Thursday 8 June 2017

Kajian Keduapuluh Satu | Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Keduapuluh Satu.

Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan.

Segala puji bagi Allah, Dzat yang memiliki keagungan dan kekekalan, kebesaran dan kesombongan, keperkasaan yang tiada bandingnya, Maha Esa, Rabb yang menjadi sandaran, Raja yang tidak membutuhkan seseorang, dan Mahaagung yang tidak bisa ditangkap oleh penalaran pikiran. Dia Mahakaya sehingga tidak pernah membutuhkan makhluk-Nya, sedangkan selain-Nya selalu butuh kepada-Nya. Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki sehingga orang itu akhirnya menjadi beriman kepada-Nya dan beristiqamah kemudian mendapatkan kenikmatan tidur malam, lalu ikut bersama orang-orang yang jauh dari tempat tidur untuk melaksanakan shalat malam demi meraih kedudukan yang mulia di sisi Allah. Jika engkau melihat mereka, maka dalam kegelapan malam sebagian dari mereka ada yang memohon ampunan kepada Allah mengenai kesalahannya, yang lain mengadukan kesedihannya, dan yang lain lagi sibuk berdzikir menyebut nama Allah tanpa memohon apa-apa kepadanya.

Mahasuci Allah yang telah membangunkan mereka pada saat manusia lain terlelap dalam tidur. Mahasuci Allah yang memberikan ampunan dan maaf, menutupi kesalahan hamba-Nya, serta menyempurnakan nikmat kepada seluruh makhluk-Nya.

Aku memuji Allah atas segala nikmat-Nya yang sangat agung, dan aku bersyukur kepada-Nya. Aku memohon kepada-Nya kiranya berkenan memelihara nikmat Islam.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sungguh akan mulia orang yang mulia dengan peribadahan kepada-Nya, dan sungguh akan menjadi hina orang yang sombong sehingga tidak mau melakukan ketaatan kepada-Nya dan justru memilih banyak melakukan dosa.

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang telah menjelaskan yang halal dan yang haram. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada Abu Bakar ash-Shiddiq yang pernah menemani beliau di dalam gua dan menjadi sebaik-baik teman beliau, kepada 'Umar bin al-Khaththab yang diberi petunjuk kepada jalan yang benar, kepada 'Utsman yang senantiasa bersabar di dalam menghadapi segala bencana dan menemui kesyahidan agung dari tangan musuh, kepada putera paman beliau sendiri, 'Ali bin Abi Thalib, serta kepada seluruh shahabat dan tabi'in yang mengikuti jejak mereka hingga hari Kiamat.

Saudara sekalian, telah turun kepada kalian sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Di dalamnya banyak sekali pahala, keutamaan dan keistimewaan.

Di antara keistimewaan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini adalah bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam senantiasa meningkatkan kesungguhan (mujahadah) di dalam beramal, dengan melakukan amalan yang lebih banyak lagi dari hari-hari selainnya. Dalam Shahiih Muslim disebutkan riwayat dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meningkatkan kesungguhan di dalam beramal pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau pada hari yang lain.

Dalam Shahiihain disebutkan bahwa 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma berkata:

"Ketika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengencangkan sarung, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya."

Dalam al-Musnad disebutkan pula bahwa 'Aisyah berkata:

"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengisi dua puluh hari bulan Ramadhan dengan mengerjakan shalat dan menyempatkan untuk tidur. Namun ketika tiba sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarung."

Hadits-hadits ini menjadi dalil mengenai keutamaan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebab, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meningkatkan kesungguhan beliau di dalam beribadah jauh melebihi kesungguhan beliau di hari-hari yang lain. Kesungguhan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ini meliputi segala bentuk kesungguhan di dalam melaksanakan berbagai jenis ibadah, baik yang berupa shalat, membaca al-Qur-an, berdzikir, sedekah dan sebagainya. Sebab, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika itu mengencangkan sarung, yang berarti meninggalkan isteri-isteri beliau untuk mengisi waktu sepenuhnya dengan ibadah shalat dan dzikir. Di samping itu, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga menghidupkan seluruh waktu malam beliau dengan mengerjakan shalat malam, membaca al-Qur-an dan berdzikir dengan lidah, dan anggota badan. Ini semua beliau lakukan karena kemuliaan malam ini, dan dalam rangka mencari Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan). Sebab, siapa saja yang mengerjakan shalat malam di malam itu yang didasari dengan keimanan dan mengharap perhitungan pahala dari Allah, maka Allah memberikan ampunan atas dosa yang dilakukannya di masa lalu. Makna lahiriah hadits ini menunjukkan bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menghidupkan malam sepenuhnya untuk beribadah kepada Rabbnya, dengan berdzikir, membaca ayat suci al-Qur-an, mengerjakan shalat dan persiapan melakukan itu semua, serta untuk melaksanakan sunnah makan sahur dan seterusnya. Dengan pengertian seperti ini, maka tidak ada pertentangan antara hadits di atas dengan hadits yang disebutkan dalam Shahiih Muslim dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjalankan shalat malam hingga pagi."

Sebab, menghidupkan malam yang dilakukan oleh beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan adalah dengan mengerjakan shalat malam dan macam-macam ibadah lainnya (bukan hanya shalat malam), sedangkan yang dinafikan oleh hadits riwayat Muslim ini adalah menghidupkan malam sepenuhnya dengan ibadah shalat saja. Wallaahu a'lam.

Di antara hal yang menunjukkan keutamaan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dari hadits-hadits di atas adalah bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membangunkan keluarga beliau pada malam-malam tersebut untuk mengerjakan shalat dan berdzikir, didorong oleh keinginan keras beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk memanfaatkan malam-mlam yng penuh berkah itu dengan segala bentuk ibadah. Sebab, ia merupakan kesempatan umur dan ghanimah bagi siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Maka tidak sepantasnya jika seorang mukmin yang cerdik dan berakal membuang kesempatan yang berharga ini untuk dirinya maupun keluarganya. Bukankah malam-malam penuh berkah ini hanya berlangsung beberapa malam, dimana pada saat itu manusia akan memperoleh anugerah dari Allah sehingga yang menjadikannya berbahagia di dunia dan akhirat? Sungguh merupakan kerugian yang besar jika kaum muslimin menghabiskan waktu-waktu yang sangat berharga ini untuk sesuatu yang tidak berguna. Mereka begadang menghabiskan waktu malam untuk permainan batil, akibatnya ketika waktu mengerjakan shalat malam tiba, mereka mulai tidur yang mengakibatkan mereka kehilangan kebaikan yang sangat banyak. Padahal, bisa saja mereka tidak bertemu lagi dengan malam-malam penuh berkah ini pada tahun mendatang. Ini merupakan bagian dari bentuk permainan dan tipu daya yang dilancarkan oleh setan terhadap mereka, serta tindakan setan untuk menghalangi mereka dari jalan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan penyesatan terhadap mereka. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat." (QS. Al-Hijr (15): 42)

Orang yang berakal tentu tidak akan mau menjadikan setan sebagai wali selain Allah, padahal ia tahu bahwa setan itu selalu memusuhinya, tindakan seperti itu bertentangan dengan akal sehat dan keimanannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Kahfi (18): 50)

"Sungguh setan itu musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuhmu. Sesungguhnya setan itu mengajak golongannya supaya menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala." (QS. Fathir (35): 6)

Di antara keistimewaan sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan ini adalah bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengerjakan i'tikaf di dalamnya. I'tikaf adalah menetap di dalam masjid dengan memanfaatkan waktu sepenuhnya untuk melakukan ketaatan (ibadah) kepada Allah. I'tikaf merupakan bagian dari ibadah sunnah yang didasarkan pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah (2): 187)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan para Shahabat radhiyallaahu 'anhum melaksanakan i'tikaf, begitu juga kaum muslimin sesudah mereka. Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kemudian beri'tikaf sepuluh hari di tengah bulan Ramadhan, sesudah itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya aku beri'tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan untuk mencari malam ini (lailatul qadr). Kemudian aku beri'tikaf sepuluh pertengahan bulan Ramadhan, kemudian aku diberi wahyu oleh Allah, lalu dikatakan kepadaku: 'Sesungguhnya ia (lailatul qadr) ada pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.' Maka dari itu, siapa saja di antara kalian yang ingin beri'tikaf silakan melakukannya." (HR. Muslim)

Dalam Shahiihain diriwayatkan hadits dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Sesudah itu, isteri-isteri beliau beri'tikaf pula sepeninggal beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam."

Dalam Shahiih al-Bukhari disebutkan pula riwayat dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengerjakan i'tikaf pada setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah selama setahun tidak melakukan i'tikaf. Maka, ketika tahun berikutnya tiba, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam beri'tikaf dua puluh hari."

Diriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata: "Jika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ingin mengerjakan i'tikaf, maka beliau mengerjakan shalat fajar (Shubuh), kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke tempat, i'tikaf." Lantas 'Aisyah meminta izin kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam (untuk turut beri'tikaf), beliau pun mengizinkannya, lalu 'Aisyah mendirikan tenda. Selanjutnya Hafshah radhiyallaahu 'anha meminta kepada 'Aisyah agar memintakan izin untuknya, lalu 'Aisyah melakukannya, dan selanjutnya Hafshah mendirikan tenda. Ketika Zainab radhiyallaahu 'anha melihat hal itu, maka ia pun melakukan hal yang sama. Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihat adanya beberapa tenda, maka beliau bersabda: "Apa-apaan ini?!" Orang-orang menjawab: "Ini adalah tenda milik 'Aisyah, Hafshah dan Zainab." Selanjutnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah mereka menginginkan kebaikan dengan melakukan hal ini?! Cabut tenda ini, aku tidak mau melihatnya." Akhirnya beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencabut tenda itu, dan meninggalkan i'tikaf di bulan Ramadhan, sehingga akhirnya beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengganti dengan i'tikaf selama sepuluh hari di bulan Syawwal."
(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi serta dishahihkan olehnya)

Yang dimaksud dengan i'tikaf adalah memutus hubungan dengan manusia lain untuk memfokuskan diri sepenuhnya untuk melakukan ketaatan (beribadah) di dalam masjid demi mencari keutamaan dan pahalanya, serta demi mendapatkan Lailatul Qadr. Oleh karena itu hendaknya orang yang beri'tikaf menyibukkan diri dengan berdzikir, membaca al-Qur-an, shalat, dan ibadah-ibadah yang lain. Di samping itu juga, ia harus menjauhi segala sesuatu yang tidak berguna yang berupa pembicaraan mengenai masalah keduniaan. Tapi tidak mengapa jika berbicara sedikit saja mengenai hal yang mubah dengan keluarganya atau orang lain untuk suatu kemaslahatan. Ini didasarkan pada hadits Shafiyah Ummul Mukminin radhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata:

"Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang melakukan i'tikaf, aku datang mengunjunginya pada malam hari, lalu aku berbicara kepad beliau kemudian aku bangun untuk beranjak pergi, dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun turut berdiri menyertaiku."
(Mutafaq 'alaih)

Orang yang sedang i'tikaf diharamkan berjima' dan melakukan hal-hal yang menjadi pengantar jima', seperti mengecup dan menyentuh dengan syahwat. Dasarnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah (2): 187)

Adapun mengeluarkan sebagian anggota badan keluar masjid, maka tidak mengapa. Dasarnya adalah hadits 'Aisyah bahwa ia berkata:

"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengeluarkan kepalanya dari masjid, sedangkan beliau ketika itu sedang beri'tikaf, lalu aku bersihkan kepala beliau padahal aku sedang haidh." (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Aisyah pernah menyisir rambut beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, padahal ketika itu 'Aisyah sedang haidh, sedangkan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang beri'tikaf di masjid. Ketika itu 'Aisyah berada di biliknya, sementara Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjulurkan kepada beliau kepada 'Aisyah."

Namun jika yang keluar masjid itu adalah seluruh anggota badannya, maka dalam hal ini ada beberapa kategori:

Pertama, keluar masjid untuk kepentingan yang harus dilakukan, baik secara alami maupun syar'i, seperti buang hajat, wudhu' wajib (ketika hendak shalat), mandi wajib karena junub atau sebab lainnya, makan dan minum. Yang demikian ini adalah boleh jika hal itu tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Akan tetapi jika kesemuanya itu bisa dilakukan di dalam masjid, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan. Misalnya jika di dalam masjid ada toilet dan kamar mandi, yang memungkinkan bagi setiap orang untuk memenuhi hajatnya dan bisa mandi di sana, atau ada orang yang membawakan makanan dan minuman. Dalam keadaan seperti ini ia tidak boleh keluar dari masjid karena tidak ada kepentingan lagi untuk itu.

Kedua, keluar dari masjid untuk melakukan amal ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti mengunjungi orang sakit, menghadiri jenazah dan semisalnya. Hal semacam ini tidak boleh mereka lakukan, kecuali jika sejak awal i'tikafnya ia memang mensyaratkan seperti itu. Umpamanya ia punya keluarga yang sedang sakit yang wajib ia jenguk atau khawatir bila ia meninggal, lalu ia mensyaratkan sejak awal i'tikafnya bahwa ia akan keluar dari masjid untuk kepentingan itu. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak mengapa jika ia keluar dari masjid untuk kepentingan tersebut.

Ketiga, keluar dari masjid untuk urusan yang menafikan i'tikaf itu sendiri, seperti keluar untuk berdagang, untuk berjima' dengan isteri-isterinya atau untuk bercumbu dengan mereka dan semisalnya. Hal semacam ini tidak boleh mereka lakukan, baik dengan syarat sebelumnya maupun tidak. Sebab, ini semua membatalkan i'tikaf dan menafikan maksud dari i'tikaf itu sendiri.

Di antara keistimewaan lain dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini adalah bahwa di dalamnya terdapat Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Karena itu ketahuilah bahwa sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan ini mempunyai keutamaan yang sangat besar, sehingga jangan sampai kalian menyia-nyiakannya. Waktunya sangat berharga dan kebaikannya sangat nyata.

Ya Allah, tunjukkan kami kepada sesuatu yang memberikan kebaikan bagi agama dan dunia kami, jadikanlah kesudahan itu baik, dan muliakanlah hunian kami. Berilah kami ampunan, juga kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai Dzat sebaik-baik pemberi rahmat.

Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, serta kepada keluarga dan para Shahabat seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.