Saturday 3 June 2017

Kajian Kelima Belas | Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kelima Belas.

Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa.

Segala puji bagi Allah yang Maha Bijaksana, Maha Pencipta, Mahaagung, Maha Penyantun, Maha Benar, Maha Penyayang, Mahamulia, dan Maha Pemberi rezeki. Ia telah mengangkat tujuh langit tanpa penyangga, meneguhkan bumi dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, mengenalkan kepada makhluk-Nya dengan berbagai bukti nyata, menjamin rezeki kepada semua makhluk, menciptakan manusia dari air yang menyembur lalu membuatkan syari'at untuknya untuk menyambung hubungan serta memberikan maaf kepadanya atas kesalahan dan kelupaan dalam hal yang tidak sejalan dengannya.

Aku memuji Allah selamanya, dan aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali hanya Allah yang tak bersekutu dengan persaksian orang yang ikhlas dan bukan sperti persaksian orang munafik. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang membawa dakwah ke seluruh penjuru yang dekat maupun yang jauh.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad, kepada shahabat dekat beliau, Abu Bakar, yang telah melawan kaum murtad dengan gigih, kepada 'Umar yang membuat pusing orang-orang kafir serta yang telah membuka berbagai pintu yang tertutup, kepada 'Utsman, dimana tidak ada yang menghalalkan darahnya kecuali orang yang telah keluar dari agama, kepada 'Ali yang dengan keberaniannya mau menempuh jalan sempit, serta kepada keluarga dan para shahabat beliau yang masing-masing lebih unggul dari kaum selain mereka.

Hal-hal yang membatalkan puasa di atas, selain haidh dan nifas, yaitu jima', keluarnya mani dengan sengaja, makan dan minum serta hal yang semakna dengannya, berbekam serta muntah, tidak membatalkan puasa seseorang kecuali jika dilakukan dalam keadaan mengetahui, ingat dan sengaja. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiga syarat tersebut:

Syarat pertama, mengetahui.

Jika ia tidak mengetahuinya, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Dasarnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 286). Allah berfirman: "Aku telah mengabulkannya." (34)

Juga firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qur-an Surat al-Ahzab (33): ayat 5)

Ketidaktahuan ini bisa mengenai hukum syar'i, seperti menyangka bahwa sesuatu itu tidak membatalkan puasa sehingga ia melakukannya, atau bisa juga ketidaktahuan mengenai keadaan dan waktu, seperti mengira bahwa fajar belum terbit lalu ia makan, padahal sebenarnya fajar sudah terbit, atau menyangka bahwa matahari sudah terbenam sehingga ia pun berbuka puasa padahal sebenarnya matahari belum terbenam. Hal seperti ini tidak membatalkan puasa.

Dasarnya adalah hadits yang disebutkan dalam kitab Shahihain dari Abi bin Hatim radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: Ketika turun ayat: "Sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 187), maka aku menyiapkan dua buah ikat kepala, salah satunya berwarna hitam dan satunya lagi berwarna putih. Aku letakkan keduanya di bawah bantal untuk kemudian aku lihat, jika sudah jelas olehku yang putih dari yang hitam, maka aku pun mulai berpuasa. Di pagi harinya aku berangkat menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu aku ceritakan apa yang semalam aku lakukan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda: "Sesungguhnya bantalmu tentu sangat lebar jika dikiranya yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam itu adalah bantalmu. Sebenarnya yang dimaksudkan adalah putihnya siang dan hitam (gelap)nya malam.l

Adi masih makan ketika fajar sudah terbit, dan ia belum juga menahan makan minum (mulai berpuasa) sehingga menjadi terlihat dengan jelas baginya kedua benang itu. Namun Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak menyuruhnya untuk mengqadha puasanya, karena apa yang dilakukan oleh Adi adalah karena ketidaktahuannya mengenai hukum.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari disebutkan hadits dari Asma binti Abu Bakar radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Kami berbuka di zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika hari sedang mendung, kemudian terbitlah matahari."

Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqadha puasa, karena mereka melakukan hal itu karena ketidaktahuan mereka mengenai waktu. Seandainya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqadhanya, sudah tentu terdapat riwayat mengenai hal itu, karena begitu pentingnya persoalan ini.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah Haqiqatush Shiyam mengatakan: "Hisyam bin Urwah, salah seorang perawi hadits, meriwayatkan dari ayahnya, yaitu Urwah, bahwa mereka itu tidak diperintah untuk mengqadha puasa."

Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa ternyata memang masih siang, dan matahari pun belum terbenam, maka ia harus menahan diri sehingga matahari benar-benar terbenam.

Hal yang sama juga berlaku jika ia makan sesudah terbit matahari dengan keyakinan bahwa fajar belum terbit, lalu sesudah itu ternyata sudah terbit, maka puasanya tetap sah dan tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya. Sebab, hal itu dilakukannya karena tidak tahu mengenai waktu. Allah membolehkan makan dan minum serta jima' sehingga jelas bagi seseorang bahwa fajar sudah terbit. Hal mudah yang dibolehkan itu tidak mengharuskan pelakunya untuk mengqadha. Akan tetapi jika ia kemudian tahu, padahal ia sedang makan atau minum, bahwa matahari belum terbenam atau fajar telah terbit, maka ia harus menghentikannya dan mengeluarkan makanan yang sudah ada dalam mulutnya karena sudah tidak ada alasan (udzur) lagi ketika itu.

Jika seseorang itu lupa, maka puasanya tetap sah dan ia tidak punya kewajiban untuk mengqadhanya berdasarkan ayat dalam surat al-Baqarah di atas. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:

"Siapa saja yang lupa ketika sedang menjalankan puasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya. Karena sebenarnya Allah lah yang memberinya makan dan minum." (Mutafaq 'alaih, sedangkan lafalnya milik Imam Muslim)

Perintah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk menyempurnakan puasa ini merupakan dalil mengenai sahnya puasa yang dilakukan oleh orang tersebut, sedangkan penyandaran pemberian makan dan minum kepada orang yang lupa itu kepada Allah merupakan dalil bahwa ia tidak akan dihukum atas apa yang dilakukannya itu. Akan tetapi manakala ia ingat atau diingatkan, ia harus menghentikannya dan mengeluarkannya dari mulutnya karena ketika itu sudah tidak ada lagi udzur. Orang yang melihat orang yang sedang berpuasa sedang makan atau minum karena hal di atas, maka ia wajib mengingatkannya berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Tolong menolonglah untuk melakukan kebajikan dan ketakwaan." (Qur-an Surat al-Ma-idah (5): ayat 5)

Syarat ketiga, sengaja.

Maksudnya, ia melakukan hal yang membatalkan puasa di atas dalam keadaan sadar dan disengaja berdasarkan kehendaknya. Jika ia makan dalam keadaan dipaksa, maka puasanya tetap sah, dan ia tidak punya kewajiban untuk mengqadha. Sebab, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mengangkat hukum dari orang yang kufur sekalipun jika dalam keadaan dipaksa, asalkan hatinya tetap beriman. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar." (Qur-an Surat an-Nahl (16): ayat 106)

Jika Allah berkenan mengangkat hukum kufur dari orang yang dipaksa untuk kufur, maka untuk perkara yang lebih rendah lagi tentunya lebih tidak menjadi persoalan. Di samping itu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:

"Sesungguhnya Allah memaafkan dari ummatku ketersalahan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan terhadap mereka." (Hadits Riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam al-Baihaqi serta dihasankan oleh Imam an-Nawawi)

Maka jikalau ada seseorang yang memaksa isterinya untuk melayaninya bersetubuh sedangkan wanita itu sedang berpuasa, maka puasanya tetap sah. Kecuali jika puasa yang dikerjakannya adalah puasa sunnah tanpa izin suaminya, sedangkan sang suami ada di rumah. Jika misalnya ada debu yang terbang lalu masuk ke dalam perut orang yang sedang berpuasa, atau jika ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya tanpa ia sengaja, atau jika ia berkumur atau beristinsyaq (menghirup air dengan hidung) dan kemudian air itu masuk ke dalam perutnya tanpa ia sengaja, maka puasanya tetap sah, dan ia tidak berkewajiban untuk mengqadhanya.

Puasanya seseorang tidaklah batal jika ia mengenakan celak atau obat mata, sekalipun ia merasakan adanya rasa di tenggorokannya. Sebab, hal itu tidak bisa dikatakan makan atau minum atau sesuatu yang semakna dengan keduanya. Puasanya juga tidak batal karena meneteskan obat pada hidungnya, atau meletakkan obat pada bagian tubuh yang luka, sekalipun ia merasakan rasa obat itu di tenggorokannya. Sebab, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai makan dan minum atau sesuatu yang semakna dengan keduanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalah Haqiqatush Shiyam mengatakan: "Kami mengetahui bahwa di dalam Kitab dan Sunnah tidak ada sesuatu yang menunjukkan batalnya puasa oleh sebab-sebab seperti ini. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa ini semua tidak bisa membatalkan puasa." Beliau selanjutnya mengatakan: "Puasa merupakan bagian dari ajaran agama kaum muslimin yang perlu dimengerti oleh kalangan khusus (orang 'alim) maupun awam. Jika hal-hal seperti termasuk bagian yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dalam puasa dan menyebabkan rusaknya puasa seseorang, maka sudah tentu hal ini wajib dijelaskan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam (dan ternyata tidak). Seandainya hal itu disebutkan dalam hadits, maka para shahabat radhiyallaahu 'anhum tentu mengetahui dan kemudian menyampaikannya kepada ummat sebagaimana mereka telah menyampaikan seluruh syari'at lainnya. Mengingat bahwa tidak ada seorang 'ulama pun yang membawakan riwayat mengenai hal itu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, baik melalui hadits yang shahih, atau dha'if, atau musnad, atau mursal, maka dapat diketahui bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan hal itu sama sekali. Hadits yang diriwayatkan mengenai pemakaian celak, yaitu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengatakan: "Hendaklah orang yang berpuasa itu berhati-hati dari mengenakan celak." Adalah hadits dha'if yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab as-Sunan, dan tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya, Abu Dawud sendiri mengatakan: Yahya bin Ma'in berkata kepadaku bahwa hadits ini munkar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Hukum-hukum yang sangat dibutuhkan oleh ummat untuk diketahui sudah tentu harus dijelaskan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan penjelasan secara umum dan juga mesti diriwayatkan oleh ummat Islam (para 'ulama hadits). Jika hal ini tidak ada, maka dapat diketahui bahwa ini bukan merupakan bagian dari agama beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam."

Demikianlah penjelasan yang diberikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah yang merupakan pendapat yang sangat kuat yang didasarkan pada hujjah-hujjah yang jelas serta kaidah-kaidah yang tetap.

Merasakan makanan tidak membatalkan puasa, asalkan tidak menelannya, demikian juga mencium parfum atau wewangian yang dibakar (dupa). Namun demikian jangan sampai menyedot asap dupa karena hal itu merupakan bagian-bagian tertentu yang barangkali bisa sampai ke dalam lambung. Demikian juga berkumur dan beristinsyaq (menghirup air dengan hidung lalu mengeluarkannya lagi) tidak bisa membatalkan puasa, akan tetapi jangan sampai berlebihan dalam hal itu, karena bisa jadi air itu bisa masuk ke dalam lambung.

Diriwayatkan dari Laqith bin Shabarah radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sempurnakanlah wudhu, bersihkanlah sela-sela jemari serta bersungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali jika engkau sedang berpuasa." (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud, dan Imam an-Nasa-i serta dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah)

Menggunakan siwak juga tidak membatalkan puasa, bahkan ia merupakan sunnah jika dilakukan pada siang hari dan sore hari. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Kalau saja aku tidak khawatir akan memberatkan ummatku, sungguh akan aku suruh mereka untuk bersiwak pada setiap kali hendak mengerjakan shalat." (Hadits Riwayat al-Jama'ah)

Hadits ini bersifat umum yang berlaku juga bagi orang yang berpuasa kapan pun hal itu dilakukan. Amir bin Rabi'ah radhiyallaahu 'anhu berkata:

"Aku melihat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berulang kali sehingga aku tidak bisa menghitungnya bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam terus bersiwak sekalipun ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang puasa." (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam at-Tirmidzi) (35)

Namun tidak seyogianya orang yang berpuasa itu membersihkan giginya dengan menggunakan pasta gigi, karena pasti gigi itu mempunyai pengaruh yang sangat kuat dan dikhawatirkan bisa merembes bersama ludahnya ke dalam perut. Sedangkan siwak tidak demikian.

Orang yang berpuasa juga boleh melakukan sesuatu yang bisa meringankannya dari panas dan dahaga, seperti mengompres dengan air dan semisalnya. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Abu Dawud dari sebagian shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa mereka berkata:

"Aku pernah melihat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam di 'Urj (nama tempat) sedang menuangkan air di atas kepalan beliau padahal beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang berpuasa, untuk mengurangi rasa haus atau panas." (36)

Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma juga pernah membasahi bajunya lalu diletakkan di badannya, dan ketika itu ia sedang berpuasa. Sedangkan Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu memiliki sebuah batu besar yang berlubang seperti kawah. Jika ia merasakan panas, sekalipun ia sedang berpuasa, maka ia masuk ke dalamnya, sehingga seakan -wallaahu a'lam- ia terisi penuh oleh air.

Hasan berkata: "Orang yang sedang berpuasa dibolehkan berkumur dan mengompres." Atsar ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu'allaq.

Marilah kita memahami agama Allah agar kita bisa beribadah kepada Allah berdasarkan 'ilmu dan hujjah. Sungguh tidak sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Siapa saja yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah memahamkannya dalam urusan agama.

Ya Allah, pahamkan kami mengenai ajaran agama kami dan berikan kami petunjuk dan kemampuan untuk mengamalkannya. Teguhkanlah kami di atasnya, matikan kami dalam keadaan beriman, dan gabungkan kami kepada orang-orang yang shalih. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai Pemberi rahmat yang terbaik. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad, serta kepada keluarga dan para shahabat seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(34) Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

(35) Disebutkan oleh Imam al-Bukhari secara mu'allaq. Imam at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa sanadnya hasan.

(36) Hadits shahih.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.