Sunday 4 June 2017

Kajian Ketujuh Belas | Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Ketujuh Belas.

Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat.

Segala puji bagi Allah. Tidak ada yang bisa mengangkat derajat seseorang yang direndahkan oleh Allah, tidak ada yang bisa merendahkan derajat orang yang ditinggikan oleh Allah, tidak ada yang bisa menghalangi pemberian yang diberikan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi apa yang dicegah oleh Allah, tidak ada yang bisa memutus apa yang disambung oleh Allah, dan tidak ada yang bisa menyambung apa yang diputus oleh Allah. Mahasuci Allah, Pengatur yang Mahaagung, Sembahan yang Mahabijaksana dan Maha Penyayang. Dengan hikmah-Nya segala yang berguna dan berbahaya itu terjadi.

Aku memuji Allah atas segala perbuatan-Nya, dan aku bersyukur kepada-Nya atas karunia-Nya yang sangat luas.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah membuat apa yang disyari'atkan oleh-nya penuh dengan hikmah serta membuat indah segala yang diciptakan oleh-Nya. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang diutus oleh Allah ketika kekufuran sedang pada puncak ketinggiannya, lalu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berhasil menjatuhkan dari ketinggiannya dan menguburkan serta menghancurkan kejahatannya.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada beliau, kepada shahabat beliau, Abu Bakar yang gagah berani memerangi kaum murtad, kepada 'Umar yang membuat Islam semakin perkasa, kepada 'Utsman yang terbunuh dalam keadaan dizhalimi, kepada 'Ali yang berhasil mematikan kekufuran melalui jihad yang sangat gigih, serta kepada seluruh keluarga dan para shahabat seluruhnya hingga hari Kiamat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qur'an Surat at-Taubah (9): ayat 60)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan orang-orang yang berhak mendapatkan zakat sesuai dengan ilmu, hikmah, keadilan dan rahmat-Nya. Allah membatasi hanya pada delapan kelompok di atas. Allah menjelaskan bahwa memberikan zakat kepada mereka merupakan suatu keharusan (fardhu), dan pembagian ini datang langsung dari Allah berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya sehingga tidak boleh dilanggar atau dialihkan kepada yang lain. Sebab, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan makhluk-Nya dan jauh lebih bijaksana untuk meletakkan segala sesuatu pada tempat-Nya. "Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?!" (Qur'an Surat al-Maidah (5): ayat 50)

Kelompok pertama dan kedua, orang-orang fakir dan miskin.

Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka dan kebutuhan keluarga mereka, baik itu yang berasal dari uang tunai, gaji tetap, pekerjaan keterampilan, penghasilan yang cukup maupun dari nafkah yang diberikan oleh orang lain terhadap mereka, sehingga mereka membutuhkan santunan dan bantuan. Para ulama mengatakan: Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat yang mencukupi mereka dan keluarga mereka untuk jenjang waktu satu tahun penuh sehingga tiba waktunya kembali saat pembagian zakat berikutnya. Orang fakir bisa diberi jatah zakat supaya bisa menikah dan bisa mencukupi keperluan pernikahannya, dan penuntut ilmu yang fakir bisa diberi bagian zakat supaya bisa membeli buku-buku yang dibutuhkannya. Demikian juga orang yang mempunyai gaji tetap tetapi tidak mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya bisa diberi bagian zakat yang bisa memenuhi kebutuhannya karena mereka termasuk orang yang membutuhkan.

Sedangkan orang yang sudah mampu memenuhi kebutuhannya tidak boleh diberi bagian dari zakat, sekalipun ia memintanya. Bahkan kita wajib memberinya nasihat dan memperingatkannya dari meminta sesuatu yang tidak halal baginya. Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallaahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Meminta-minta terus dilakukan oleh seseorang di antara kalian, sampai kelak ia datang menghadap Allah tanpa ada potongan daging di wajahnya." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa yang meminta-minta harta orang lain untuk memperbanyak hartanya sendiri, maka sebenarnya ia meminta bara api. Maka silahkan saja ia mau memperkecil atau memperbanyak bara itu." (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

"Sesungguhnya harta ini memang hijau dan manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan penuh kedermawanan, maka ia diberi keberkahan padanya, sedangkan orang yang mengambilnya dengan ketamakan, maka tidak akan diberkahkan padanya. Ia seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Diriwayatkan dari 'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidaklah seorang hamba itu membuka pintu minta-minta melainkan Allah akan membukakan baginya pintu kefakiran." (Hadits Riwayat Imam Ahmad) (38)

Jika ada seseorang meminta jatah zakat, sedangkan ia terlihat tidak membutuhkannya, dan ia tidak diketahui identitasnya, maka ia boleh diberi sesudah diberitahukan kepadanya bahwa tidak ada jatah zakat bagi orang yang mampu atau orang yang kuat bekerja untuk mencari uang. Sebab, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah didatangi oleh dua orang laki-laki yang meminta bagian zakat kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau melihat bahwa keduanya adalah orang yang kuat. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda:

"Jika kalian menginginkan, aku akan memberikan. Akan tetapi sebenarnya tidak ada jatah bagi orang yang kaya (tidak membutuhkan) dan bagi orang yang kuat untuk bekerja mendapatkan uang." (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam an-Nasa-i)

Kelompok ketiga, amil zakat (pegawai/ pengurus zakat).

Mereka adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengurus zakat, mulai dari menarik dan mengumpulkan zakat dari orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat, menjaga dan membagikannya. Mereka ini diberi bagian dari zakat sesuai dengan pekerjaan mereka, sekalipun mereka adalah orang yang mampu atau kaya. Adapun orang-orang yang menjadi wakil dari seseorang atau diserahi oleh seseorang untuk membagikan zakatnya tidak termasuk dalam kategori amil zakat. Dengan demikian, orang seperti ini tidak berhak menerima zakat sedikitpun karena dalam hal ini ia hanya sebagai wakil dari orang yang mengeluarkan zakat. Jika mereka secara sukarela membagikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan penuh amanat dan kesungguhan, maka mereka mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang memberi zakat. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Seorang bendahara Muslim yang terpercaya (amanah) ialah yang melaksanakan atau memberikan apa yang diperintahkan orang yang mengeluarkan zakat (sedekah) kepada alamat yang dituju secara sempurna dan dengan rela hati."

Adapun jika membagi-bagikannya itu bukan atas kemauan sendiri melainkan atas perintah orang yang berzakat, maka orang yang menyuruhnya itu hendaklah memberinya upah dari hartanya sendiri, bukan dari harta zakat.

Kelompok keempat, orang-orang mualaf.

Yaitu orang-orang yang masih lemah imannya atau yang dikhawatirkan tindak kejahatan mereka. Mereka ini bisa diberi bagian dari zakat yang sekiranya bisa menguatkan keimanan mereka atau bisa menolak kejahatan mereka jika tidak bisa diatasi kecuali dengan memberikan bagian ini kepada mereka.

Kelompok kelima, riqab.

Yaitu para budak yang melakukan akad pembebasan dirinya dengan memberikan tebusan kepada tuannya untuk membebaskan dirinya. Bisa juga dengan membeli budak lalu membebaskannya, atau membebaskan orang muslim yang menjadi tawanan dengan menggunakan uang zakat, karena tawanan seperti ini masuk dalam kategori riqab.

Kelompok keenam, orang yang menanggung utang (gharim).

Orang-orang yang menanggung utang ini terbagi menjadi dua:

Pertama, orang yang menanggung suatu tanggungan dalam rangka memperbaiki hubungan kekerabatan dan memadamkan fitnah. Orang seperti ini bisa diberi bagian dari zakat sesuai dengan beban yang dipikulnya untuk memotivasi dirinya dalam melaksanakan pekerjaan yang mulia sehingga dapat menyatukan kaum muslimin, kekerabatan menjadi erat, fitnah menjadi padam, serta kedengkian menjadi musnah. Diriwayatkan dari Qabishah al-Hilali radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Aku pernah menanggung suatu tanggungan, lalu aku datang menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta bagian zakat kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda: 'Diamlah di sini sampai nanti tiba harta zakat lalu kamu akan kami beri bagian.' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya: 'Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta bagian zakat itu hanya boleh untuk salah satu di antara tiga: seorang lelaki yang mempunyai tanggungan sehingga ia bisa menyelesaikan tanggungan itu...dst'." (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Kedua, orang yang mempunyai tanggungan atas dirinya sendiri, sedangkan ia tidak mempunyai sesuatu untuk melunasinya. Orang seperti ini berhak menerima bagian dari zakat yang sekiranya mencukupi untuk membayar utangnya, sekalipun banyak. Uang (bagian zakat) ini dapat diberikan dulu kepada orang yang bersangkutan atau langsung diberikan kepada yang meminjaminya asalkan tercapai tujuan pemberian tadi, yaitu melepaskan yang berutang dari tanggungannya.

Kelompok ketujuh, fi sabilillah (di jalan Allah).

Yaitu jihad di jalan Allah dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, bukan karena fanatisme. Dengan demikian, orang yang berjihad dengan niat seperti ini berhak mendapatkan bagian dari zakat untuk memenuhi kebutuhannya menunaikan jihad, atau untuk membeli senjata dan peralatan perang lainnya dalam rangka melaksanakan jihad di jalan Allah untuk menjaga Islam dan meninggikan kalimat Allah.

Kelompok kedelapan, ibnu sabil.

Yaitu seorang musafir yang kehabisan bekal di jalan. Orang seperti ini berhak mendapatkan bagian dari zakat yang bisa mengantarkannya ke negerinya, sekalipun sebenarnya ia seorang yang kaya dan mendapatkan seseorang yang bisa memberinya pinjaman. Namun tidak boleh dengan sengaja bepergian dengan membawa perbekalan yang sedikit dengan maksud agar bisa memperoleh harta zakat jika perbekalannya habis di tengah jalan. Sebab, ini merupakan bagian dari kilah untuk mengambil dan mendapatkan sesuatu yang sebenarnya tidak menjadi haknya.

Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, kecuali jika ia adalah bagian dari golongan orang-orang yang lunak hatinya untuk dibujuk (al-muallafah qulubuhum), dan juga tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak membutuhkannya, karena ia sudah bisa mencukupi kebutuhannya, apakah karena ia berdagang, menciptakan sesuatu yang menghasilkan uang, mempunyai keterampilan, atau mempunyai gaji tetap dan semisalnya. Kecuali jika mereka adalah para amil zakat, para mujahid di jalan Allah, atau gharimin (orang yang menanggung beban) untuk memperbaiki hubungan kekerabatan. Harta zakat juga tidak boleh diberikan kepada tamu sebagai ganti dari jamuan kepadanya, juga tidak boleh diberikan kepada orang yang wajib dinafkahi seperti isteri atau keluarga sebagai ganti dari pemberian nafkah kepada mereka. Tidak boleh memberikannya kepada isteri dan kerabat selain nafkah yang wajib. Dengan demikian, ia boleh membayarkan utang isterinya dengan uang zakat itu bilamana sang isteri tidak bisa melunasi utang-utangnya. Boleh juga membayarkan utang kedua orang tuanya atau salah seorang kerabatnya dengan uang zakat itu sekiranya mereka tidak bisa melunasi utang sendiri. Boleh membagikan zakat kepada kerabat untuk menutup belanja mereka jika hal itu bukan merupakan suatu kewajiban baginya, karena keberadaan harta yang dimilikinya itu tidak mengandung pengertian pemberian belanja kepada mereka dan semisalnya. Seorang isteri boleh membayarkan zakat kepada suaminya untuk membayar utang yang ditanggung olehnya dan semisalnya. Oleh karena itu Allah menyatakan bahwa yang berhak menerima zakat itu adalah laki-laki maupun perempuan. Siapa saja yang memiliki kriteria sebagaimana di atas, maka ia berhak menerimanya. Dengan demikian, tidak ada seorangpun yang bisa keluar darinya kecuali berdasarkan nash dan ijma'.

Dalam kitab Shahihain disebutkan riwayat dari Zainab ats-Tsaqafiyah radhiyallaahu 'anha isteri 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu:

"Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh kaum wanita untuk bersedekah (zakat), lalu Zainab bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan mengatakan: 'Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau telah menyuruh bersedekah, sedangkan aku punya perhiasan dan aku ingin menyedekahkannya, namun Ibnu Mas'ud dan puteranya mengklaim bahwa dirinya dan puteranya lebih berhak untuk aku beri sedekah.' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda: 'Ibnu Mas'ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak untuk kamu beri sedekah'."

Diriwayatkan dari Salman bin Amir radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sedekah kepada orang fakir adalah sekedar sedekah, sedangkan kepada kerabat merupakan sedekah sekaligus menjalin hubungan silaturahmi." (Hadits Riwayat Imam an-Nasa-i, Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Khuzaimah, dan Imam al-Hakim, dan ia mengatakan isnadnya shahih)

Tidak boleh melunaskan utang orang fakir dan memotongnya dari uang zakat. Karena zakat itu harus melalui proses mengambil dan memberikan. Allah berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka." (Qur'an Surat at-Taubah (9): ayat 103). Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka bersedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir."

Melunaskan utang dari orang fakir tidak mengandung makna 'mengambil dan memberi', dan juga karena apa yang menjadi tanggungan orang fakir itu merupakan utang yang ghaib yang tidak dapat dipergunakan sehingg barang tersebut tidak dapat mewakili harta yang berwujud yang dapat dipergunakan. Selain itu, karena utang adalah lebih rendah nilainya menurut pandangan seseorang daripada harta yang tampak wujudnya, sehingga jika barang yang ada dalam utang itu dianggapnya sebagai zakat berarti ia mengeluarkan zakat harta yang rendah nilainya, bukan harta yang baik.

Jika orang yang memberikan zakat itu berijtihad, lalu ia memberikannya kepada orang yang ia yakini sebagai orang yang berhak menerimanya, namun ternyata sesudah itu ia tahu bahwa orang itu sebenarnya tidak berhak menerimanya, maka yang demikian itu tidak menjadi soal. Sebab, ia telah bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan dirinya, dan Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Dalam kitab Shahihain disebutkan riwayay hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang lelaki berkata: 'Demi Allah, aku akan bersedekah...dst.' Lalu orang itu memberikan sedekahnya kepada orang yang berkecukupan (kaya). Keesokan harinya orang-orang pun membicarakan masalah sedekahnya orang tersebut kepada orang yang berkecukupan. Ia berkata: 'Segala puji bagi Allah atas sedekah yang aku berikan kepada orang yang kaya. Adapun orang kaya itu boleh jadi ia akan mengambil pelajaran lalu ia nafkahkan sebagian harta yang telah Allah berikan kepadanya."

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: "Sedekahmu tetap diterima."

Diriwayatkan dari Ma'an bin Yazid radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Suatu ketika ayahku mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan (dizakatkan), lalu ia menyerahkannya kepada seorang lelaki di dalam masjid. Aku kemudian datang ke masjid, meminta sedekah itu, lantas aku bawakan kepada ayahku. Ayahku pun berkata: 'Demi Allah, bukan kepadamu yang aku kehendaki.' Aku pun mengadukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: 'Bagimu apa yang telah engkau niatkan, wahai Yazid, dan bagimu apa yang telah engkau ambil, wahai Ma'an!'" (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Saudara sekalian, sesungguhnya zakat itu tidak akan bisa diterima sehingga diletakkan di tempat yang telah ditetapkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Oleh karena itu, bersungguhlah untuk meletakkan sebagaimana mestinya. Berusahalah agar engkau benar-benar memberikannya kepada yang berhak menerimanya sehingga kalian bisa terlepas dari beban kalian, bisa menyucikan harta kalian, dan bisa melaksanakan perintah Rabb kalian sehingga zakat kalian bisa diterima. Hanya Allah-lah yang bisa memberi petunjuk. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad serta kepada keluarga dan para shahabat beliau seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(38) Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi yang berasal dari hadits Abu Kabsyarah al-Anmari radhiyallaahu 'anhu, ia menyatakan sebagai hadits hasan shahih.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.