Friday 9 June 2017

Yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keduabelas.

Yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa.

Seorang hamba yang taat dan memahami al-Qur-an dan as-Sunnah tidak akan ragu lagi bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan sama sekali bagi mereka. Dimana Pembuat syari'at ini telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa dan memaafkannya jika melakukan sesuatu karena kesulitan, di antaranya:

1. Orang yang Berpuasa Boleh Bangun Setelah Waktu Shubuh Tiba dalam Keadaan Junub.

Di antara hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bangun pagi ketika fajar sudah terbit, sedang beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan isterinya. Lalu beliau mandi setelah terbit fajar dan kemudian berpuasa.

Dari 'Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhuma:

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit sedang ketika itu beliau dalam keadaan junub karena bercampur dengan isterinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa." (81)

2. Diperbolehkan Bersiwak Bagi Orang yang Berpuasa.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Seandainya aku tidak takut akan memberatkan ummatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu'." (82)

Dengan demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya mengkhususkan hal itu bagi orang yang berpuasa saja tetapi juga yang lainnya. Dan dalam hal ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa siwak itu boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dan yang tidak berpuasa pada setiap kali wudhu' dan shalat. (83)

Selain itu, siwak bersifat umum yang bisa dilakukan setiap saat sebelum atau sesudah zawal. Wallaahu a'lam.

3. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung.

Hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berkumur dan memasukkan air ke hidung saat beliau menjalankan ibadah puasa, hanya saja beliau melarang orang yang sedang berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam melakukan keduanya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"...dan lakukan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) secara mendalam, kecuali jika kamu dalam keadaan puasa." (84)

4. Bercumbu dan Berciuman Bagi Orang yang Sedang Berpuasa.

Telah ditegaskan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma bahwa dia pernah bercerita, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu yang saat itu beliau tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kalian." (85)

Hal tersebut dimakruhkan bagi orang yang masih muda dan tidak bagi yang sudah tua:

Telah diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash (radhiyallahu 'anhu), dia bercerita: "Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang pemuda mendatangi beliau seraya berucap: 'Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium (isteriku) sedang aku dalam keadaan berpuasa?' Beliau bersabda: 'Tidak.' Kemudian ada orang tua seraya bertanya: 'Apakah boleh aku mencium sedang aku dalam keadaan berpuasa?' Beliau bersabda: 'Boleh.'" 'Abdullah bercerita, "Lalu sebagian kami saling berpandangan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Sesungguhnya orang yang sudah tua itu bisa menahan nafsunya.'" (86)

5. Transfusi Darah dan Suntikan yang Tidak Dimaksudkan Sebagai Makanan. (87)

Semuanya itu tidak termasuk hal yang membatalkan puasa. Silahkan baca pembahasannya pada halaman selanjutnya.

6. Berbekam (Hijamah).

Berbekam ini termasuk salah satu hal yang membatalkan puasa dan kemudian dihapuskan. Pengamalannya telah ditegaskan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam padahal saat itu beliau dalam keadaan puasa. Hal itu didasarkan pada apa yang disebutkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma: "Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berbekam sedang beliau dalam keadaan berpuasa." (88)

7. Mencicipi Makanan.

Mencicipi makanan ini dengan catatan tidak sampai masuk ke tenggorokan. Hal tersebut didasarkan pada riwayat dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma:

"Tidak ada masalah untuk mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak dimasukka ke dalam kerongkongannya sedang dia dalam keadaan berpuasa." (89)

8. Celak Mata, Obat Tetes Mata dan Semisalnya yang Dimasukkan ke Dalam Mata.

Semua hal tersebut tidak membatalkan puasa, baik barang-barang itu terasa olehnya maupun tidak. Itu pula yang ditarjih oleh Syaikhul Islam di dalam risalahnya yang berjudul: "Haqiiqatush Shiyaam". Dan juga muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitabnya, Zaadul Ma'aad. Imam al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya (90): "Anas, al-Hasan, dan Ibrahim tidak mempermasalahkan celak mata bagi orang yang sedang berpuasa."

9. Menyiramkan Air Dingin pada Kepala dan juga Mandi.

Di dalam kitab Shahihnya (91), bab: Ightisaalush Shaa-im, al-Bukhari meriwayatkan: Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma pernah membasahi pakaian dan kemudian meletakkannya di atas tubuhnya sedang dia dalam keadaan puasa. Dan asy-Sya'bi juga pernah masuk kamar mandi sedang dia juga dalam keadaan puasa. Al-Hasan mengatakan: "Tidak ada masalah dengan berkumur dan mendinginkan diri (badan) bagi orang yang sedang berpuasa."

Dalam satu riwayat disebutkan:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah menyiramkan air pada kepalanya, sedang beliau dalam keadaan berpuasa, karena haus atau panas yang menyengat." (92)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(81) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 123) dan juga Muslim (1109).

(82) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (II/ 311). Hadits senada juga diriwayatkan oleh Muslim (1109).

(83) Dan inilah yang menjadi pendapat Imam al-Bukhari rahimahullah. Demikian juga Ibnu Khuzaimah dan selainnya. Lihat kitab, Fat-hul Baari (IV/ 185), Shahih Ibni Khuzaimah (III/ 247), serta Syarhus Sunnah (VI/ 298).

(84) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (III/ 146), Abu Dawud (II/ 308), Ahmad (IV/ 32), Ibnu Abi Syaibah (III/ 101), Ibnu Majah (407), an-Nasa-i (no. 87), dari Laqith bin Shabrah radhiyallahu 'anhu. Sanadnya shahih.

(85) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 131) dan Muslim (1106).

(86) Diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 185 dan 221) melalui jalan Ibnu Luhai'ah dari Yazid bin Abi Habib, dari Qaishar at-Tujaibi darinya. Dan sanad hadits ini dha'if karena kedha'ifan Ibnu Luhai'ah.

Tetapi hadits ini mempunyai syahid yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir (11040) melalui jalan Habib bin Abi Tsabit, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma. Dan Habib adalah seorang mudallis dan telah di'an'an.

Karenanya, hadits ini menjadi hasan. Silahkan dirujuk kembali buku, al-Faqiih wal Mutafaqqih (hal. 192-193), karena ia mempunyai beberapa jalan lain.

(87) Lihat Risaalataani Maujizataani fiz Zakaah wash Shiyaam (Dua Risalah Ringkas Tentang Zakat dan Puasa), hal. 23, karya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baaz rahimahullah.

(88) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 155 - Fat-hul Baari).

(89) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 154 - Fat-hul Baari). Dan disambung oleh Ibnu Abi Syaibah (II/ 47), al-Baihaqi (IV/ 261) melalui dua jalan. Dan hadits ini hasan. Lihat juga buku, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 151-152).

(90) (IV/ 153 - Fat-hul Baari). Silahkan perbandingkan dengan kitab, Mukhtashar Shahih al-Bukhari (451) karya Syaikh al-Albani dan juga kitab, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 152-153).

(91) Lihat sumber terdahulu.

(92) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2365), Ahmad (V/ 376, 380, 408, 430) dan sanadnya shahih.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.