Friday 9 June 2017

Hal-hal yang Membatalkan Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kelimabelas.

Hal-hal yang Membatalkan Puasa.

Ada banyak hal yang harus selalu dihindari oleh orang yang menjalankan ibadah puasa. Sebab, jika dia mengerjakannya pada siang hari di bulan Ramadhan, maka dapat membatalkan puasanya dan akan bertambah pula dosanya, yaitu sebagai berikut:

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (QS. Al-Baqarah: 187)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa puasa itu dari makan dan minum. Karenanya, jika orang yang menjalankan ibadah puasa minum, berarti dia sudah tidak lagi berpuasa (batal puasanya). Dan hal tersebut dikhususkan bagi orang yang sengaja meminumnya, karena jika orang yang berpuasa menjalankan hal tersebut karena lupa atau salah atau karena dipaksa, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.

Hal itu didasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika dia lupa lalu dia makan dan minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya." (119)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Sesungguhnya Allah memberi maaf kepada ummatku karena kesalahan dan lupa serta apa yang dipaksakan kepada mereka." (120)

2. Muntah dengan sengaja.

Sebab, orang yang muntah tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa muntah (tanpa sengaja), maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha'nya. Tetapi, barangsiapa sengaja muntah, maka wajib baginya mengqadha'." (121)

3. Haidh dan Nifas.

Jika seorang wanita sedang menjalani haidh atau nifas pada siang hari, baik di awal maupun di akhir waktu, berarti puasanya telah batal dan harus menggantinya. Dan jika dia tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bukankah jika dia (wanita) sedang haidh, dia tidak shalat dan juga tidak puasa?" Mereka menjawab: "Benar." Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Demikianlah kekurangan agamanya."

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan:

"Beberapa malam dia diam tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa pada bulan Ramadhan. Dan inilah kekurangan agamanya." (122)

Telah ada perintah untuk mengqadha' dalam hadits Mu'adzah, dimana dia bercerita, Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma), kataku: "Mengapa wanita yang haidh itu harus mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?" Dia bertanya, "Apakah engkau ini orang Haruriyyah (123)?" Aku pun menjawab: "Aku bukan seorang Haruriyyah, tetapi aku sekedar bertanya." 'Aisyah berkata: "Kami pernah mengalami hal tersebut, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat." (124)

4. Infus Makanan.

Yaitu pemberian zat makanan ke dalam usus dengan tujuan memberi makan kepada orang yang sedang sakit. Hal semacam ini dapat membatalkan puasa, karena ia merupakan proses pemasukan zat makanan ke dalam tubuh (125). Tetapi jika infus itu tidak sampai ke usus dan hanya sampai darah saja, maka infus ini pun membatalkan puasa, karena ia menempati posisi makanan dan minuman. Banyak orang yang sakit tidak sadarkan diri dalam waktu cukup lama, mereka diberi makan dengan cara infus ini, seperti misalnya glukosa dan cairan garam. Demikian pula zat-zat yang diberikan kepada orang-orang yang menderita penyakit asma, dimana zat-zat ini juga membatalkan puasa.

5. Hubungan Badan.

Di dalam kitab, ad-Daraaril Mudhiyyah (II/ 22), asy-Syaukani mengatakan: "Tidak diperdebatkan lagi bahwa hubungan badan dapat membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja. Tetapi, jika dilakukan karena lupa, maka sebagian 'ulama mengkategorikan termasuk orang yang makan dan minum karena lupa."

Sedangkan di dalam kitab Zaadul Ma'aad (II/ 60), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: "Al-Qur-an telah menunjukkan bahwa hubungan badan itu membatalkan puasa, sebagaimana halnya dengan makan dan minum, tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini."

Yang menjadi dalil dalam hal tersebut dari al-Qur-an, adalah firman-Nya:

"Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu." (QS. Al-Baqarah: 187)

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan izin untuk berhubungan badan (pada malam hari).

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa puasa itu dari hubungan badan, makan dan minum. Barangsiapa merusak puasanya dengan hubungan badan, maka dia harus mengganti puasanya itu disertai dengan kaffarat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Beliau pernah didatangi seseorang seraya berucap: 'Wahai Rasulullah, celakalah aku.' 'Apa yang telah mencelakakan dirimu?' Tanya beliau. Dia menjawab: 'Aku telah berhubungan badan dengan isteriku pada siang hari di bulan Ramadhan.' Beliau bertanya: 'Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?' 'Tidak,' jawabnya. Lalu beliau bertanya lagi: 'Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?' Dia menjawab: 'Tidak.' Beliau bertanya lagi: 'Dan apakah kamu mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?' Dia pun menjawab: 'Tidak.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempersilahkan duduk kepadanya. Dan ia pun duduk. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dibawakan satu wadah berisi kurma, dan beliau bersabda: 'Bersedekahlah dengan kurma ini.' Kemudian dia berkata: 'Adakah orang yang lebih miskin dari kami?'" Abu Hurairah mengatakan: "Maka Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau bersabda: 'Ambillah dan berikan makan keluargamu dari sedekah itu.'" (126)

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(119) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 135) dan Muslim (1155).

(120) Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam kitab Syarh Ma'aaniyal Aatsaar (II/ 56), al-Hakim (II/ 198), Ibnu Hazm - al-Ihkaam (V/ 149), ad-Daraquthni (IV/ 171) melalui dua jalan dari al-Auza'i, dari 'Atha' bin Abi Rabah dari 'Ubaid bin 'Umair, dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma).

(121) HR. Abu Dawud (II/ 310), at-Tirmidzi (III/ 79), Ibnu Majah (I/ 536), Ahmad (II/ 498) melalui jalan Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dan sanadnya shahih, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikhul Islam di dalam kitab Haqiiqatush Shiyaam hal. 14.

(122) Diriwayatkan oleh Muslim (79) dan (80) dari Ibnu 'Umar dan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhum.

(123) Haruriyyah adalah nisbat pada Harura', sebuah daerah yang berjarak sekitar 2 mil dari Kufah. Dan orang yang meyakini pendapat Khawarij disebut dengan Haruri, karena kelompok pertama dari mereka keluar dari 'Ali radhiyallahu 'anha di negeri tersebut sehingga mereka menisbatkan diri kepadanya.

Demikian yang dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 424). Lihat juga kitab al-Lubaab (I/ 359) karya Ibnul Atsir.

Orang-orang Haruriyyah itu mengharuskan wanita jika sudah suci dari haidh untuk mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama haidh. Lalu 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma khawatir Mu'adzah mengambil pertanyaan tersebut dari Khawarij yang kebiasaan mereka adalah menentang Sunnah dengan pendapat mereka. Dan orang-orang semisal mereka pada zaman sekarang ini cukup banyak.

Lihat juga fasal: at-Tautsiiq 'anillah wa Rasuulihi, dari risalah: Diraasaatun Manhajiyyah fil 'Aqiidah as-Salafiyyah, karya Syaikh Salim al-Hilali.

(124) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 429) dan Muslim (335).

(125) Lihat buku Haqiqatush Shiyaam halaman 55 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

(126) Hadits itu disebutkan dengan lafazh yang bermacam-macam dari al-Bukhari (XI/ 516), Muslim (1111), at-Tirmidzi (724), al-Baghawi (VI/ 288), Abu Dawud (2390), ad-Darimi (II/ 11), Ibnu Majah (1671), Ibnu Abi Syaibah (II/ 183-184), Ibnu Khuzaimah (III/ 216), Ibnul Jarud (139), asy-Syafi'i (299), Malik (I/ 297) dan 'Abdurrazzaq (IV/ 196). Sebagian mereka memursalkannya dan sebagian lainnya menyambungkannya.

Menurut sebagian mereka, penambahan: "Iqdhii yauman makaanahu" itu shahih. Dan telah dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (XI/ 516). Dan derajatnya sama dengan yang ia katakan.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.