Friday 9 June 2017

Fidyah | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kedelapanbelas.

Fidyah.

1. Seorang wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap dirinya sendiri atau terhadap anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi hanya cukup dengan memberi makan orang miskin setiap hari. Yang menjadi syahid bagi hal tersebut dari al-Qur-an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Dan kewajiban bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)

Sisi penggunaan dalil di atas adalah bahwa ayat ini dikhususkan bagi orang yang sudah tua dan wanita yang sudah sangat lemah serta orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang menyusui jika keduanya khawatir terhadap dirinya sendiri pada anak mereka, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhum.

2. Engkau, saudaraku seiman, telah mengetahui bahwa ayat ini telah dinasakh (dihapus), berdasarkan pada dua hadits 'Abdullah bin 'Umar dan Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhuma, hanya saja telah ditetapkan pula dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhu) bahwa ayat tersebut tidak dinasakh dan ayat tersebut berkenaan dengan orang yang sudah tua, wanita yang lemah yang keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, maka keduanya harus memberi makan orang miskin setiap hari. (134)

Oleh karena itu, muncul praduga bahwa Ibnu 'Abbas bertolak belakang atau bertentangan dengan mayoritas Shahabat, khususnya jika engkau telah mengetahui bahwa dia telah dengan gamblang menyatakan dalam riwayat lain bahwa ayat tersebut dinasakh: "Diberikan keringanan kepada orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah dalam hal tersebut, sedang keduanya tidak sanggup mengerjakan puasa, maka jika mau, keduanya dibolehkan untuk tidak berpuasa atau memberi makan orang miskin setiap hari dengan tidak ada kewajiban qadha' pada keduanya. Kemudian hal tersebut dinasakh melalui ayat ini:

"Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu (Ramadhan) maka hendaklah dia berpuasa." (QS. Al-Baqarah: 185)

Telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita yang sedang hamil dan wanita yang menyusui, jika keduanya khawatir, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan dia harus memberi makan orang miskin setiap hari." (135)

Ada beberapa orang yang melihat pada lahiriah riwayat terdahulu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab tafsir dari kitab Shahihnya, yang secara gamblang menyebutkan penafian penghapusan (nasakh). Sehingga mereka mengira bahwa Ibnu 'Abbas bertentangan dengan mayoritas Shahabat. Dan ketika mereka berhadapan dengan riwayat yang secara gamblang menyebut nasakh, maka mereka pun mengklaim bahwa Ibnu 'Abbas bertolak belakang.

3. Yang benar dan tidak diragukan lagi bahwa ayat ini telah dinasakh (dihapuskan), tetapi dengan pengertian dinasakh menurut pemahaman Salafush Shalih. Dimana para Salafush Shalih radhiyallahu 'anhum menyebut nasakh sebagai penghapusan dalil umum, mutlak, lahir dan lain-lainnya terkadang, baik dengan maksud memberikan pengkhususan, pembatasan, atau membawa pengertian mutlak kepada muqayyad (terikat), kemudian ditafsirkan dan dijelaskan. Sampai-sampai mereka menyebutnya dengan istitsna' (pengecualian), syarat, dan sifat sebagai nasakh, karena ketercakupannya pada penghapusan dalil yang lahir dan penjelasan yang dimaksud. Dengan demikian, dalam bahasa mereka, nasakh berarti penjelasan maksud tanpa lafazh, bahkan dengan hal di luar hal tersebut. (136)

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang mencermati ungkapan mereka niscaya akan mengetahui apa yang tidak terhingga dari hal tersebut, dan hilang pula darinya berbagai kesulitan pengertian yang mengharuskan membawa ungkapan mereka itu pada istilah baru yang terakhir, dan yang mengandung penghapusan hukum syari'at terdahulu dengan dalil syari'at berikutnya bagi para mukallaf (orang yang terkena hukum wajib).

4. Pengertian ini memperkuat bahwa ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap mukallaf, meliputi semua orang yang mampu mengerjakan puasa dan yang tidak mampu. Yang menjadi dalil tentang hal tersebut dalam Sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Kami pernah berada di bulan Ramadhan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, boleh berpuasa bagi orang yang mau berpuasa, dan boleh tidak berpuasa bagi orang yang mau tidak berpuasa, tetapi harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin, sehingga turunlah ayat ini:

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa." (QS. Al-Baqarah: 185)

Mungkin persoalan yang dimunculkan oleh hadits Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) yang secara jelas menyatakan nasakh, bahwa rukhshah (keringanan) itu diberikan kepada orang tua, laki-laki maupun perempuan, jika keduanya mampu menjalankan puasa secara dipaksakan, tetapi masalah itu hilang jika telah tampak jelas oleh engkau bahwa ia dimaksudkan untuk dalil, bukan untuk pembatasan. Dan dalil pengertian ini adalah hadits itu sendiri, dimana jika keringanan itu untuk orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan, kemudian dinasakh sehingga yang tersisa hanya bagi orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, maka apa makna keringanan yang telah ditetapkan dan manfi (dinafi'kan), jika penyebutan orang-orang itu bukan untuk dalil dan tidak juga untuk pembatasan?

Jika engkau sudah memahami dan benar-benar meyakini, maka telah muncul ketetapan tegas pada dirimu bahwa makna ayat tersebut mansukh bagi orang yang mampu mengerjakan puasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa. Hukum yang pertama merupakan nasakh dengan menggunakan dalil al-Qur-an, sedangkan hukum yang kedua ditetapkan dengan dalil Sunnah, dan tidak dinasakh sampai hari Kiamat.

Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu 'Abbas di dalam riwayat yang jelas tentang nasakh: "Dan ditetapkan bagi orang laki-laki yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita hamil dan wanita yang menyusui jika keduanya khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin."

Pengertian itu semakin jelas oleh hadits Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dimana dia bercerita, "Adapun masalah puasa, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Madinah, lalu beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura'. Kemudian Allah mewajibkan kepada beliau puasa, dimana Dia menurunkan firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa..." (QS. Al-Baqarah: 183)

Setelah itu, Dia menurunkan ayat lain:

"Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan al-Qur-an..." (QS. Al-Baqarah: 185)

Dengan demikian, Allah telah menetapkan puasa bagi orang yang mukim (menetap di tempat tinggal) lagi sehat. Dan Dia berikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Dia tetapkan ketentuan memberi makan orang miskin bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu menjalankan puasa. Demikianlah dua ketentuan..." (137)

Kedua hadits ini secara jelas memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut mansukh bagi orang yang mampu menjalankan puasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu menjalankannya. Dengan kata lain, ayat tersebut mempunyai keberadaan khusus.

Oleh karena itu, Ibnu 'Abbas sejalan dengan para Shahabat lainnya, dan haditsnya pun sejalan dengan dua hadits lainnya, yaitu hadits 'Abdullah bin 'Amr dan hadits Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhum serta tidak pula bertolak belakang. Dengan demikian, ucapannya: "Ayat tersebut tidak dimansukh," ditafsirkan oleh ucapannya: "Ayat tersebut mansukh. Dengan kata lain, ayat tersebut mempunyai keberadaan khusus." Dengan demikian, tampak jelas bahwa nasakh dalam pemahaman para Shahabat bisa menerima pengkhususan dan pembatasan dalam pemahaman para ahli ushul yang hidup setelahnya. Hal itu pula yang diisyaratkan oleh al-Qurthubi rahimahullah di dalam tafsirnya. (138)

5. Saudaraku seiman, engkau mungkin akan menyangka bahwa apa yang ditegaskan dari Ibnu 'Abbas dan Mu'adz radhiyallahu 'anhum di atas hanya sekedar pendapat, ijtihad dan pemberitahuan yang tidak setingkat dengan barisan hadits marfu' yang mengkhususkan keumuman al-Qur-an dan mengikat kemutlakannya serta menafsirkan kemujmalan (keglobalan)nya. Jawabannya sebagai berikut:

a. Menurut kesepakatan para ahli hadits, kedua hadits tersebut marfu', sehingga tidak diperbolehkan bagi orang mukmin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya untuk menyalahi keduanya, karena keduanya datang dalam menafsirkan apa yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat. Dengan kata lain, kedua Shahabat tersebut termasuk orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu yang memberitahukan tentang suatu ayat dari al-Qur-an bahwa ia turun berkenaan dengan peristiwa ini dan itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, hadits ini menjadi sandaran yang kuat. (139)

b. Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma menetapkan bahwa hukum ini bagi wanita yang menyusui dan wanita hamil. Lalu dari mana dia memberi ketetapan hukum tersebut? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu berasal dari Sunnah, apalagi posisinya yang tidak sendiri, tetapi disetujui oleh 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan bahwa ayat ini masukh.

Dari Malik, dari Nafi' bahwa Ibnu 'Umar pernah ditanya tentang seorang wanita hamil jika khawatir pada kandungannya. Maka dia menjawab: "Dia boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan satu mud gandum setiap hari kepada satu orang miskin." (140)

Diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni (I/ 207) dari Ibnu 'Umar dan dia menilainya shahih, bahwasanya dia mengatakan: "Wanita yang hamil dan wanita yang menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadha'nya." Diriwayatkan pula dari jalan yang lain: "Bahwa isterinya pernah bertanya kepadanya ketika dia tengah hamil, maka dia menjawab: 'Tidak perlu berpuasa, tetapi kamu harus memberi makan kepada orang miskin setiap hari dan tidak perlu mengqadha'.'" Sanad hadits ini jayyid. Adapun dari jalan yang ketiga, masih dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma: "Bahwa seorang anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, sedang dia tengah hamil, lalu dia merasa haus di siang hari pada bulan Ramadhan, maka dia menyuruhnya untuk tidak berpuasa, dan mengharuskan memberi makan prang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan."

c. Tidak ada pertentangan dari Ibnu 'Abbas terhadap para Shahabat. (141)

6. Penjelasan ini menerangkan makna peniadaan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui di dalam hadits Anas bin Malik al-Ka'bi (radhiyallahu 'anhu) terdahulu. Dan hal tersebut dibatasi dengan adanya rasa khawatir terhadap diri atau anaknya. Dia harus memberi makan orang miskin dan tidak perlu mengqadha'. Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dengan sanad yang dinilainya shahih (I/ 207), dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) bahwa dia pernah melihat isterinya hamil atau menyusui, maka dia berkata: "Engkau termasuk orang yang tidak mampu menjalankan puasa, tetapi engkau harus memberi makan orang miskin dan tidak harus mengqadha'."

7. Orang yang mengklaim bahwa peniadaan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui itu sama dengan peniadaan kewajiban puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dan mengharuskan bagi mereka (wanita hamil dan menyusui) untuk mengqadha'nya, maka pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena al-Qur-an telah menjelaskan peniadaan kewajiban puasa bagi musafir, dimana Dia berfirman:

"Barangsiapa di antara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan, maka hendaklah dia menggantinya pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)

Selain itu, al-Qur-an juga menjelaskan makna peniadaan kewajiban puasa bagi orang-orang yang tidak mampu menjalankannya:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)

Dengan demikian, telah jelas bagimu bahwa wanita hamil dan wanita menyusui termasuk dalam cakupan ayat ini, bahkan ia termasuk yang dikhususkan bagi mereka.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(134) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (VIII/ 135).

(135) Diriwayatkan oleh Ibnul Jarud (381), al-Baihaqi (IV/ 230), Abu Dawud (2318), dan sanadnya shahih.

(136) Silahkan merujuk hal tersebut di dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin (I/ 35), Ibnu Qayyim. Dan juga al-Muuwaafaqaat (III/ 118) karya asy-Syathibi.

(137) Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya (507), al-Baihaqi di dalam kitab Sunannya (IV/ 200), Ahmad di dalam kitab al-Musnad (V/ 246-247).

(138) Yang berjudul: "Al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan" (II/ 288).

(139) Lihat kitab Tadriibur Raawii (I/ 192-193) karya as-Suyuthi, juga kitab 'Uluumul Hadiits hal. 24 karya Ibnu Shalah.

(140) Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Sunannya (IV/ 230) melalui jalan Imam asy-Syafi'i, dan sanadnya shahih.

(141) Sebagaimana yang ditetapkan oleh Ibnu Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni (III/ 21).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.