam menjadi isi dan kulit merupakan bid'ah (sesuatu yang diada-adakan) jahiliyyah modern, yang tujuannya merancukan pemikiran kaum muslimin serta memasukkan mereka ke dalam perhatian yang tidak memiliki dasar sama sekali dalam agama Allah. Bahkan, akarnya menjalar kepada orang-orang yang mendapat murka yang hanya percaya kepada sebagian al-Kitab dan kafir kepada sebagian lainnya. Dan kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka secara menyeluruh dan terperinci. Dan engkau telah mengetahui buah dari tindakan tidak menyerupai orang-orang yahudi dan nashrani, yaitu kejayaan dan kemuliaan Islam.

* Dakwah kepada Allah dan mengikatkan (hati) orang-orang mukmin tidak akan memecah belah persatuan mereka. Berbagai peristiwa besar yang menimpa ummat Islam tidak boleh menjadikan kita membedakan syi'ar-syi'ar Allah, serta tidak juga menyeret kita pada pembedaan antara sebagian syi'ar atas sebagian syi'ar lainnya dengan menganggap keutamaan sebagian kelompok dan merendahkan kelompok yang lainnya, sehingga kita akan mengatakan seperti yang dikatakan banyak orang: "Ini hanya merupakan masalah ringan, cabang (furu') sekaligus khilafiyah, yang patut untuk kita tinggalkan dan selayaknya kita memfokuskan diri pada masalah besar yang membuat barisan kita berantakan dan memecah belah kesatuan kita."

Wahai penyeru ke jalan Allah, engkau telah mengetahui dari hadits-hadits mulia tersebut bahwa keberadaan agama ini tetap jaya tergantung pada penyegeraan buka puasa, yaitu segera sesaat setelah bulatan matahari tenggelam. Oleh karena itu, hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang mengklaim bahwa buka puasa pada saat bulatan matahari terbenam adalah fitnah, dan menganggap dakwah untuk menghidupkan Sunnah ini sebagai dakwah kepada kesesatan dan kebodohan serta menjauhkan kaum muslimin dari agamanya, atau menilai bahwa dakwah tersebut tidak mempunyai nilai sama sekali. Dan kaum muslimin tidak akan pernah bersatu padu menyerukannya, karena hal tersebut bagian dari masalah furu'iyah dan khilafiyah atau hanya kulit saja. Segala daya dan upaya hanya milik Allah semata.

d. Berbuka puasa sebelum shalat Maghrib.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum mengerjakan shalat (108), karena menyegerakannya termasuk akhlak para Nabi.

Dari Abud Darda' radhiyallahu 'anhu: "Ada tiga hal yang termasuk akhlak kenabian, yaitu menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat." (109)

3. Makanan Apa yang Sebaiknya Dipergunakan Berbuka?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk berbuka puasa dengan kurma. Jika tidak memiliki kurma maka hendaklah dengan air. Yang demikian itu merupakan bagian dari kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau pada ummatnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam, yang telah mengutus Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) sebagai rahmat bagi seluruh ummat manusia, telah berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepadamu sekalian seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu sekalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)

Sebab, memberi sesuatu yang manis pada tubuh saat perut dalam keadaan kosong lebih diterima dan bermanfaat bagi anggota tubuh, apalagi badan yang sehat, yang akan menjadi kuat kembali. Sedangkan air, pada saat puasa, tubuh mengalami kekeringan sehingga apabila dibasahi dengan air, maka akan sangat bermanfaat bagi tubuh.

Ketahuilah, wahai hamba yang taat, bahwa kurma memiliki berkah dan keistimewaan -demikian halnya dengan air- dalam memberikan pengaruh terhadap hati dan penyuciannya yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mengikuti Sunnah.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berbuka dengan beberapa buah ruthab (kurma segar) sebelum mengerjakan shalat. Jika beliau tidak mendapatkan ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma masak yang sudah lama dipetik), dan jika tidak mendapatkan tamr, maka beliau meminum air." (110)

4. Yang Diucapkan Saat Berbuka.

Ketahuilah, saudaraku yang menjalankan ibadah puasa -semoga Allah memberikan petunjuk kepadamu untuk mengikuti Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwa engkau memiliki saat dimana do'a pasti dikabulkan. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan ini dan berdo'alah kepada Allah sedang engkau benar-benar yakin akan dikabulkan. Dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan do'a orang yang hatinya lengah lagi lalai. Panjatkanlah do'a apa saja yang engkau kehendaki, mudah-mudahan engkau akan memperoleh kebaikan dunia dan juga kebaikan akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ada tiga do'a yang mustajab (dikabulkan), yaitu do'a orang yang sedang berpuasa, do'a orang yang dizhalimi, dan do'a orang yang sedang dalam perjalanan." (111)

Dan do'a yang tidak akan ditolak itu dipanjatkan saat berbuka. Yang demikian itu didasarkan pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Ada tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya, yaitu orang yang sedang berpuasa, pemimpin yang adil, dan do'a orang yang dizhalimi." (112)

Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash (radhiyallahu 'anhu), dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya orang yang berpuasa itu mempunyai satu kesempatan do'a yang tidak akan ditolak." (113)

Sebaik-baik do'a adalah do'a yang diwariskan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dimana beliau membaca pada saat berbuka:

ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتِ العُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhama-u wabtallatil 'uruuqu, wa tsabatal ajru in syaa Allaah.

"Telah hilang rasa haus dan basah pula urat-urat serta telah ditetapkan pahala, insya Allah." (114)

5. Memberi Makan Kepada Orang yang Berpuasa.

Berusahalah saudaraku -mudah-mudahan Allah memberikan berkah kepadamu serta petunjuk untuk mengerjakan kebajikan dan ketakwaan- untuk memberi makan kepada orang yang berpuasa, karena yang demikian itu mengandung pahala yang besar dan kebaikan yang melimpah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun." (115)

Jika seorang muslim yang berpuasa diundang untuk berbuka puasa, maka hendaklah dia memenuhi undangan tersebut, karena orang yang tidak mau memenuhi undangan berarti dia telah mendurhakai Abu Qasim (Rasulullah) shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hendaklah dia meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi sedikit pun dari kebaikan dan pahalanya.

Disunnahkan kepada orang yang diundang untuk mendo'akan orang yang mengundang setelah selesai memakan makanan yang disajikan, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang terdiri dari beberapa macam, misalnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian, para Malaikat telah bershalawat pula untuk kalian, dan orang-orang yang berpuasa pun telah berbuka di tempat kalian." (116)

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

Allaahumma ath'im man ath'amanii, wasqi man saqaanii.

"Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberiku makan dan berilah minum orang yang memberiku minum" (117)

اللَّهُمَّ غْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ فِيْمَارَزَقْتَهُمْ

Allaahummaghfir lahum warhamhum wa baarik fiimaa razaqtahum.

"Ya Allah, berikanlah ampunan kepada mereka, kasihilah mereka serta berikanlah berkah pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada mereka." (118)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(105) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 173) dan Muslim (1093).

(106) Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (891) dengan sanad yang shahih. Dan aslinya, sebagaimana telah disampaikan terdahulu, berada di dalam kitab, ash-Shahihain.

(107) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/ 305) dan Ibnu Majah (224), sanad hadits ini hasan.

(108) Diriwayatkan oleh Ahmad (III/ 164) dan Abu Dawud (2356) dari Shahabat Anas radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang hasan.

(109) Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab al-Majma' (II/ 105). Dan dia mengatakan, "...marfu' dan mauquf. Mauquf itu shahih dan marfu' itu pada rijalnya terdapat orang yang tidak aku dapati biografinya." Dapat kami katakan, "Mauquf -sebagaimana yang tampak- memiliki hukum rafa' juga."

(110) Diriwayatkan oleh Ahmad (III/ 163), Abu Dawud (II/ 306), Ibnu Khuzaimah (III/ 277 dan 278), at-Tirmidzi (III/ 70) melalui dua jalan dari Anas radhiyallahu 'anhu. Sanad hadits ini shahih.

(111) Diriwayatkan oleh al-'Uqaili di dalam kitab adh-Dhu'afaa' (I/ 72). Abu Muslim al-Kajji di dalam kitab Juz-u-nya. Yang di antara jalannya adalah Ibnu Masi di dalam kitab, Juz-ul Anshaari. Dan sanadnya shahih, kalau tidak ada 'an'anah Yahya bin Abi Katsir. Hadits ini memiliki satu syahid, yaitu hadits yang datang setelahnya.

(112) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407), di dalamnya terdapat kemajhulan Abu Mudillah.

(113) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (I/ 557), al-Hakim (I/ 422), Ibnus Sunni (128), ath-Thayalisi (299) melalui dua jalan darinya. Al-Bushairi (II/ 81) mengatakan, "Sanad ini shahih dan rijalnya pun tsiqah."

(114) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/ 306), al-Baihaqi (IV/ 239), al-Hakim (I/ 422), Ibnus Sunni (128), an-Nasa-i di dalam kitab 'Amalul Yaum wal Lailah (269), ad-Daraquthni (II/ 185) dan dia mengatakan, "Sanadnya hasan." Dapat kami katakan, "Statusnya sama seperti yang dikatakannya."

(115) Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/ 114-115 dan 116, V/ 192), at-Tirmidzi (804), Ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895) dan dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.

(116) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (III/ 100), Ahmad (III/ 118), an-Nasa-i di dalam kitab 'Amalul Yaum wal Lailah (268), Ibnus Sunni (129) dan 'Abdurrazzaq (IV/ 311) melalui beberapa jalan, sanadnya shahih.

Peringatan: Tambahan yang ditambahkan oleh sebagian mereka dalam hadits ini: "Dan Allah menyebutkan kalian di sisi-Nya", merupakan tambahan yang tidak berdasar sama sekali, renungkanlah!

(117) Diriwayatkan oleh Muslim (2055) dari al-Miqdad (radhiyallahu 'anhu).

(118) Diriwayatkan oleh Muslim (2042) dari 'Abdullah bin Busr (radhiyallahu 'anhu).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Allah Menghendaki Kemudahan dan Tidak Menghendaki Kesulitan | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Ketigabelas.

Allah Menghendaki Kemudahan dan Tidak Menghendaki Kesulitan.

1. Orang yang Sedang dalam Perjalanan (Musafir).

Ada beberapa hadits shahih yang memberikan pilihan kepada orang yang sedang dalam perjalanan untuk berpuasa. Jangan lupa bahwa rahmat Ilahiyyah itu disebutkan di dalam al-Qur-an yang mulia. Allah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang berfirman:

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu sekalian." (QS. Al-Baqarah: 185)

Hamzah bin 'Amr al-Aslami (radhiyallahu 'anhu) pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan?" -dan dia termasuk orang yang rajin mengerjakan puasa- maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Jika engkau mau, berpuasalah dan jika mau engkau boleh berbuka." (93)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, "Aku pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan tidak juga orang yang berbuka terhadap orang yang berpuasa." (94)

Hadits-hadits tersebut memberi pengertian agar memilih, bukan pengutamaan. Namun demikian, dimungkinkan penggunaan dalil untuk mengutamakan berbuka puasa, yaitu dengan hadits-hadits yang bersifat umum, seperti misalnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini:

"Sesungguhnya Allah senang bila keringanan-keringanan-Nya dimanfaatkan sebagaimana Dia tidak senang bila larangan (maksiat)-Nya dilanggar." (95)

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Sebagaimana Dia suka perintah-Nya dilaksanakan." (96)

Tetapi kemungkinan untuk membatasi hal tersebut hanya bagi orang yang merasa kesulitan untuk mengganti puasa pada hari lain, agar keringanan yang diberikan oleh Allah tersebut tidak bertentangan dengan tujuan. Dan hal tersebut telah dijelaskan secara gamblang tanpa mengandung keraguan sama sekali. Telah diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu: "Dan mereka berpandangan, bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa baginya adalah lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka baginya adalah lebih baik." (97)

Ketahuilah, wahai saudaraku seiman, mudah-mudahan Allah membimbingmu menuju jalan petunjuk dan ketakwaan serta mengaruniai pemahaman dalam agama, bahwa jika berpuasa dalam perjalanan memberatkan seseorang, sama sekali hal itu tidak baik, bahkan berbuka adalah lebih baik dan lebih disukai Allah. Yang menjadi syahid (penguat) bagi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang Shahabat radhiyallahu 'anhum bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan." (98)

Peringatan:

Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa berbuka puasa dalam perjalanan di masa sekarang ini tidak diperbolehkan, sehingga mereka mencela orang-orang yang memanfaatkan keringanan yang diberikan Allah Ta'ala, atau berpendapat bahwa puasa lebih baik daripada berbuka karena adanya kemudahan dan tersedianya berbagai sarana transportasi. Dan kami bermaksud untuk menarik perhatian mereka pada firman Allah yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang nyata:

"Dan tidaklah Rabbmu lupa." (QS. Maryam: 64)

Firman-Nya yang lain:

"Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 232)

Serta firman-Nya di dalam ayat yang menyebutkan keringanan berbuka dalam perjalanan:

"Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu sekalian." (QS. Al-Baqarah: 185)

Artinya, kemudahana bagi orang yang tengah dalam perjalanan merupakan sesuatu yang memang dikehendaki Allah sekaligus sebagai bagian dari tujuan syari'at yang penuh toleransi. Perlu aku ingatkan kepadamu bahwa Rabb yang telah menetapkan agama adalah Pencipta zaman, tempat, dan juga manusia, dan pasti Dia lebih mengetahui akan kebutuhan dan kepentingan mereka. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Mahahalus lagi Mahamengetahui." (QS. Al-Mulk: 14)

Kami sajikan hal tersebut dengan tujuan agar orang Muslim, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perintah, tidak ada pilihan baginya atas perintah tersebut, tetapi dia harus senantiasa mengucapkan secara berulang-ulang bersama orang-orang Mukmin lainnya yang taat, yang tidak berani melakukan sesuatu yang menyalahi Allah dan Rasul-Nya:

"Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdo'a), 'Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada-Mu-lah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285)

2. Orang Sakit.

Allah membolehkan bagi orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat sekaligus kemudahan baginya. Sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah (sakit) yang dengan puasa itu akan berbahaya bagi jiwanya, memperparah sakit yang dideritanya atau dikhawatirkan dengan puasa itu, sakit yang dideritanya dapat memperlambat kesembuhan. Wallaahu a'lam.

3. Wanita yang Sedang Menjalani Haidh dan Nifas.

Para 'ulama telah sepakat bahwa wanita yang tengah menjalani haidh atau nifas tidak boleh berpuasa. Keduanya boleh berbuka, tetapi mereka harus menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan jika keduanya tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah. Mengenai hal itu akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

4. Orang yang Sudah Tua Renta dan Wanita yang Lemah.

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu mengerjakan puasa, maka keduanya harus memberi makan kepada seorang miskin setiap hari dari hari-hari puasa yang ditinggalkannya." (99)

Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (II/ 207) dan dinilai shahih melalui jalan Manshur, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas, dia membaca:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (memberi makan orang miskin)." Dia mengatakan: "Yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu mengerjakan puasa sehingga dia harus berbuka. Dan dia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin sebanyak setengah sha' gandum." (100)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang sudah menjalani usia tua lalu tidak mampu menjalankan puasa Ramadhan, maka dia harus mengeluarkan satu mud gandum dari setiap hari yang ditinggalkan." (101)

Dan dari Anas bin Malik (radhiyallahu 'anhu): "Bahwasanya dia pernah tidak mampu mengerjakan puasa selama satu tahun, maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil tiga puluh orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang." (102)

5. Wanita Hamil dan Menyusui.

Di antara wujud keagungan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Dia memberi keringanan kepada mereka untuk berbuka (tidak mengerjakan puasa). Di antara mereka yang mendapatkan keringanan itu adalah wanita hamil dan wanita menyusui.

Dari Anas bin Malik (103) (radhiyallahu 'anhu), dia bercerita, "Kuda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lari kepada kami, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata aku mendapatkan beliau tengah makan, maka beliau bersabda, 'Mendekatlah ke sini dan makanlah.' Lalu kukatakan, 'Sesungguhnya aku tengah berpuasa.' Lalu beliau bersabda, 'Mendekatlah ke sini, aku akan memberitahukanmu tentang puasa: 'Sesungguhnya Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah meringankan setengah dari beban shalat bagi seorang musafir, dan meringankan beban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui.' Demi Allah, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satu dari keduanya. Dan aku benar-benar berselera untuk memakan makanan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (104)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(93) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 156) dan Muslim (1121).

(94) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 163) dan Muslim (1118).

(95) Diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 108) dan Ibnu Hibban (2742) dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma dengan sanad shahih.

(96) Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (354), al-Bazzar (990), ath-Thabrani di dalam kitab, al-Kabiir (11881) dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) dengan sanad yang shahih. Di dalam sebuah hadits tersebut terdapat pembahasan yang cukup panjang, dan di sini bukan tempatnya.

(97) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (713) dan al-Baghawi (1763) darinya. Sanad hadits ini adalah shahih, meskipun di dalamnya terdapat al-Jurairi. Dengan demikian, riwayat 'Abdul A'la merupakan riwayat yang paling shahih, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-'Ijli dan selainnya.

(98) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 161) dan Muslim (1115) dari Jabir radhiyallahu 'anhu.

(99) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4505). Lihat, Syarhus Sunnah (VI/ 316), Fat-hul Baari (VIII/ 180), Nailul Authaar (IV/ 315), serta Irwaa-ul Ghaliil (IV/ 22-25). Dan Ibnul Mundzir telah menukil ijma' mengenai hal tersebut di dalam kitab, al-Ijmaa' (no. 129).

(100) Lihat komentar terdahulu.

(101) Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (II/ 208), dan dalam sanadnya terdapat 'Abdullah bin Shalih, dimana dia seorang yang dha'if, tetapi ia mempunyai satu penguat.

(102) Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (II/ 207) dan sanadnya shahih.

(103) Yaitu al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik al-Anshari, pembantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi, dia adalah seseorang dari Bani 'Abdillah bin Ka'ab, dan dia pernah tinggal di Bashrah. Dia telah meriwayatkan satu buah hadits saja dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits ini. Lihat buku, al-Ishaabah (I/ 114-115) karya Ibnu Hajar. Juga buku, Tajriid Asmaa' ash-Shahaabah (I/ 31), karya adz-Dzahabi. Selanjutnya, perbandingkan dengan buku Faidhul Qadiir (II/ 268), dimana antara keduanya terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendalam.

(104) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (715), an-Nasa-i (IV/ 180), Abu Dawud (2408) dan Ibnu Majah (1667).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keduabelas.

Yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa.

Seorang hamba yang taat dan memahami al-Qur-an dan as-Sunnah tidak akan ragu lagi bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan sama sekali bagi mereka. Dimana Pembuat syari'at ini telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa dan memaafkannya jika melakukan sesuatu karena kesulitan, di antaranya:

1. Orang yang Berpuasa Boleh Bangun Setelah Waktu Shubuh Tiba dalam Keadaan Junub.

Di antara hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bangun pagi ketika fajar sudah terbit, sedang beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan isterinya. Lalu beliau mandi setelah terbit fajar dan kemudian berpuasa.

Dari 'Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhuma:

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit sedang ketika itu beliau dalam keadaan junub karena bercampur dengan isterinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa." (81)

2. Diperbolehkan Bersiwak Bagi Orang yang Berpuasa.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Seandainya aku tidak takut akan memberatkan ummatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu'." (82)

Dengan demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya mengkhususkan hal itu bagi orang yang berpuasa saja tetapi juga yang lainnya. Dan dalam hal ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa siwak itu boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dan yang tidak berpuasa pada setiap kali wudhu' dan shalat. (83)

Selain itu, siwak bersifat umum yang bisa dilakukan setiap saat sebelum atau sesudah zawal. Wallaahu a'lam.

3. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung.

Hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berkumur dan memasukkan air ke hidung saat beliau menjalankan ibadah puasa, hanya saja beliau melarang orang yang sedang berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam melakukan keduanya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"...dan lakukan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) secara mendalam, kecuali jika kamu dalam keadaan puasa." (84)

4. Bercumbu dan Berciuman Bagi Orang yang Sedang Berpuasa.

Telah ditegaskan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma bahwa dia pernah bercerita, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu yang saat itu beliau tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kalian." (85)

Hal tersebut dimakruhkan bagi orang yang masih muda dan tidak bagi yang sudah tua:

Telah diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash (radhiyallahu 'anhu), dia bercerita: "Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang pemuda mendatangi beliau seraya berucap: 'Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium (isteriku) sedang aku dalam keadaan berpuasa?' Beliau bersabda: 'Tidak.' Kemudian ada orang tua seraya bertanya: 'Apakah boleh aku mencium sedang aku dalam keadaan berpuasa?' Beliau bersabda: 'Boleh.'" 'Abdullah bercerita, "Lalu sebagian kami saling berpandangan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Sesungguhnya orang yang sudah tua itu bisa menahan nafsunya.'" (86)

5. Transfusi Darah dan Suntikan yang Tidak Dimaksudkan Sebagai Makanan. (87)

Semuanya itu tidak termasuk hal yang membatalkan puasa. Silahkan baca pembahasannya pada halaman selanjutnya.

6. Berbekam (Hijamah).

Berbekam ini termasuk salah satu hal yang membatalkan puasa dan kemudian dihapuskan. Pengamalannya telah ditegaskan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam padahal saat itu beliau dalam keadaan puasa. Hal itu didasarkan pada apa yang disebutkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma: "Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berbekam sedang beliau dalam keadaan berpuasa." (88)

7. Mencicipi Makanan.

Mencicipi makanan ini dengan catatan tidak sampai masuk ke tenggorokan. Hal tersebut didasarkan pada riwayat dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma:

"Tidak ada masalah untuk mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak dimasukka ke dalam kerongkongannya sedang dia dalam keadaan berpuasa." (89)

8. Celak Mata, Obat Tetes Mata dan Semisalnya yang Dimasukkan ke Dalam Mata.

Semua hal tersebut tidak membatalkan puasa, baik barang-barang itu terasa olehnya maupun tidak. Itu pula yang ditarjih oleh Syaikhul Islam di dalam risalahnya yang berjudul: "Haqiiqatush Shiyaam". Dan juga muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitabnya, Zaadul Ma'aad. Imam al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya (90): "Anas, al-Hasan, dan Ibrahim tidak mempermasalahkan celak mata bagi orang yang sedang berpuasa."

9. Menyiramkan Air Dingin pada Kepala dan juga Mandi.

Di dalam kitab Shahihnya (91), bab: Ightisaalush Shaa-im, al-Bukhari meriwayatkan: Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma pernah membasahi pakaian dan kemudian meletakkannya di atas tubuhnya sedang dia dalam keadaan puasa. Dan asy-Sya'bi juga pernah masuk kamar mandi sedang dia juga dalam keadaan puasa. Al-Hasan mengatakan: "Tidak ada masalah dengan berkumur dan mendinginkan diri (badan) bagi orang yang sedang berpuasa."

Dalam satu riwayat disebutkan:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah menyiramkan air pada kepalanya, sedang beliau dalam keadaan berpuasa, karena haus atau panas yang menyengat." (92)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(81) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 123) dan juga Muslim (1109).

(82) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (II/ 311). Hadits senada juga diriwayatkan oleh Muslim (1109).

(83) Dan inilah yang menjadi pendapat Imam al-Bukhari rahimahullah. Demikian juga Ibnu Khuzaimah dan selainnya. Lihat kitab, Fat-hul Baari (IV/ 185), Shahih Ibni Khuzaimah (III/ 247), serta Syarhus Sunnah (VI/ 298).

(84) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (III/ 146), Abu Dawud (II/ 308), Ahmad (IV/ 32), Ibnu Abi Syaibah (III/ 101), Ibnu Majah (407), an-Nasa-i (no. 87), dari Laqith bin Shabrah radhiyallahu 'anhu. Sanadnya shahih.

(85) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 131) dan Muslim (1106).

(86) Diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 185 dan 221) melalui jalan Ibnu Luhai'ah dari Yazid bin Abi Habib, dari Qaishar at-Tujaibi darinya. Dan sanad hadits ini dha'if karena kedha'ifan Ibnu Luhai'ah.

Tetapi hadits ini mempunyai syahid yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir (11040) melalui jalan Habib bin Abi Tsabit, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma. Dan Habib adalah seorang mudallis dan telah di'an'an.

Karenanya, hadits ini menjadi hasan. Silahkan dirujuk kembali buku, al-Faqiih wal Mutafaqqih (hal. 192-193), karena ia mempunyai beberapa jalan lain.

(87) Lihat Risaalataani Maujizataani fiz Zakaah wash Shiyaam (Dua Risalah Ringkas Tentang Zakat dan Puasa), hal. 23, karya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baaz rahimahullah.

(88) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 155 - Fat-hul Baari).

(89) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 154 - Fat-hul Baari). Dan disambung oleh Ibnu Abi Syaibah (II/ 47), al-Baihaqi (IV/ 261) melalui dua jalan. Dan hadits ini hasan. Lihat juga buku, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 151-152).

(90) (IV/ 153 - Fat-hul Baari). Silahkan perbandingkan dengan kitab, Mukhtashar Shahih al-Bukhari (451) karya Syaikh al-Albani dan juga kitab, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 152-153).

(91) Lihat sumber terdahulu.

(92) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2365), Ahmad (V/ 376, 380, 408, 430) dan sanadnya shahih.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

Kajian Ketiga Puluh | Penutup Bulan | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Ketiga Puluh.

Penutup Bulan.

Segala puji bagi Allah Yang Mahaluas, Mahaagung, Mahadermawan, dan Maha Penyayang. Allah menciptakan segala sesuatu dan menentukannya. Allah menurunkan syari'at dan memudahkannya. Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya." (QS. Yasin (36): 38-40)

Aku memuji Allah atas lindungan dan petunjuk yang diberikan oleh-Nya dan aku bersyukur kepada-Nya atas segala yang Dia berikan. Aku bersaksi bahwa tidak ada Yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, Raja Yang Mahatinggi. Dia adalah Yang Pertama sehingga tidak ada yang mendahului, Yang Terakhir sehingga tidak ada yang lebih akhir sesudah-Nya, Yang Zhahir sehingga tidak ada yang di atas-Nya, Yang Bathin sehingga tidak ada yang di bawah-Nya. Dia Mahatahu atas segala sesuatu. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang dipilih atas seluruh Rasul yang ada. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada Abu Bakar sebaik-baik Shahabat beliau yang senantiasa membenarkan beliau, kepada 'Umar yang terkenal dengan kekuatannya dalam membela agama, kepada 'Utsman yang terbunuh secara zhalim di tangan orang-orang yang jahat, kepada 'Ali yang paling dekat nasabnya dengan beliau, kepada seluruh keluarga dan para Shahabat serta Tabi'in yang senantiasa mengikuti beliau dengan baik hingga hari Kiamat.

Saudara sekalian, bulan Ramadhan hampir saja berlalu, dan ia akan menjadi saksi yang menguntungkanmu atau memberatkanmu atas amalan-amalan yang telah Engkau kerjakan. Jika yang dilakukan adalah amalan-amalan shalih, maka hendaklah ia memuji Allah atas hal itu dan hendaklah bergembira dengan pahala yang baik. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, siapa yang melakukan amalan yang buruk, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sesungguhnya, karena sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat kepada-Nya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala mensyari'atkan kepada kita di bagian penutup bulan Ramadhan ini berbagai macam ibadah yang akan semakin menambah kedekatan kita kepada Allah, akan semakin menambah kekuatan iman kita, dan akan menambahkan catatan amal kebajikan. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala mensyari'atkan zakat fitrah -telah kita bicarakan secara rinci pada bagian sebelumnya-, mensyari'atkan takbir pada saat sempurnanya puasa Ramadhan dimulai sejak terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri hingga menuju shalat Id. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah (2): 185)

Bacaan takbirnya adalah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allaahu Akbaru Allaahu Akbaru laa ilaaha illallaahu wallaahu Akbaru Allaahu Akbaru wa lillaahil hamdu
"Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tidak ada Yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Hanya bagi Allah segala puji."

Kaum laki-laki disunnahkan mengeraskan bacaan takbir di masjid, di pasar dan juga di rumah dalam rangka mengumandangkan pengagungan kepada Allah, menampakkan peribadahan kepada-Nya dan bersyukur kepada-Nya. Sedangkan kaum wanita cukup membacanya secara sembunyi, karena mereka memang diperintahkan menutup dan menyembunyikan suara. Betapa indah keadaannya manusia ketika mereka mengumandangkan takbir berisi pengagungan terhadap Allah dan memuliakan-Nya di setiap waktu dan tempat mengiringi berakhirnya bulan puasa mereka. Mereka memenuhi cakrawala dengan kumandang takbir, tahmid dan tahlil demi mengharap rahmat Allah dan takut akan adzab-Nya.

Allah juga mensyari'atkan kepada para hamba-Nya untuk menunaikan shalat Id pada hari raya Idul Fitri sebagai penutup kesempurnaan dzikir, mengingat dan menyebut nama Allah Sub-haanahu wa Ta'aala. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan ummat beliau untuk melakukan hal itu, baik dari kalangan kaum pria maupun wanita, dan perintah beliau adalah sesuatu yang harus ditaati. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." (QS. Muhammad (47): 33)

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita agar keluar untuk mengerjakan shalat Id, sekalipun sebenarnya rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka, namun selain untuk melaksanakan shalat Id.

Ini merupakan bukti, atau dalil, mengenai ditekankannya ibadah shalat Id. Ummu 'Athiyyah ra-dhiyallaahu 'anha berkata:

"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kamu untuk mengikutsertakan kaum wanita keluar di waktu Idul Fitri dan Idul Adha, termasuk kaum wanita yang masih gadis, wanita-wanita yang sedang haidh tidak usah mengerjakan shalat, namun cukup mendengarkan petuah kebaikan dan seruan (khutbah) untuk kaum Muslimin. Aku tanyakan kepada beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam: 'Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?' Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda: 'Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya'." (Mutafaq 'alaih)

Sebelum keluar menuju lapangan untuk mengerjakan shalat Id, disunnahkan makan terlebih dahulu beberapa biji kurma dalam jumlah ganjil, tiga atau lima biji atau lebih dari itu. Ini didasarkan pada hadits riwayat Anas ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa ia mengatakan:

"Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak berangkat untuk menunaikan shalat di hari raya Idul Fitri kecuali terlebih dahulu makan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil." (HR. Ahmad dan al-Bukhari)

Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, tidak mengendarai hewan tunggangannya, kecuali kalau ada udzur, seperti tidak mampu jalan atau tempatnya jauh. Dasarnya adalah perkataan 'Ali bin Abi Thalib ra-dhiyallaahu 'anhu:

"Termasuk dari Sunnah berangkat menuju tempat shalat Id dengan berjalan kaki." (HR. At-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan) (63)

Bagi kaum laki-laki disunnahkan mempertampan diri dan mengenakan baju terbaiknya. Dalam Shahih ak-Bukhari disebutkan riwayat dari 'Abdullah bin 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata: 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhu pernah membeli jubah yang terbuat dari sutera yang dijual di pasar, lalu ia membawanya ke hadapan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Ya Rasulullah, belilah jubah ini sehingga engkau bisa berdandan dengannya untuk keperluan hari raya dan kunjungan." Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun bersabda:

"Sesungguhnya ini adalah pakaian bagi orang yang tidak punya jatah akhirat."

Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda demikian itu karena baju jubah tersebut terbuat dari sutera. Kalau saja tidak sutera, maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tentu menyukainya. Sebab, orang laki-laki itu tidak dibolehkan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera atau emas. Keduanya sama-sama diharamkan bagi kaum pria dari ummat Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Sedangkan bagi kaum wanita diperkenankan keluar ke tempat shalat Id dengan berdandan rapi, akan tetapi tetap tidak boleh mengenakan wangi-wangian, tidak boleh bertabarruj, dan tidak boleh membuka kerudung. Sebab, kaum wanita diperintahkan untuk mengenakan penutup dan dilarang bertabarruj dengan mengenakan perhiasan dan dilarang mengenakan wangi-wangian ketika keluar rumah.

Amalan selanjutnya adalah mengerjakan shalat dengan penuh kekhusyuan dan kehadiran hati, memperbanyak dzikir dan memanjatkan do'a kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada adzab-Nya, mengingatkan dan menyadarkan diri dengan berkumpulnya ummat manusia di dalam shalat di masjid atau di lapangan bahwa mereka kelak juga akan dikumpulkan di hadapan Allah pada hari Kiamat, serta melihat adanya saling melebihi di antara sesama mereka, lalu dengan itu ia akan ingat adanya perbedaan keutamaan yang sangat besar di akhirat nanti. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya." (QS. Al-Isra' (17): 21)

Hendaklah masing-masing berbahagia dengan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepadanya karena masih mendapatkan bulan Ramadhan dan mengerjakan amalan yang bisa ia kerjakan di dalamnya, baik berupa shalat, puasa, membaca ayat suci al-Qur-an, sedekah serta berbagai jenis ketaatan lainnya yang lebih baik daripada dunia dan seisinya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "katakanlah: 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus (10): 58)

Puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat malam di dalamnya yang didasari dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah merupakan bagian dari hal-hal yang mendatangkan ampunan dari Allah atas dosa-dosa yang dilakukannya dan keterlepasan dari dosa. Setiap orang beriman tentu akan berbahagia jika ia mampu merampungkan puasa dan shalat malamnya, karena dengan begitu ia terselamatkan dari dosa. Sebaliknya, orang yang lemah imannya juga merasa senang dengan berakhirnya bulan Ramadhan, karena dengan berakhirnya bulan ini ia bisa terlepas dari beban melaksanakan puasa yang memang terasa berat baginya dan sesak dada karenanya. Perbedaan antara kedua rasa senang ini sangat jauh.

Saudara sekalian, sekalipun bulan Ramadhan telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan berakhir sebelum mati. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al-Hijr (15): 99)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali 'Imran (3): 102)

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seorang hamba meninggal dunia, maka amalannya terputus."

Maka jangan ada yang memutus amalan kecuali kematian. Jika bulan Ramadhan telah berlalu, maka seorang mukmin tidak akan terputus dalam melakukan ibadah puasa, karena sesungguhnya puasa itu masih terus disyari'atkan sepanjang tahun. Segala puji bagi Allah.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits yang berasal dari Abu Ayyub al-Anshari ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa yang mengerjakan puasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawwal, maka itu seperti puasa sepanjang masa (tahun)."

Demikian pula ada puasa tiga hari setiap bulannya. Mengenai hal itu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tiga hari (puasa) setiap bulan, puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, maka ini seperti puasa sepanjang zaman (tahun)." (HR. Ahmad dan Muslim)

Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu berkata: "Kekasihku Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan wasiat kepada dengan tiga hal... dan seterusnya," dan disebutkan di antaranya adalah mengerjakan puasa tiga hari setiap bulannya.

Yang paling utama, puasa tiga hari itu dilakukan pada 'hari-hari putih' (ayyamul bidh), yaitu tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas (hijriah). Dasarnya adalah hadits Abu Dzar ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai Abu Dzar, jika engkau mengerjakan puasa tiga hari setiap bulannya, maka kerjakanlah pada tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas." (HR. Ahmad dan an-Nasa-i dalam ash-Shahih)

Dalam Shahih Muslim disebutkan:

"Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai puasa Arafah, lalu beliau bersabda: 'Ia menghapuskan (dosa) tahun yang lalu dan tahun berikutnya.' Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa bulan 'Asyura, dan beliau bersabda: 'Ia menghapuskan (dosa) tahun lalu.' Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai puasa hari senin, dan beliau bersabda: 'Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diberi wahyu al-Qur-an.'"

Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: "Puasa apakah yang paling utama sesudah puasa Ramadhan?" Beliau bersabda:

"Puasa yang paling utama sesudah puasa bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram."

Dalam Shahihain disebutkan diriwayatkan hadits dari 'Aisyah ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berada di suatu bulan yang lebih banyak menjalankan puasanya melebihi pada bulan Sya'ban."

Dalam lafal yang lain disebutkan:

"Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam banyak menjalankan puasa pada bulan itu, dan jarang sekali beliau tidak berpuasa."

Diriwayatkan dari 'Aisyah ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam selalu berupaya menjalankan puasa Senin dan Kamis."

Hadits di atas diriwayatkan oleh lima Imam hadits, kecuali Abu Dawud. Namun lafal mirip dengan ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam hadits yang berasal dari Usamah bin Zaid ra-dhiyallaahu 'anhu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Amal perbuatan itu diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis, dan aku ingin bila amalanku ketika aku sedang melaksanakan puasa." (HR. At-Tirmidzi) (64)

Jika amalan shalat malam atau shalat tarawih di malam Ramadhan telah berlalu, maka ketahuilah bahwa shalat malam masih terus disyari'atkan pada setiap malam sepanjang tahun. Ini didasarkan pada amalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di samping itu didasarkan pada sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari Shahabat Mughirah bin Syu'bah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam biasa berdiri mengerjakan shalat hingga bengkak kedua telapak kaki beliau." Ketika ditanya mengenai hal itu, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidakkah selayaknya aku menjadi hamba yang pandai bersyukur."

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Salam ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kekerabatan, dan tunaikanlah shalat di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk Surga dengan kedamaian." (HR. At-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan shahih) (65)

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam."

Yang dinamakan shalat malam itu meliputi seluruh bentuk shalat sunnah dan shalat witir. Lebih lanjut mengenai shalat malam ini bisa dilihat pada bagian kajian keempat di depan.

Dalam Shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Rabb kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi turun setiap malam menuju langit dunia ketika waktu sepertiga akhir malam itu tiba. Allah kemudian berfirman: 'Siapa yang berdo'a kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku beri ampunan.'"

Di samping itu juga ada amalan shalat sunnah rawatib yang berjumlah total dua belas raka'at. Yaitu empat raka'at sebelum shalat Zhuhur, dua raka'at sesudahnya, dua raka'at sesudah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya, dua raka'at sebelum shalat Shubuh. Diriwayatkan dari Ummu Habibah ra-dhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat semata karena Allah pada setiap harinya dua belas raka'at dalam bentuk shalat sunnah dan bukan termasuk shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam Surga."

Dalam lafal yang lain disebutkan:

"Siapa yang mengerjakan shalat dua belas raka'at sehari semalam, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam Surga karenanya." (HR. Muslim)

Ada pula ibadah dzikir seusai mengerjakan shalat lima waktu. Allah sendiri yang memerintahkan hal ini di dalam Kitab-Nya, dan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun menyarankannya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring." (QS. An-Nisa' (4): 103)

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika usai mengucapkan salam (dalam shalat) maka beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca:

Allaahumma antas salaamu wa minkas salaamu tabaarakta yaa dzal-jalaali wal ikraam
Ya Allah Engkau as-Salam (kedamaian) dan hanya dari Engkaulah kedamaian itu. Engkau Mahasuci, wahai Dzat yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Siapa yang bertasbih setiap usai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali dan bertakbir tiga puluh tiga kali sehingga jumlah totalnya mencapai sembilan puluh sembilan kali, kemudian agar menjadi seratus disempurnakan dengan ucapan:

Laa ilaaha illallaahu wah dahu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir
Tidak ada Yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, segala kerajaan dan pujian hanya milik-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Maka kesalahan-kesalahannya diampuni (oleh Allah), sekalipun kesalahan itu sebanyak buih di lautan." (HR. Muslim)

Oleh karena itu marilah kita bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah dan menjauhi kesalahan-kesalahan dan dosa agar kita bisa beruntung dengan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang banyak sesudah mati. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl (16): 97)

Ya Allah, teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik, dan sertakan kami dengan orang-orang yang shalih. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga Allah Sub-haanahu wa Ta'aala senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, serta kepada keluarga dan para Shahabat beliau seluruhnya.

Sampai di sinilah apa yang ingin aku tuliskan mengenai topik-topik yang bertalian dengan Ramadhan. Kami memohon kepada Allah kiranya berkenan menjadikan amal ini sebagai amal yang ikhlas untuk mencari ridha Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta bisa mendatangkan kemanfaatan bagi para hamba-Nya. Semoga Allah memberikan perlindungan kepada kita di dunia dan akhirat serta memberikan petunjuk kepada kita kepada kebenaran dengan izin-Nya. Sesungguhnya Dia memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

29 Muharram 1396 H
Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga Allah Sub-haanahu wa Ta'aala senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, serta kepada keluarga dan para Shahabat beliau seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(63) Dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Harits bin A'war, dimana kebanyakan para hafizh melemahkannya, namun sebagian yang lain menguatkannya.

(64) Dha'if. Akan tetapi ia mempunyai syahid (hadits penguat) yang menguatkannya. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa amal perbuatan itu ditampakkan setiap hari Senin dan Kamis.

(65) Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad yang mempunyai banyak syahid yang mengangkatnya kepada derajat shahih.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.