Friday 9 June 2017

Allah Menghendaki Kemudahan dan Tidak Menghendaki Kesulitan | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Ketigabelas.

Allah Menghendaki Kemudahan dan Tidak Menghendaki Kesulitan.

1. Orang yang Sedang dalam Perjalanan (Musafir).

Ada beberapa hadits shahih yang memberikan pilihan kepada orang yang sedang dalam perjalanan untuk berpuasa. Jangan lupa bahwa rahmat Ilahiyyah itu disebutkan di dalam al-Qur-an yang mulia. Allah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang berfirman:

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu sekalian." (QS. Al-Baqarah: 185)

Hamzah bin 'Amr al-Aslami (radhiyallahu 'anhu) pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan?" -dan dia termasuk orang yang rajin mengerjakan puasa- maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Jika engkau mau, berpuasalah dan jika mau engkau boleh berbuka." (93)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, "Aku pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan tidak juga orang yang berbuka terhadap orang yang berpuasa." (94)

Hadits-hadits tersebut memberi pengertian agar memilih, bukan pengutamaan. Namun demikian, dimungkinkan penggunaan dalil untuk mengutamakan berbuka puasa, yaitu dengan hadits-hadits yang bersifat umum, seperti misalnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini:

"Sesungguhnya Allah senang bila keringanan-keringanan-Nya dimanfaatkan sebagaimana Dia tidak senang bila larangan (maksiat)-Nya dilanggar." (95)

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Sebagaimana Dia suka perintah-Nya dilaksanakan." (96)

Tetapi kemungkinan untuk membatasi hal tersebut hanya bagi orang yang merasa kesulitan untuk mengganti puasa pada hari lain, agar keringanan yang diberikan oleh Allah tersebut tidak bertentangan dengan tujuan. Dan hal tersebut telah dijelaskan secara gamblang tanpa mengandung keraguan sama sekali. Telah diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu: "Dan mereka berpandangan, bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa baginya adalah lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka baginya adalah lebih baik." (97)

Ketahuilah, wahai saudaraku seiman, mudah-mudahan Allah membimbingmu menuju jalan petunjuk dan ketakwaan serta mengaruniai pemahaman dalam agama, bahwa jika berpuasa dalam perjalanan memberatkan seseorang, sama sekali hal itu tidak baik, bahkan berbuka adalah lebih baik dan lebih disukai Allah. Yang menjadi syahid (penguat) bagi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang Shahabat radhiyallahu 'anhum bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan." (98)

Peringatan:

Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa berbuka puasa dalam perjalanan di masa sekarang ini tidak diperbolehkan, sehingga mereka mencela orang-orang yang memanfaatkan keringanan yang diberikan Allah Ta'ala, atau berpendapat bahwa puasa lebih baik daripada berbuka karena adanya kemudahan dan tersedianya berbagai sarana transportasi. Dan kami bermaksud untuk menarik perhatian mereka pada firman Allah yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang nyata:

"Dan tidaklah Rabbmu lupa." (QS. Maryam: 64)

Firman-Nya yang lain:

"Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 232)

Serta firman-Nya di dalam ayat yang menyebutkan keringanan berbuka dalam perjalanan:

"Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu sekalian." (QS. Al-Baqarah: 185)

Artinya, kemudahana bagi orang yang tengah dalam perjalanan merupakan sesuatu yang memang dikehendaki Allah sekaligus sebagai bagian dari tujuan syari'at yang penuh toleransi. Perlu aku ingatkan kepadamu bahwa Rabb yang telah menetapkan agama adalah Pencipta zaman, tempat, dan juga manusia, dan pasti Dia lebih mengetahui akan kebutuhan dan kepentingan mereka. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Mahahalus lagi Mahamengetahui." (QS. Al-Mulk: 14)

Kami sajikan hal tersebut dengan tujuan agar orang Muslim, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perintah, tidak ada pilihan baginya atas perintah tersebut, tetapi dia harus senantiasa mengucapkan secara berulang-ulang bersama orang-orang Mukmin lainnya yang taat, yang tidak berani melakukan sesuatu yang menyalahi Allah dan Rasul-Nya:

"Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdo'a), 'Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada-Mu-lah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285)

2. Orang Sakit.

Allah membolehkan bagi orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat sekaligus kemudahan baginya. Sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah (sakit) yang dengan puasa itu akan berbahaya bagi jiwanya, memperparah sakit yang dideritanya atau dikhawatirkan dengan puasa itu, sakit yang dideritanya dapat memperlambat kesembuhan. Wallaahu a'lam.

3. Wanita yang Sedang Menjalani Haidh dan Nifas.

Para 'ulama telah sepakat bahwa wanita yang tengah menjalani haidh atau nifas tidak boleh berpuasa. Keduanya boleh berbuka, tetapi mereka harus menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan jika keduanya tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah. Mengenai hal itu akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

4. Orang yang Sudah Tua Renta dan Wanita yang Lemah.

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu mengerjakan puasa, maka keduanya harus memberi makan kepada seorang miskin setiap hari dari hari-hari puasa yang ditinggalkannya." (99)

Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (II/ 207) dan dinilai shahih melalui jalan Manshur, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas, dia membaca:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (memberi makan orang miskin)." Dia mengatakan: "Yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu mengerjakan puasa sehingga dia harus berbuka. Dan dia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin sebanyak setengah sha' gandum." (100)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang sudah menjalani usia tua lalu tidak mampu menjalankan puasa Ramadhan, maka dia harus mengeluarkan satu mud gandum dari setiap hari yang ditinggalkan." (101)

Dan dari Anas bin Malik (radhiyallahu 'anhu): "Bahwasanya dia pernah tidak mampu mengerjakan puasa selama satu tahun, maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil tiga puluh orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang." (102)

5. Wanita Hamil dan Menyusui.

Di antara wujud keagungan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Dia memberi keringanan kepada mereka untuk berbuka (tidak mengerjakan puasa). Di antara mereka yang mendapatkan keringanan itu adalah wanita hamil dan wanita menyusui.

Dari Anas bin Malik (103) (radhiyallahu 'anhu), dia bercerita, "Kuda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lari kepada kami, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata aku mendapatkan beliau tengah makan, maka beliau bersabda, 'Mendekatlah ke sini dan makanlah.' Lalu kukatakan, 'Sesungguhnya aku tengah berpuasa.' Lalu beliau bersabda, 'Mendekatlah ke sini, aku akan memberitahukanmu tentang puasa: 'Sesungguhnya Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah meringankan setengah dari beban shalat bagi seorang musafir, dan meringankan beban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui.' Demi Allah, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satu dari keduanya. Dan aku benar-benar berselera untuk memakan makanan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (104)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(93) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 156) dan Muslim (1121).

(94) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 163) dan Muslim (1118).

(95) Diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 108) dan Ibnu Hibban (2742) dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma dengan sanad shahih.

(96) Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (354), al-Bazzar (990), ath-Thabrani di dalam kitab, al-Kabiir (11881) dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) dengan sanad yang shahih. Di dalam sebuah hadits tersebut terdapat pembahasan yang cukup panjang, dan di sini bukan tempatnya.

(97) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (713) dan al-Baghawi (1763) darinya. Sanad hadits ini adalah shahih, meskipun di dalamnya terdapat al-Jurairi. Dengan demikian, riwayat 'Abdul A'la merupakan riwayat yang paling shahih, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-'Ijli dan selainnya.

(98) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 161) dan Muslim (1115) dari Jabir radhiyallahu 'anhu.

(99) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4505). Lihat, Syarhus Sunnah (VI/ 316), Fat-hul Baari (VIII/ 180), Nailul Authaar (IV/ 315), serta Irwaa-ul Ghaliil (IV/ 22-25). Dan Ibnul Mundzir telah menukil ijma' mengenai hal tersebut di dalam kitab, al-Ijmaa' (no. 129).

(100) Lihat komentar terdahulu.

(101) Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (II/ 208), dan dalam sanadnya terdapat 'Abdullah bin Shalih, dimana dia seorang yang dha'if, tetapi ia mempunyai satu penguat.

(102) Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (II/ 207) dan sanadnya shahih.

(103) Yaitu al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik al-Anshari, pembantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi, dia adalah seseorang dari Bani 'Abdillah bin Ka'ab, dan dia pernah tinggal di Bashrah. Dia telah meriwayatkan satu buah hadits saja dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits ini. Lihat buku, al-Ishaabah (I/ 114-115) karya Ibnu Hajar. Juga buku, Tajriid Asmaa' ash-Shahaabah (I/ 31), karya adz-Dzahabi. Selanjutnya, perbandingkan dengan buku Faidhul Qadiir (II/ 268), dimana antara keduanya terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendalam.

(104) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (715), an-Nasa-i (IV/ 180), Abu Dawud (2408) dan Ibnu Majah (1667).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.