Friday 9 June 2017

Kajian Ketiga Puluh | Penutup Bulan | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Ketiga Puluh.

Penutup Bulan.

Segala puji bagi Allah Yang Mahaluas, Mahaagung, Mahadermawan, dan Maha Penyayang. Allah menciptakan segala sesuatu dan menentukannya. Allah menurunkan syari'at dan memudahkannya. Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya." (QS. Yasin (36): 38-40)

Aku memuji Allah atas lindungan dan petunjuk yang diberikan oleh-Nya dan aku bersyukur kepada-Nya atas segala yang Dia berikan. Aku bersaksi bahwa tidak ada Yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, Raja Yang Mahatinggi. Dia adalah Yang Pertama sehingga tidak ada yang mendahului, Yang Terakhir sehingga tidak ada yang lebih akhir sesudah-Nya, Yang Zhahir sehingga tidak ada yang di atas-Nya, Yang Bathin sehingga tidak ada yang di bawah-Nya. Dia Mahatahu atas segala sesuatu. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang dipilih atas seluruh Rasul yang ada. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada Abu Bakar sebaik-baik Shahabat beliau yang senantiasa membenarkan beliau, kepada 'Umar yang terkenal dengan kekuatannya dalam membela agama, kepada 'Utsman yang terbunuh secara zhalim di tangan orang-orang yang jahat, kepada 'Ali yang paling dekat nasabnya dengan beliau, kepada seluruh keluarga dan para Shahabat serta Tabi'in yang senantiasa mengikuti beliau dengan baik hingga hari Kiamat.

Saudara sekalian, bulan Ramadhan hampir saja berlalu, dan ia akan menjadi saksi yang menguntungkanmu atau memberatkanmu atas amalan-amalan yang telah Engkau kerjakan. Jika yang dilakukan adalah amalan-amalan shalih, maka hendaklah ia memuji Allah atas hal itu dan hendaklah bergembira dengan pahala yang baik. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, siapa yang melakukan amalan yang buruk, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sesungguhnya, karena sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat kepada-Nya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala mensyari'atkan kepada kita di bagian penutup bulan Ramadhan ini berbagai macam ibadah yang akan semakin menambah kedekatan kita kepada Allah, akan semakin menambah kekuatan iman kita, dan akan menambahkan catatan amal kebajikan. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala mensyari'atkan zakat fitrah -telah kita bicarakan secara rinci pada bagian sebelumnya-, mensyari'atkan takbir pada saat sempurnanya puasa Ramadhan dimulai sejak terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri hingga menuju shalat Id. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah (2): 185)

Bacaan takbirnya adalah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allaahu Akbaru Allaahu Akbaru laa ilaaha illallaahu wallaahu Akbaru Allaahu Akbaru wa lillaahil hamdu
"Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tidak ada Yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Hanya bagi Allah segala puji."

Kaum laki-laki disunnahkan mengeraskan bacaan takbir di masjid, di pasar dan juga di rumah dalam rangka mengumandangkan pengagungan kepada Allah, menampakkan peribadahan kepada-Nya dan bersyukur kepada-Nya. Sedangkan kaum wanita cukup membacanya secara sembunyi, karena mereka memang diperintahkan menutup dan menyembunyikan suara. Betapa indah keadaannya manusia ketika mereka mengumandangkan takbir berisi pengagungan terhadap Allah dan memuliakan-Nya di setiap waktu dan tempat mengiringi berakhirnya bulan puasa mereka. Mereka memenuhi cakrawala dengan kumandang takbir, tahmid dan tahlil demi mengharap rahmat Allah dan takut akan adzab-Nya.

Allah juga mensyari'atkan kepada para hamba-Nya untuk menunaikan shalat Id pada hari raya Idul Fitri sebagai penutup kesempurnaan dzikir, mengingat dan menyebut nama Allah Sub-haanahu wa Ta'aala. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan ummat beliau untuk melakukan hal itu, baik dari kalangan kaum pria maupun wanita, dan perintah beliau adalah sesuatu yang harus ditaati. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." (QS. Muhammad (47): 33)

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita agar keluar untuk mengerjakan shalat Id, sekalipun sebenarnya rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka, namun selain untuk melaksanakan shalat Id.

Ini merupakan bukti, atau dalil, mengenai ditekankannya ibadah shalat Id. Ummu 'Athiyyah ra-dhiyallaahu 'anha berkata:

"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kamu untuk mengikutsertakan kaum wanita keluar di waktu Idul Fitri dan Idul Adha, termasuk kaum wanita yang masih gadis, wanita-wanita yang sedang haidh tidak usah mengerjakan shalat, namun cukup mendengarkan petuah kebaikan dan seruan (khutbah) untuk kaum Muslimin. Aku tanyakan kepada beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam: 'Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?' Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda: 'Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya'." (Mutafaq 'alaih)

Sebelum keluar menuju lapangan untuk mengerjakan shalat Id, disunnahkan makan terlebih dahulu beberapa biji kurma dalam jumlah ganjil, tiga atau lima biji atau lebih dari itu. Ini didasarkan pada hadits riwayat Anas ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa ia mengatakan:

"Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak berangkat untuk menunaikan shalat di hari raya Idul Fitri kecuali terlebih dahulu makan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil." (HR. Ahmad dan al-Bukhari)

Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, tidak mengendarai hewan tunggangannya, kecuali kalau ada udzur, seperti tidak mampu jalan atau tempatnya jauh. Dasarnya adalah perkataan 'Ali bin Abi Thalib ra-dhiyallaahu 'anhu:

"Termasuk dari Sunnah berangkat menuju tempat shalat Id dengan berjalan kaki." (HR. At-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan) (63)

Bagi kaum laki-laki disunnahkan mempertampan diri dan mengenakan baju terbaiknya. Dalam Shahih ak-Bukhari disebutkan riwayat dari 'Abdullah bin 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata: 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhu pernah membeli jubah yang terbuat dari sutera yang dijual di pasar, lalu ia membawanya ke hadapan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Ya Rasulullah, belilah jubah ini sehingga engkau bisa berdandan dengannya untuk keperluan hari raya dan kunjungan." Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun bersabda:

"Sesungguhnya ini adalah pakaian bagi orang yang tidak punya jatah akhirat."

Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda demikian itu karena baju jubah tersebut terbuat dari sutera. Kalau saja tidak sutera, maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tentu menyukainya. Sebab, orang laki-laki itu tidak dibolehkan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera atau emas. Keduanya sama-sama diharamkan bagi kaum pria dari ummat Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Sedangkan bagi kaum wanita diperkenankan keluar ke tempat shalat Id dengan berdandan rapi, akan tetapi tetap tidak boleh mengenakan wangi-wangian, tidak boleh bertabarruj, dan tidak boleh membuka kerudung. Sebab, kaum wanita diperintahkan untuk mengenakan penutup dan dilarang bertabarruj dengan mengenakan perhiasan dan dilarang mengenakan wangi-wangian ketika keluar rumah.

Amalan selanjutnya adalah mengerjakan shalat dengan penuh kekhusyuan dan kehadiran hati, memperbanyak dzikir dan memanjatkan do'a kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada adzab-Nya, mengingatkan dan menyadarkan diri dengan berkumpulnya ummat manusia di dalam shalat di masjid atau di lapangan bahwa mereka kelak juga akan dikumpulkan di hadapan Allah pada hari Kiamat, serta melihat adanya saling melebihi di antara sesama mereka, lalu dengan itu ia akan ingat adanya perbedaan keutamaan yang sangat besar di akhirat nanti. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya." (QS. Al-Isra' (17): 21)

Hendaklah masing-masing berbahagia dengan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepadanya karena masih mendapatkan bulan Ramadhan dan mengerjakan amalan yang bisa ia kerjakan di dalamnya, baik berupa shalat, puasa, membaca ayat suci al-Qur-an, sedekah serta berbagai jenis ketaatan lainnya yang lebih baik daripada dunia dan seisinya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "katakanlah: 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus (10): 58)

Puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat malam di dalamnya yang didasari dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah merupakan bagian dari hal-hal yang mendatangkan ampunan dari Allah atas dosa-dosa yang dilakukannya dan keterlepasan dari dosa. Setiap orang beriman tentu akan berbahagia jika ia mampu merampungkan puasa dan shalat malamnya, karena dengan begitu ia terselamatkan dari dosa. Sebaliknya, orang yang lemah imannya juga merasa senang dengan berakhirnya bulan Ramadhan, karena dengan berakhirnya bulan ini ia bisa terlepas dari beban melaksanakan puasa yang memang terasa berat baginya dan sesak dada karenanya. Perbedaan antara kedua rasa senang ini sangat jauh.

Saudara sekalian, sekalipun bulan Ramadhan telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan berakhir sebelum mati. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al-Hijr (15): 99)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali 'Imran (3): 102)

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seorang hamba meninggal dunia, maka amalannya terputus."

Maka jangan ada yang memutus amalan kecuali kematian. Jika bulan Ramadhan telah berlalu, maka seorang mukmin tidak akan terputus dalam melakukan ibadah puasa, karena sesungguhnya puasa itu masih terus disyari'atkan sepanjang tahun. Segala puji bagi Allah.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits yang berasal dari Abu Ayyub al-Anshari ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa yang mengerjakan puasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawwal, maka itu seperti puasa sepanjang masa (tahun)."

Demikian pula ada puasa tiga hari setiap bulannya. Mengenai hal itu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tiga hari (puasa) setiap bulan, puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, maka ini seperti puasa sepanjang zaman (tahun)." (HR. Ahmad dan Muslim)

Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu berkata: "Kekasihku Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan wasiat kepada dengan tiga hal... dan seterusnya," dan disebutkan di antaranya adalah mengerjakan puasa tiga hari setiap bulannya.

Yang paling utama, puasa tiga hari itu dilakukan pada 'hari-hari putih' (ayyamul bidh), yaitu tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas (hijriah). Dasarnya adalah hadits Abu Dzar ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai Abu Dzar, jika engkau mengerjakan puasa tiga hari setiap bulannya, maka kerjakanlah pada tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas." (HR. Ahmad dan an-Nasa-i dalam ash-Shahih)

Dalam Shahih Muslim disebutkan:

"Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai puasa Arafah, lalu beliau bersabda: 'Ia menghapuskan (dosa) tahun yang lalu dan tahun berikutnya.' Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa bulan 'Asyura, dan beliau bersabda: 'Ia menghapuskan (dosa) tahun lalu.' Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai puasa hari senin, dan beliau bersabda: 'Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diberi wahyu al-Qur-an.'"

Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: "Puasa apakah yang paling utama sesudah puasa Ramadhan?" Beliau bersabda:

"Puasa yang paling utama sesudah puasa bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram."

Dalam Shahihain disebutkan diriwayatkan hadits dari 'Aisyah ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berada di suatu bulan yang lebih banyak menjalankan puasanya melebihi pada bulan Sya'ban."

Dalam lafal yang lain disebutkan:

"Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam banyak menjalankan puasa pada bulan itu, dan jarang sekali beliau tidak berpuasa."

Diriwayatkan dari 'Aisyah ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam selalu berupaya menjalankan puasa Senin dan Kamis."

Hadits di atas diriwayatkan oleh lima Imam hadits, kecuali Abu Dawud. Namun lafal mirip dengan ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam hadits yang berasal dari Usamah bin Zaid ra-dhiyallaahu 'anhu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Amal perbuatan itu diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis, dan aku ingin bila amalanku ketika aku sedang melaksanakan puasa." (HR. At-Tirmidzi) (64)

Jika amalan shalat malam atau shalat tarawih di malam Ramadhan telah berlalu, maka ketahuilah bahwa shalat malam masih terus disyari'atkan pada setiap malam sepanjang tahun. Ini didasarkan pada amalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di samping itu didasarkan pada sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari Shahabat Mughirah bin Syu'bah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam biasa berdiri mengerjakan shalat hingga bengkak kedua telapak kaki beliau." Ketika ditanya mengenai hal itu, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidakkah selayaknya aku menjadi hamba yang pandai bersyukur."

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Salam ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kekerabatan, dan tunaikanlah shalat di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk Surga dengan kedamaian." (HR. At-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan shahih) (65)

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam."

Yang dinamakan shalat malam itu meliputi seluruh bentuk shalat sunnah dan shalat witir. Lebih lanjut mengenai shalat malam ini bisa dilihat pada bagian kajian keempat di depan.

Dalam Shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Rabb kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi turun setiap malam menuju langit dunia ketika waktu sepertiga akhir malam itu tiba. Allah kemudian berfirman: 'Siapa yang berdo'a kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku beri ampunan.'"

Di samping itu juga ada amalan shalat sunnah rawatib yang berjumlah total dua belas raka'at. Yaitu empat raka'at sebelum shalat Zhuhur, dua raka'at sesudahnya, dua raka'at sesudah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya, dua raka'at sebelum shalat Shubuh. Diriwayatkan dari Ummu Habibah ra-dhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat semata karena Allah pada setiap harinya dua belas raka'at dalam bentuk shalat sunnah dan bukan termasuk shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam Surga."

Dalam lafal yang lain disebutkan:

"Siapa yang mengerjakan shalat dua belas raka'at sehari semalam, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam Surga karenanya." (HR. Muslim)

Ada pula ibadah dzikir seusai mengerjakan shalat lima waktu. Allah sendiri yang memerintahkan hal ini di dalam Kitab-Nya, dan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun menyarankannya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring." (QS. An-Nisa' (4): 103)

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika usai mengucapkan salam (dalam shalat) maka beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca:

Allaahumma antas salaamu wa minkas salaamu tabaarakta yaa dzal-jalaali wal ikraam
Ya Allah Engkau as-Salam (kedamaian) dan hanya dari Engkaulah kedamaian itu. Engkau Mahasuci, wahai Dzat yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Siapa yang bertasbih setiap usai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali dan bertakbir tiga puluh tiga kali sehingga jumlah totalnya mencapai sembilan puluh sembilan kali, kemudian agar menjadi seratus disempurnakan dengan ucapan:

Laa ilaaha illallaahu wah dahu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir
Tidak ada Yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, segala kerajaan dan pujian hanya milik-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Maka kesalahan-kesalahannya diampuni (oleh Allah), sekalipun kesalahan itu sebanyak buih di lautan." (HR. Muslim)

Oleh karena itu marilah kita bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah dan menjauhi kesalahan-kesalahan dan dosa agar kita bisa beruntung dengan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang banyak sesudah mati. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl (16): 97)

Ya Allah, teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik, dan sertakan kami dengan orang-orang yang shalih. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga Allah Sub-haanahu wa Ta'aala senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, serta kepada keluarga dan para Shahabat beliau seluruhnya.

Sampai di sinilah apa yang ingin aku tuliskan mengenai topik-topik yang bertalian dengan Ramadhan. Kami memohon kepada Allah kiranya berkenan menjadikan amal ini sebagai amal yang ikhlas untuk mencari ridha Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta bisa mendatangkan kemanfaatan bagi para hamba-Nya. Semoga Allah memberikan perlindungan kepada kita di dunia dan akhirat serta memberikan petunjuk kepada kita kepada kebenaran dengan izin-Nya. Sesungguhnya Dia memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

29 Muharram 1396 H
Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga Allah Sub-haanahu wa Ta'aala senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, serta kepada keluarga dan para Shahabat beliau seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(63) Dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Harits bin A'war, dimana kebanyakan para hafizh melemahkannya, namun sebagian yang lain menguatkannya.

(64) Dha'if. Akan tetapi ia mempunyai syahid (hadits penguat) yang menguatkannya. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa amal perbuatan itu ditampakkan setiap hari Senin dan Kamis.

(65) Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad yang mempunyai banyak syahid yang mengangkatnya kepada derajat shahih.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.