Friday 9 June 2017

Kajian Kedua Puluh Sembilan | Taubat | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kedua Puluh Sembilan.

Taubat.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan bukti yang jelas kepada setiap makhluk mengenai keesaan-Nya. Dia mengatur hamba-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki dengan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya. Dia memilih orang-orang yang bertakwa lalu memberikan keamanan dan keimanan kepada mereka. Dengan kemurahan dan rahmat-Nya, Dia juga memberikan maaf dan ampunan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Allah tidaklah memutus rezeki orang yang bermaksiat kepada-Nya sekalipun sebagai bentuk kedermawanan dan karunia dari-Nya. Allah menghibur orang-orang yang ikhlas dengan kedekatan dengan-Nya. Allah memberikan ancaman mengenai hari Hisab dengan adanya kesulitan yang sangat besar bagi orang-orang yang ingkar. Dia selalu menjaga orang yang berjalan menuju ridha-Nya. Dia memuliakan orang yang beriman dengan menetapkan keimanan di dalam kalbunya. Dia mengambil kebijakan berdasarkan hikmah-Nya dengan memberikan perintah dan larangan, membangunkan orang yang lengah dan lalai dengan cara memberikan nasihat dan petuah serta menyeru orang yang berdosa agar mau bertaubat untuk mendapatkan ampunan atas dosanya. Dia adalah Rabb Agung yang tidak akan bisa disamai oleh makhluk-Nya. Dia Mahakuasa dan Mahamulia, tidak butuh makan atau minum. Sementara itu para makhluk selalu membutuhkan-Nya dan terpaksa harus mendapatkan rahmat-Nya siang dan malam.

Aku memuji Allah dengan pujian yang layak diberikan oleh seorang hamba kepada Rabbnya serta memohon maaf kepada-Nya atas segala kekurangan dan dosa. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan kesaksian dari seorang yang ikhlas dari dalam hatinya. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang dipilih di antara 'golongan'-Nya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada Abu Bakar, sebaik-baik Shahabat beliau, kepada 'Umar yang ditakuti oleh setan, kepada 'Utsman yang syahid di luar barisan perang, kepada 'Ali yang senantiasa membantu beliau dalam perang, serta kepada keluarga, para Shahabat serta siapa saja yang mengambil petunjuk beliau hingga hari Kiamat.

Saudara sekalian, akhirilah bulan Ramadhan ini dengan bertaubat kepada Allah dari bermaksiat terhadap-Nya, dan dengan kembali kepada-Nya dengan cara mengerjakan segala amalan yang diridhai oleh-Nya. Sebab, yang namanya manusia itu selalu saja tidak lepas dari tindak kesalahan dan kekurangan. Setiap anak keturunan Adam suka berbuat salah, namun sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala di dalam Kitab-Nya, dan juga Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya, telah memberikan dorongan agar kita senantiasa memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscay Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat." (QS. Hud (11): 3)

"Katakanlah: 'Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya." (QS. Fushshilat (41): 6)

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur (24): 31)

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. At-Tahrim (66): 8)

Juga firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala:

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah (2): 222)

Ayat-ayat lain yang menyebutkan tentang taubat masih banyak sekali.

Sedangkan hadits-hadits yang membicarakan taubat, di antaranya adalah:

Dari al-Aghar bin Yasar al-Muzani diriwayatkan bahwa ia berkata: Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah ampunan kepada-Nya, karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari seratus kali." (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari seratus kali." (HR. Al-Bukhari)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah sungguh jauh lebih senang dengan taubat seorang hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada senangnya salah seorang di antara kalian yang sedang berada di atas hewan tunggangannya di sebuah padang sahara, lalu hewan tunggangannya itu terlepas darinya, padahal makanan dan minumannya ada di atas hewan tunggangannya, turut terbawa lari sehingga ia pun sudah putus asa. Lalu ia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawah lindungan pohon itu, sementara itu ia sudah putus harapan dari mendapatkan kembali hewan tunggangannya. Pada saat ia dalam keadaan demikian, (kemudian terjaga dari tidurnya) tiba-tiba hewan tunggangannya itu ternyata berada di sisinya, lalu ia segera mengambil kendalinya, dan karena kegirangan ia berkata: 'Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhanmu.' Ia sampai salah ucap disebabkan karena kegembiraannya (mendapatkan kembali hewan tunggangannya)." (HR. Muslim)

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala merasa sangat senang dengan taubat hamba-Nya karena kecintaan Allah kepada untuk menerima taubat dan memberi maaf serta kecintaan-Nya akan kembalinya hamba-Nya kepada-Nya setelah sempat meninggalkan diri dari-Nya. Diriwayatkan dari Anas dan Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhum bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Seandainya anak Adam punya satu lembah dari emas, maka ia tentu menginginkan punya dua lembah emas. Tidak akan ada yang bisa mengisi penuh mulutnya kecuali tanah, dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat kepada-Nya." (Mutafaq 'alaih)

Yang disebut taubat adalah kembali dari bermaksiat kepada Allah (meninggalkan kemaksiatan) menuju taat kepada-Nya, karena hanya Allah-lah yang wajib diibadahi. Sedangkan hakikat ubudiyah adalah ketundukan dan kepatuhan kepada yang disembah karena dorongan cinta dan pengagungan (mahabbah dan ta'zhim). Jika seorang hamba lepas dari ketaatan kepada Allah, maka cara bertaubatnya adalah dengan kembali kepada-Nya dan berdiri di hadapan-Nya layaknya orang yang membutuhkan, hina, takut dan pasrah di hadapan-Nya.

Taubat itu wajib dilakukan seketika, dan tidak boleh diundur-undur atau menunggu nanti dan nanti. Sebab, Allah Sub-haanahu wa Ta'aala maupun Rasul-Nya telah memerintahkan hal itu, sedangkan perintah Allah dan Rasul-Nya haruslah dilaksanakan seketika dan sesegera mungkin. Sebab, seorang hamba tidaklah tahu apa yang akan menimpa dirinya bila ia sampai mengulur-ulurkannya. Boleh jadi tiba-tiba kematian menjemputnya sehingga ia tidak lagi bisa bertaubat. Sebab, tindakan terus-menerus berbuat maksiat itu akan menjadikan pelakunya terbiasa melakukan hal seperti itu dan bahkan tergantung kepadanya. Seseorang itu jika telah terbiasa melakukan sesuatu, maka ia akan sulit meninggalkannya, dan ketika itu akan menjadi sulit pula untuk melepaskan diri dari berbuat maksiat. Di situlah setan membukakan pintu-pintu kemaksiatan lain yang jauh lebih besar dari yang telah dilakukannya sebelumnya. Oleh karena itu para ulama dan para tokoh pemerhati kesucian hati mengatakan: "Sesungguhnya kemaksiatan-kemaksiatan itu merupakan pos kekufuran, dimana manusia berpindah di dalamnya dari satu tahap menuju tahap berikutnya sampai akhirnya ia menyimpang dari agamanya seutuhnya. Kita mohon keselamatan kepada Allah."

Syarat-syarat Taubat Nashuh

Taubat yang diperintahkan oleh Allah Sub-haanahu wa Ta'aala adalah taubat nashuh, yaitu taubat yang memenuhi lima syarat taubat.

Syarat pertama: Taubat itu harus dilakukan secara ikhlash (murni) karena Allah Sub-haanahu wa Ta'aala, dimana yang mendorong taubat itu adalah kecintaan kepada Allah, pengagungan kepada-Nya, mengharap pahala dari-Nya, dan takut kepada siksa-Nya. Dengan taubatnya itu ia sama sekali tidak mengharapkan sesuatu pun dari keuntungan dunia dan juga tidak untuk mendekatkan diri atau menjilat di hadapan para makhluk. Jika ia menginginkan hal yang kedua ini, maka taubatnya tidak bisa diterima, karena sebenarnya ia tidak bertaubat kepada Allah akan tetapi bertaubat kepada tujuan yang ingin ia capai.

Syarat kedua: Menyesali dan sedih atas perbuatan dosa yang telah dilakukannya di masa lalu dengan harapan kiranya hal itu tidak pernah terulang kembali. Penyesalan seperti ini dimaksudkan sebagai bentuk kembali kepada Allah, tunduk pasrah di hadapan-Nya, dan mencaci nafsunya sendiri yang telah menyuruh dirinya melakukan perbuatan dosa. Dengan demikian, taubat yang dilakukannya adalah berakar dari keyakinan dan pengetahuan.

Syarat ketiga: Menanggalkan diri seketika itu pula dari perbuatan maksiat. Jika kemaksiatan itu berupa tindakan melakukan hal yang diharamkan, maka ia harus meninggalkannya seketika itu. Jika kemaksiatan yang dilakukannya adalah dalam bentuk meninggalkan kewajiban, maka ia harus melaksanakan kewajiban yang telah ditinggalkannya seketika itu pula jika kewajiban yang ditinggalkannya itu bisa atau boleh diqadha, seperti zakat dan haji. Taubat itu tidaklah sah bila pelakunya masih saja terus melakukan kemaksiatan. Jika ada seseorang yang menyatakan bertaubat dari riba, namun ternyata ia masih saja bergelut dengannya, maka taubatnya tidaklah sah, dan apa yang dilakukannya itu tidak lain merupakan bentuk permainan, olokan terhadap Allah dan ayat-ayat-Nya yang justru akan semakin menambah kejauhan dari Allah. Jika ia bertaubat dari meninggalkan shalat berjama'ah, namun ternyata ia masih saja meninggalkan shalat berjama'ah, maka taubatnya tidak sah.

Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan hak-hak sesama makhluk, maka taubatnya tidak akan sah kecuali terlebih dahulu ia harus melepaskan diri dari hak-hak tersebut. Jika kemaksiatannya itu dalam bentuk mengambil harta milik orang lain, maka taubatnya tidak akan sah sehingga ia memberikan kembali harta itu kepada pemiliknya jika pemiliknya masih hidup atau kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal. Jika ia tidak mempunyai ahli waris, maka ia bisa memberikannya kepada Baitul Mal. Jika ia tidak mengetahui siapa pemilik harta itu, maka ia bisa menyedekahkannya. Hanya Allah Sub-haanahu wa Ta'aala yang mengetahuinya. Jika kemaksiatan yang dilakukannya adalah mengghibah (menggunjing, -ed) seorang Muslim, maka ia wajib meminta kehalalan dan maaf darinya jika orang itu telah mengetahui ghibah yang dilakukannya terhadap dirinya, atau jika ia khawatir orang itu sampai mengetahuinya. Jika tidak, maka caranya adalah dengan memohonkan ampunan untuk orang tersebut dan memberikan sanjungan dengan sifat-sifatnya yang terpuji di dalam majelis dan pertemuan dimana ia pernah mengghibahnya, karena sesungguhnya amalan-amalan baik itu bisa menghapus amalan-amalan yang buruk.

Tetap dianggap sah bertaubat dari satu dosa, sekalipun masih melakukan tindakan dosa dalam bentuk yang lain. Sebab, amalan itu berjenjang-jenjang, dan iman pun bertingkat-tingkat. Akan tetapi ia tidak bisa menyifati taubat secara mutlak. Orang-orang yang bertaubat secara umum tidak berhak menyandang sifat-sifat yang terpuji dan kedudukan-kedudukan yang tingga sehingga ia benar-benar bertaubat kepada Allah dari segala dosa.

Syarat keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi kembali kemaksiatan di masa berikutnya. Sebab, tekad seperti ini merupakan buah dari taubat dan bukti dari kesungguhan orang yang bertaubat. Jika ada orang yang bertaubat dan ia punya tekad atau bimbang di dalam melakukan kemaksiatan di suatu hari, maka taubatnya tidaklah sah. Karena ini merupakan taubat yang bersifat sementara dimana pelakunya menanti kesempatan yang tepat dan juga tidak menunjukkan kebenciannya untuk melakukan kemaksiatan dan pelarian dirinya dari kemaksiatan itu menuju ketaatan kepada Allah Sub-haanahu wa Ta'aala.

Syarat kelima: Taubat itu tidak dilakukan setelah berakhirnya masa penerimaan taubat. Jika hal itu dilakukan setelah berakhirnya waktu penerimaan taubat, maka taubatnya tidak bisa diterima. Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua jenis: yang bersifat umum bagi setiap orang, dan yang bersifat khusus bagi setiap pribadi itu sendiri.

Yang bersifat umum adalah jika matahari terbit dari tempat terbenamnya. Jika matahari telah terbit dari tempat terbenamnya, maka taubatnya tidak bisa diterima lagi. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya." (QS. Al-An'am (6): 158)

Yang dimaksud dengan 'sebagian ayat' itu adalah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya. Hal ini ditafsirkan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Amru bin Ash ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Taubat masih akan tetap diterima sehingga matahari itu terbit dari tempat terbenamnya. Jika ia telah terbit dari tempat terbenamnya maka setiap hati dicap sesuai dengan yang ada ketika itu, dan cukup sampai di situlah amalan yang bisa dilakukan oleh manusia."

Ibnu Katsir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya, maka Allah akan menerima taubatnya." (HR. Muslim)

Sedang yang bersifat khusus adalah ketika ajal tiba. Jika ajal seseorang telah tiba, dan ia telah melihat kematian itu telah menjemputnya, maka taubatnya tidak akan berguna dan tidak bisa diterima. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: 'Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.'" (QS. An-Nisa' (4): 18)

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bin al-Khaththab ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah menerima taubat setiap hamba selama belum sekarat." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan)

Jika taubat yang dilakukan oleh seorang hamba itu sah dan bisa diterima karena telah memenuhi syarat-syaratnya, maka Allah pun menghapuskan dosa yang dilakukan oleh hamba-Nya dan memberikan ampunan kepadanya, sekalipun barangkali dosa itu besar. "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar (39): 35)

Ayat ini berbicara mengenai orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka serta pasrah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' (4): 110)

Oleh karena itu, semoga Allah merahmati umur kalian, bersegeralah untuk melakukan taubat yang tulus kepada Rabb kalian sebelum kematian tiba-tiba datang menghampiri lalu kalian tidak lagi bisa melepaskan diri darinya.

Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk melaksanakan taubat yang sebenar-benarnya yang akan menghabiskan dosa-dosa kami sebelumnya. Mudahkanlah kami kepada jalan yang mudah dan jauhkanlah kami dari yang sulit. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum Muslimin di dunia dan akhirat, dengan rahmat-Mu, wahai sebaik-baik yang memberi rahmat. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad serta kepada keluarga dan para Shahabat seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.