Wednesday 31 May 2017

Mukaddimah Pentahqiq | Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat

Hijabul Mar'ah wa libasuha fish shalah.

Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.

Hawin Murtadho.

Muslim al-Atsari.

Mukaddimah.

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.

Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya serta memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kita berlindung dari kejahatan nafsu dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak ada yang menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, niscaya tidak ada yang mampu memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq (berhak diibadahi dengan benar) selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

Amma ba'du. Inilah cetakan kedua dari risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah Ta'ala mengenai "Pakaian dalam shalat". Cetakan ulang diprakarsai oleh yang terhormat ustadz Zuhair asy-Syawis, yang merintis penerbitan kitab-kitab bermanfaat yang bernuansa ilmu keislaman yang murni, khususnya kitab-kitab hadits dan kitab-kitab tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim al-Jauziyah, serta 'ulama lain yang sejalan dengan keduanya seperti mujadid dakwah tauhid dari negeri Najed dan sekitarnya, Syaikhul (Islam) Muhammad bin 'Abdil Wahhab dan lain-lainnya, semoga Allah merahmati mereka.

Ini merupakan salah satu risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang sungguh bernilai besar, sekalipun formatnya kecil. Risalah ini mengandung muatan ilmu yang ditahkik dari ilmu-ilmu Syaikh rahimahullaah, yang barangkali sulit bagi seseorang untuk menemukan sebagian besar kandungannya di dalam ensiklopedi-ensiklopedi fikih, sebagaimana sulit pula baginya untuk menemukan di dalamnya tema risalah ini: "Pakaian wajib bagi laki-laki dan wanita di dalam shalat." Di dalamnya -berdasarkan dalil-dalil yang qath'i-, beliau menegaskan bahwa pakaian dalam shalat tidaklah sama dengan pakaian yang dikenakan oleh seseorang untuk menutup auratnya di luar shalat. Dalam shalat, seseorang (laki-laki) mempunyai kewajiban lain, yaitu menutup kedua pundaknya, untuk memenuhi hak dan kehormatan shalat, bukan karena pundak itu termasuk aurat. Beliau rahimahullaah beralasan dengan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Janganlah salah seorang di antara kamu melaksanakan shalat dengan satu kain, sementara kedua pundaknya tidak tertutup kain sama sekali."

Beliau rahimahullaah juga beralasan dengan hadits-hadits yang lain.

Permasalahan penting ini seringkali dilalaikan oleh sebagian besar orang yang melaksanakan shalat. Mereka (umumnya kaum pekerja) melaksanakan shalat dengan mengenakan satu pakaian saja yang tidak menutup pundak kecuali sebesar garis kecil! Mereka melupakan firman Allah:

"Kenakanlah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid." (QS. Al-A'raf: 31)

Alangkah bagusnya apa yang disebutkan oleh penulis:

"Sesungguhnya Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma berkata kepada budaknya, Nafi', ketika melihatnya melaksanakan shalat dengan kepala terbuka: 'Apakah seandainya engkau keluar kepada orang banyak, engkau keluar dalam keadaan seperti ini?' Nafi' menjawab: 'Tidak.' Ibnu 'Umar berkata: 'Maka, lebih layaklah kiranya bila engkau berhias untuk Allah.'"

Pernyataan Ibnu 'Umar yang terakhir tersebut tercantum pula secara marfu' dalam beberapa riwayat dari Ibnu 'Umar. Dalam riwayat al-Baihaqi, lafazhnya sebagai berikut:

"Bila salah seorang dari kamu melaksanakan shalat, hendaklah mengenakan dua pakaiannya, karena untuk Allah engkau lebih layak untuk berhias." (1)

Kelalaian terhadap adab yang wajib dilaksanakan dalam shalat tersebut, menurut aku disebabkan oleh dua hal:

Pertama: Banyak orang yang menyangka bahwa pakaian yang wajib dikenakan di dalam shalat adalah yang menutupi aurat saja. Pembatasan ini, selain tidak berdasarkan dalil sama sekali, juga bertentangan secara nyata dengan nash-nash di muka, khususnya hadits pertama yang menunjukkan batalnya shalat seseorang yang tidak menutupi kedua pundaknya dengan kain. Ini adalah pendapat pengikut madzhab Hanbali. (2) Tidak diragukan lagi, ini adalah pendapat yang benar.

Kedua: Kejumudan mereka melakukan taklid buta. Bisa jadi mereka pernah membaca atau mendengar nash-nash tersebut, tetapi mereka tetap tidak terpengaruh dan tidak menjadikannya sebagai pendapat yang harus mereka pegangi, karena madzhab yang mereka anut sepanjang kehidupan mereka menjadi penghalang untuk mengikuti pendpat tersebut. Karena itu, as-Sunnah berada di satu sisi sedangkan mereka berada di sisi yang lain, sebagaimana keadaan mereka dalam masalah ini, kecuali sedikit saja di antara mereka yang mendapatkan perlindungan Allah. Semoga Allah membalas Syaikhul Islam dengan kebaikan, karena beliau telah membuka jalan untuk mereka di dalam risalah yang penuh berkah ini, agar mereka mengetahui berbagai hakekat yang telah mereka lalaikan, di antaranya adalah dalam masalah ini.

Karena melaksanakan shalat dengan kedua pundak yang terbuka saja tidak diperbolehkan, maka lebih tidak diperbolehkan lagi apabila shalat itu dengan paha terbuka, baik dikatakan bahwa paha itu merupakan aurat ataukah tidak. Ini merupakan salah satu kedalaman pemahaman beliau rahimahullaah.

Ini berkenaan dengan pakaian laki-laki dalam shalat. Mengenai wanita, Syaikh rahimahullaah menjelaskan bahwa ia berkewajiban mengenakan jilbab apabila keluar dari rumahnya, akan tetapi tidak berkewajiban untuk mengenakan jilbab tersebut apabila melaksanakan shalat di rumahnya. Yang wajib dikenakannya adalah khimar (kerudung) dan pakaian yang bisa menutupi punggung telapak kaki, meskipun apabila ia sujud bisa jadi bagian bawah telapak kaki kelihatan. Seorang wanita juga diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangannya, sekalipun di luar shalat menurut pendapat yang dipilih oleh beliau, bagian tersebut merupakan aurat. (3) Sebaliknya, apabila sedangkan melaksanakan shalat sendirian, seorang wanita diwajibkan untuk mengenakan khimar, sekalipun di luar shalat diperbolehkan membuka bagian kepalanya di dalam rumah dan di hadapan orang-orang yang memiliki hubungan mahram dengannya. Dengan demikian, kadang-kadang seseorang yang melaksanakan shalat itu berkewajiban menutupi apa yang boleh diperlihatkan di luar shalat dan sebaliknya diperbolehkan membuka bagian tubuhnya yang ditutupinya dari penglihatan kaum laki-laki. Ini merupakan detail-detail masalah yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam rahimahullaah. Semoga Allah membalaskan jasanya terhadap Islam dengan balasan yang lebih baik.

Selain itu, meskipun beliau menegaskan bahwa hijab (kerudung) itu merupakan kewajiban khusus bagi wanita-wanita merdeka, tanpa menjadi kewajiban bagi budak-budak wanita, dan bahwa seorang budak wanita diperbolehkan menampakkan bagian kepala dan rambutnya, akan tetapi beliau kembali membahas masalah ini melalui sudut pandang kaidah-kaidah Islam yang bersifat umum, di antaranya, "Mencegah kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan." Maka, beliau tidak membiarkan masalah ini tetap dalam kemutlakannya yang mengandung konsekuensi diperbolehkannya budak-budak wanita yang cantik untuk menampakkan rambutnya! Setelah memberikan pengantar yang bermaanfaat, beliau mengatakan: "Demikian pula halnya dengan seorang wanita budak, bila dikhawatirkan ia bisa menimbulkan fitnah, maka ia berkewajiban untuk mengenakan hijab." Kemudian beliau menegaskan hal itu dengan perkataannya, "Bila seseorang membiarkan budak-budak wanita dari bangsa Turki yang cantik-cantik itu berjalan di tengah-tengah manusia di negeri dan di waktu-waktu seperti ini, seperti kebiasaan wanita-wanita budak berjalan, maka ini termasuk kerusakan."

Aku katakan: Berdasarkan hal ini bisa disimpulkan bahwa pendapat Ibnu Taimiyah ini merupakan pendapat yang wasath (pertengahan) antara jumhur yang tidak mewajibkan wanita-wanita budak mengenakn khimar secara mutlak dan Ibnu Hazm serta ulama lainnya yang mewajibkan hal itu kepada mereka secara mutlak pula. Jelas sekali bahwa pendapat Ibnu Taimiyah yang demikian itu tidak lain merupakan hasil perpaduan antara beberapa atsar yang menguatkan pendapat jumhur dengan kaidah yang telah disinggung tadi. Pendapat ini sendiri, sekalipun lebih mendekati kebenaran daripada pendapat jumhur yang kami jelaskan bantahannya dalam buku Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, masih mengandung satu masalah, karena penilaian mengenai kecantikan, yang merupakan penyebab dikhawatirkannya kerusakan, adalah perkara yang relatif. Alangkah banyak wanita-wanita budak yang berkulit hitm, justru memiliki anggota badaan dan postur tubuh yang indah sehingga bisaa memikat laki-laki yang berkulit putih, atau boleh jadi menurut mereka budak-budak tersebut tidak cantik, tetapi bagi orang-orang dari kalangan bangsanya mungkin dianggap cantik. Jadi, perkara ini tidak memiliki patokan yang pasti. Wallaahu a'lam.

Oleh sebab itu, beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menguatkan pendapat Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bahwa melihat wajah wanita ajnabiyah (yang tidak memiliki hubungan mahram, -pent) tanpa adanya keperluan tidak diperbolehkan, sekalipun tanpa disertai syahwat, karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak. Beliau berkata:

"Karena itu, berkhalwat (berduaan) dengan wanita ajnabiyah diharamkan dikarenakan adanya dugaan akan timbulnya fitnah. Pada dasarnya, apapun yang menyebabkan terjadinya fitnah tidak diperbolehkan. Karena suatu yang mengantarkan kepada kerusakan itu harus dicegah, kecuali bila berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih kuat. Karena itu, "Pandangan mata yang kadang-kadang menjerumuskan kepada fitnah, itu diharamkan.""

Aku katakan: Seandainya para ulama pada masa dahulu dan para penulis masa kini mengindahkan prinsip yang beliau sebutkan, yaitu: "Apapun yang menyebabkan timbulnya fitnah, maka ia tidak diperbolehkan" lalu menjadikannya sebagai dalil yang menguatkan pengharaman "an-Nadhar" (melihat) sebagaimana yang telah disebutkan, niscaya mereka tidak berbelit-belit dalam mengeluarkan beberapa fatwa mengenai hal yang bagi seorang yang mendalami pemahaman tentang pokok-pokok dan cabang-cabang syari'ah jelas mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang nyata. Misalnya adalah pendapat sebagian Hanafiah (penganut madzhab Hanafi):

"Seorang ajnabi (laki-laki yang tidak memiliki hubungan mahram) boleh melihat rambut, bagian tangan mulai ujung jari hingga siku, betis, dada, dan payudara wanita budak." (4)

Juga pendapat salah satu madzhab:

"Boleh melihat aurat wanita ajnabiyah melalui cermin!"

Di antara mereka beralasan bahwa hal itu diperbolehkan karena tidak lebih merupakan pandangan terhadap suatu yang bersifat khayalan. Bahkan dewasa ini terdapat salah satu golongan/ kelompok Islam -sungguh disayangkan- telah mengadopsi pendapat tersebut. Kelompok tersebut mengklaim bahwa mereka mengambil setiap pendapat yang sesuai dengan kemaslahatan! Tidak cukup di sini saja, bahkan mereka menjadikan pendapat tersebut sebagai suatu nash yang ma'shum, yang dijadikan sebagai landasan untuk suatu pendapat yang jauh lebih merusak daripada pendapat pertama, karena ia lebih menyentuh kehidupan dan realitas pemuda-pemuda kita di masa sekarang, yaitu diperbolehkannya melihat gambar-gambar porno melalui televisi, film, dan majalah, dengan alasan sebagaimana di muka, yaitu bahwa yang dilihat di sini hanyalah sesuatu yang bersifaat khayal! Setiap orang yang berakal dan berhati nurani, bahkan sekalipun ia seorang non muslim, niscaya yakin bahwa gambar-gambar tersebut merupakan perangsang-perangsang syahwat yang sangat berpengaruh negatif bagi para pemuda. Sementara, setelah itu, mereka tidak mendapatkan jalan untuk memadamkan syahwatnya itu kecuali dengan melakukan perbuatan yang haram berdasarkan nash, meski sekedar melihat, mendengar, dan sebagainya, yang pengharamannya termasuk dalam kategori pencegahan sesuatu yang membawa kepada perbuatan haram, yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam sabdanya:

"...zina mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, jiwa berkhayal dan berkeinginan, sedangkan kemaluan adalah yang membenarkan atau mendustakan itu semua."
(Dikeluarkan oleh Syaikhaini dan lain-lain) (5)

Tidak hanya itu, belum lama ini, kelompok ini telah menerbitkan brosur. Di dalam brosur itu, secara terus terang ia menyatakan diperbolehkannya mencium wanita ajnabiyah ketika memberikan ucapan selamat kepadanya, asal tanpa syahwat! Aku dan beberapa orang yang lain pernah mengatakan kepada sebagian anggota kelompok itu: "Bagaimana seandainya hal itu dilakukan terhadap saudara perempuanmu atau isterimu?" Ia pun terdiam.

Mereka memiliki banyak sekali pendapat-pendapat yang jauh dari al-Kitab (al-Qur-an) dan as-Sunnah (al-Hadits), bahkan juga dari akal sehat. Sekarang bukan tempatnya untuk berbicara panjang lebar mengenai hal itu. Kami mengemukakan beberaap kenyelenehan dan penyimpangan mereka dari ilmu yang shahih sebagaimana yang telah kami sebutkan, untuk (itu) kami katakan:

"Wajiblah bagi kelompok ini, juga bagi orang lain, yang ingin mengetahui ilmu yang shahih, yang disimpulkan dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan cara yang berdasarkan pengetahuan tentang kaidah-kaidah ushul dan penerapan yang baik dalam masalah-masalah furu', untuk membiasakan diri -setelah mengkaji al-Kitab dan as-Sunnah- mempelajari buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di antaranya risalah yang penuh berkah ini. Dengan demikian, mereka bisa belajar membuat kesimpulan yang shahih, melakukan pemilahan-pemilahan secara baik, dan menghindari ijtihad-ijtihad dan pendapat-pendapat yang tidak layak bagi orang yang berakal untuk mengatakannya, mengucapkannya dengan lidahnya, atau menulisnya dengan penanya, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka!"

Itulah beberapa masalah yang terdapat di balik lembaran-lembaran risalah yang berharga ini. Di dalamnya juga terkandung beberapa masalah dan faedah lain yang akan terbaca sendiri oleh para pembaca, insya Allah. Dengan seluruh kandungannya, risalah ini merupakan tulisan yang istimewa di bidangnya, tiada bandingannya di antara tulisan-tulisan serupa, karena sebagian besar kandungannya berbeda dari tulisan-tulisan serupa seperti buku al-Hijab tulisan al-'Allamah al-Maududiy atau bukuku Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, dan lain-lainnya. Maka, selayaknya pembaca memegangi buku secara bersungguh-sungguh dan memuji Allah Ta'ala. Karena Dia telah menjadikannya salah seorang dari mereka yang membaca buku Ibnu Taimiyah serta mengambil manfaat darinya. Sungguh, beliau adalah seorang yang benar-benar bermakrifat kepada Allah. Demikian pula siapa saja yang mengikuti jejaknya.

Kami memberikan kesaksian demikian untuk beliau, bukan berarti kami menganggap bahwa beliau seorang yang ma'shum. Bagaimana mungkin, sedangkan kami telah memberikan beberapa koreksi, meski tidak banyak, pada beberapa bagian risalah ini. Kami membenarkan apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullaah Ta'ala:

"Tidak ada seorangpun di antara kita melainkan bisa ditolak pendapatnya, kecuali Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam."

Perkataan ini juga pernah diriwayatkan dari selain beliau. (6)

Tentu saja, semua itu tidak akan mengurangi penghargaan terhadap beliau atau risalahnya, bahkan justru menambah nilainya, karena jumlahnya hanya sedikit. Sebagaimana diisyaratkan dalam perkataan seorang penyair:

"Cukuplah seseorang itu (dianggap) mulia bila bilangan aibnya bisa dihitung."

Bahkan, hal itu sama sekali bukan merupakan aib bagi beliau, karena beliau adalah seorang mujtahid yang mendapatkan pahala, mungkin dua pahala, dan berkat karunia Allah inilah yang terbanyak, atau kalau tidak minimal satu pahala.

Risalah ini pernah dicetak dengan judul Hijab al-Mar'ah al-Muslimah wa Libasuha fi ash-Shalah wa Ghairiha (Hijab dan Pakaian Wanita di Dalam dan di Luar Shalat). Jika bukan karena ada beberapa pertimbangan, di antaranya karena judul di atas telah dikenal secara luas, niscaya aku berpendapat untuk mengubah judulnya menjadi Libas ar-Rajul wal Mar'ah fi ash-Shalah (Pakaian Laki-laki dan Wanita Dalam Shalat). Sebab, tema itulah yang sebenarnya dibahas dalam risalah ini dan senantiasa diulas oleh penulis, serta mengandung banyak faedah dan pemahaman yang shahih.

Dalam memberikan komentar terhadapnya, aku menambahkan pula beberapa faedah yang bersifat ilmiah atau yang berkaitan dengan ilmu hadits, yang pada cetakan yang lalu aku lupa mencantumkannya. Dengan demikian, cetakan ini semakin lebih berbobot dibandingkan cetakan yang terdahulu. Segala puji bagi Allah yang telah memudahkan hal itu bagi kami dan memberikan taufik kepada saudara, al-Ustadz Abu Bakr Zuhair asy-Syawis untuk mencetak ulang, dalam kemasan luks ini.

Kami memohon kepada Allah agar menjadikan amal kami ikhlas semata-mata untuk mencari ridha-Nya dan menjadikannya bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, keluarganya, serta seluruh shahabatnya. Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin.

Damaskus, 7 Ramadhan 1393 H

Muhammad Nashiruddin al-Albani

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(1) Lihat Shahih Abi Dawud 645.

(2) Lihat Manar as-Sabil 1/74, cet. Maktab Islamiy dan hasiyah Syaikh Sulaiman rahimahullaah terhadap al-Muqhi 1/116.

(3) Adapun jumhur ulama, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh penulis (Ibnu Taimiyyah) sendiri, berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangannya (wanita) bukanlah aurat. Pendapat tersebut aku kuatkan dalam bukuku Hijab al-Mar'ah al-Muslimah. Pendapat itu aku kuatkan dengan al-Qur-n, as-Sunnah, dan atsar yang mengisahkan wanita-wanita Salaf, yang bisa jadi dalil-dalil itu tidak terdapat dalam buku lain. Bukan berarti menutup kedua anggota tubuh tersebut (wajah dan kedua telapak tangan) tidak disyari'atkan. Sama sekali tidak demikian. Bahkan, yang lebih utama adalah menutupinya, sebagaimana telah aku jelaskan secara terperinci dalam bab khusus yang aku tulis, yang berjudul Masyru'iyatu Satril Wajh. Karena itu, barangsiapa mencoba membantah aku dalam masalah ini dengan menuduh bahwa aku mengatakan ataau hampir-hampir mengatakan wajibnya membuka wajah bagi wanita, maka ia tidak akan beruntung. Ia telah berdusta dan mengada-ada, sebagaimana telah dijelaskan di muka.

(4) Lihat Ahkam al-Qur-an, Abu Bakar al-Jashash al-Hanafi 3/390 dan bukuku Hijab al-Mar'ah hal. 44. Dalam bukuku itu terdapat bantahan terhadap pendapat tersebut. Meski demikian, ada saja sebagian Hanafiah sendiri yang menuduh bahwa aku memperbolehkan melihat wajah wanita. Yang paling aku khawatirkan hal itu seperti kata pepatah, "Lempar batu sembunyi tangan".

(5) Aku telah mentakhrijnya dalam Irwa' al-Ghalil yang merupakan takhrij hadits-hadits yang terdapat dalam Manar as-Sabil tulisan Syaikh Ibnu Dhauyan.

(6) Lihat Shifat ash-Shalah hal. 28, cet. ketujuh.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Hijabul Mar'ah wa Libasuha fish Shalah, Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah, Pentahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Tanpa Keterangan Penerbit, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul terjemahan: Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat, Penerjemah: Hawin Murtadho, Editor: Muslim al-Atsari, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan kedua, Mei 2000.

===

Buku ini hadiah dari al-Akh Khaerun -semoga Allah menjaganya dan mempertemukan kembali kami di dunia ini dan mengumpulkan kami di akhirat kelak dalam Surga- untuk perpustakaan Baitul Kahfi.