Thursday 25 May 2017

Mengimani Wujud Allah | Rukun Pertama: Iman Kepada Allah | Rukun Iman yang Enam | Tingkatan Kedua: Iman | Tingkatan-tingkatan Din | Syarah Tsalatsatul Ushul

Syarh Tsalaatsatil Ushuul.

Syarah Tsalaatsatul Ushuul.
Mengenal Allah, Rasul dan Dinul Islam.
Penjelasan Singkat Tentang Ilmu-ilmu yang Wajib Diketahui Setiap Muslim.

Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah.

Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman.

Syarah Tsalatsatul Ushul.

Ma'rifatur Rabb.
Mengenal Rabb (Allah).

Rukun iman itu ada enam, yaitu iman kepada Allah 1). Iman kepada para Malaikat-Nya 2), iman kepada Kitab-kitab-Nya 3), iman kepada para Rasul-Nya 4), iman kepada Hari Akhir 5), iman kepada qadar (takdir) yang baik maupun yang buruk 6).

Dalil keenam rukun iman ini adalah firman Allah 'Azza wa Jalla, "Kebaktian (iman) itu bukanlah sekedar menghadapkan wajahnya ke arah timur atau barat, akan tetapi yang sebenarnya adalah iman seseorang kepada Allah, Hari Akhir, para Malaikat, Kitab-kitab dan Nabi-nabi..." (Al-Baqarah [2]: 177)

Sedangkan dalil qadar (takdir) adalah firman Allah 'Azza wa Jalla, "Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan qadar." (Al-Qamar [54]: 49)

Syarah:

1) Iman kepada Allah itu mencakup empat hal:

Pertama: Iman kepada kewujudan (adanya) Allah 'Azza wa Jalla.

Kewujudan Allah 'Azza wa Jalla ini telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara' dan indra.

Petunjuk fitrah menyatakan kewujudan Allah. Karena segala makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada Penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari fitrah ini, kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:

"Tiada yang terlahir melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai orang yahudi, nasrani atau majusi." (34)

Petunjuk akal menyatakan kewujudan Allah, karena seluruh makhluk yang ada ini, termasuk yang sudah berlalu maupun yang akan datang kemudian, sudah tentu ada Pencipta yang menciptakannya. Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya (tanpa ada yang menciptakannya).

Tidak mungkin makhluk itu tercipta oleh dirinya sendiri, karena sesuatu itu tidak dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebab, sebelum ia ada, ia tiada. Maka bagaimana mungkin ia bisa menjadi pencipta?

Ia juga tidak mungkin ada secara kebetulan, karena segala sesuatu yang terjadi itu sudah pasti ada yang menjadikannya. Dan lagi, wujudnya yang mengikuti keteraturan yang indah ini, mengikuti keserasian yang padu serta adanya hubungan erat yang tak bisa dipisahkan antara sebab dan musababnya, dan juga antara makhluk satu dengan lainnya; semuanya menolak penuh jika kewujudan sesuatu itu secara kebetulan. Sebab, sesuatu yang asal ada secara kebetulan berarti tidak mengikuti keteraturan pada asal kewujudannya; lalu bagaimana mungkin ia kemudian bisa menjadi teratur dalam perkembangan berikutnya?

Jika seluruh makhluk yang ada ini tidak mungkin ada dengan sendirinya (menciptakan dirinya sendiri) dan juga tidak mungkin ada secara kebetulan begitu saja, maka dapatlah dipastikan bahwa ada yang menciptakan atau mengadakannya; yaitu Allah Rabb semesta alam!

Allah 'Azza wa Jalla sendiri telah menyebutkan dalil 'aqli dan alasan yang qath'i dalam surat Ath-Thur. Di situ Allah berfirman:

"Apakah mereka tercipta tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?" (Ath-Thur [52]: 35)

Maksudnya, mereka itu tidaklah tercipta tanpa pencipta, dan mereka pun tidak menciptakan diri mereka sendiri. Dengan demikian, dapatlah dipastikan bahwa pencipta mereka adalah Allah 'Azza wa Jalla. Lantaran itu, tatkala Jubair bin Muth'im radhiyallahu 'anhu mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sedang membaca surat Ath-Thur hingga sampai pada ayat (yang artinya), "Apakah mereka itu tercipta tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka itu yang telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka itu tidak meyakini (apa yang mereka katakan itu). Apakah di sisi mereka terdapat perbendaharaan Rabbmu, ataukah mereka itu yang berkuasa?" (Ath-Thur [52]: 35-37). (Di mana ketika itu Jubair masih musyrik), maka ia berkata, "Hampir-hampir saja hatiku hendak terbang. Ketika itulah pertama kali iman bersemayam di dalam hatiku." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara terpisah-pisah. (35)

Ada baiknya jika kita mengambil satu contoh untuk lebih memperjelas hal itu. Jika seseorang menceritakan kepadamu tentang sebuah istana yang megah, dikelilingi oleh berbagai taman, ada sungai-sungai yang mengalir di antara bangunan-bangunan istana itu, dipenuhi berbagai permadani, dipercantik dengan berbagai jenis perhiasan pada bangunan-bangunan inti maupun penyempurnaannya, lalu ia berkata kepada anda, "Sesungguhnya istana ini dengan berbagai kesempurnaan yang ada; tercipta oleh dirinya sendiri, atau tercipta seperti ini secara kebetulan tanpa ada yang mencipta"; maka anda tentu langsung membantah hal itu serta mendustakannya, dan anda pasti akan mengkategorikan perkataannya itu sebagai perkataan tolol. Dengan demikian, apa mungkin jika alam yang luas dengan bumi dan langitnya, dengan orbitnya, dan dengan tatanannya yang indah dan luar biasa ini, semua mencipta dirinya sendiri, atau tercipta secara kebetulan tanpa ada yang mencipta?!

Petunjuk syar'i juga menyatakan kewujudan Allah, sebab kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi itu, berupa hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb yang Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut, serta telah disaksikan oleh kenyataan tentang kebenarannya, merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan (mencipta) apa yang diberitakan itu.

Dan petunjuk indra mengenai kewujudan Allah dapat dilihat dari dua hal:

Pertama: Kita semua mendengar dan menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang yang kesusahan, yang semuanya ini menunjukkan secara qath'i akan adanya Allah 'Azza wa Jalla.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Ingatlah akan kisah Nuh sebelum itu ketika ia berdoa, lalu Kami kabulkan doanya..." (An-Anbiya' [21]: 76)

"Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu Dia pun mengabulkan permohonanmu..." (Al-Anfal [8]: 9)

Dalam Shahihul Bukhari disebutkan hadits dari Anas bin Malik:

Bahwa seorang Arab pedalaman masuk (ke dalam masjid) pada hari Jumat, sementara Nabi (Shallallahu 'alaihi wa Sallam) sedang berkhutbah. Orang itu lantas berkata, "Ya Rasulullah, harta kami musnah dan keluarga kami kelaparan. Maka berdoalah kepada Allah buat kami!" Akhirnya beliau mengangkat kedua tangan dan berdoa. Tak lama kemudian, awan sebesar gunung pun tiba; sementara beliau masih berada di atas mimbar, sehingga aku lihat air hujan bercucuran pada jenggot beliau. Pada Jumat kedua (berikutnya), si Arab pedalaman itu, atau lainnya, berdiri lantas berkata, "Ya Rasulullah, bangunan rumah kami roboh dan harta kami tenggelam. Maka berdoalah kepada Allah untuk kami!" Akhirnya beliau pun mengangkat kedua tangan seraya berdoa:

اَللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا

Allaahumma hawaalainaa wa laa 'alainaa.

"Ya Allah, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami." (36)

Akhirnya, tidaklah beliau menunjuk suatu arah (tempat) melainkan menjadi terang (tanpa hujan).

Terkabulnya permohonan orang-orang yang berdoa hingga hari ini masih dapat disaksikan dengan nyata, tentunya bagi orang yang benar-benar bersandar kepada Allah 'Azza wa Jalla serta memenuhi syarat-syarat dikabulkannya sebuah doa.

Kedua: Ayat-ayat (tanda-tanda) para Nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia lain, atau yang mereka dengar merupakan bukti yang qath'i akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah 'Azza wa Jalla. Sebab, kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah 'Azza wa Jalla untuk mengokohkan dan memenangkan para Rasul-Nya.

Contoh pertama, mukjizat Musa ('alaihis salam) ketika Allah memerintahkannya untuk memukul laut dengan tongkatnya. Musa pun memukulnya dan akhirnya laut itu terbelah menjadi dua belas jalan yang kering, sementara air laut berada di antara jalan-jalan itu laksana gunung.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Maka Kami wahyukan kepada Musa, 'Pukullah laut itu dengan tongkatmu! Akhirnya terbelahlah laut itu, masing-masing belahan laksana gunung yang besar." (Asy-Syu'ara [26]: 63)

Contoh kedua, mukjizat Isa ('alaihis salam) berupa dapat menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati dan mengeluarkan mereka dari kubur dengan izin Allah. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"...dan aku (Isa) dapat menghidupkan orang mati dengan izin Allah..." (Ali 'Imran [3]: 49)

"...dan ingatlah di waktu kamu mengeluarkan orang mati (dari kubur menjadi hidup kembali) dengan izin-Ku..." (Al-Ma`idah [5]: 110)

Contoh ketiga, ketika kaum Quraisy meminta mukjizat dari Nabi Muhammad (Shallallahu 'alaihi wa Sallam), maka beliau menunjuk bulan, lalu bulan itu terbelah menjadi dua, dan orang-orang pun menyaksikannya. Mengenai hal ini, Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Telah dekat (datangnya) 'saat' (37) itu, dan bulan pun telah terbelah. Dan jika (kaum musyrikin) melihat suatu ayat (mukjizat), mereka berpaling seraya mengatakan, 'Ini adalah sihir yang terus-menerus!'" (Al-Qamar [54]: 1-2)

Berbagai mukjizat yang dapat diindra yang sengaja dibuat oleh Allah 'Azza wa Jalla untuk mengokohkan dan menolong para Rasul-Nya ini menunjukkan secara qath'i akan adanya Allah 'Azza wa Jalla.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

34. HR. Bukhari dalam Kitabul Jana`iz, bab "Idza Aslama Ash-Shabiy fa Mata, Hal Yushalla 'alaih"; dan juga oleh Muslim dalam Kitabul Qadr, bab "Ma min Maulud Yuladu illa 'alal Fithrah".

35. HR. Bukhari dalam Kitabut Tafsir, surat Ath-Thur, Jilid IV, hal. 1839.

36. HR. Al-Bukhari, Kitabul Jumu'ah, bab "Mengangat Dua Tangan dalam Berdoa"; dan oleh Muslim, Kitabul Istisqa', bab "Doa dalam (shalat) istisqa'".

37. Saat kehancuran kaum musyrikin; atau ada juga yang mengatakan saat terjadinya Kiamat. -penerj.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Syarh Tsalaatsatil Ushuul, Penulis Matan: Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah, Penulis Syarah: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah, Penyusun: Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Penerbit: Darul Tsarya, Riyadh - Kerajaan Arab Saudi, Cetakan III, Tahun 1997 M, Judul Terjemahan: Syarah Tsalaatsatul Ushuul (Mengenal Allah, Rasul dan Dinul Islam, Penjelasan Singkat Tentang Ilmu-ilmu yang Wajib Diketahui Setiap Muslim), Penerjemah: Hawin Murtadlo, Salafuddin Abu Sayyid, Editor: Muhammad Albani, Penerbit: Al-Qowam, Sukoharjo - Indonesia, Cetakan XIII, Maret 2016 M.

===

Wakaf dari Ibu Anny - Jakarta untuk Perpustakaan Baitul Kahfi Tangerang.
Semoga Allah menjaganya dan memudahkan segala urusan kebaikannya.