Friday 9 June 2017

Kajian Kedua Puluh Delapan | Zakat Fitrah | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kedua Puluh Delapan.

Zakat Fitrah.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Tinggi dan Maha Agung. Dia telah menciptakan segala sesuatu lalu mentakdirkannya dengan sebaik-baiknya. Allah menggariskan syari'at-Nya sebijaksana mungkin untuk memberikan penjelasan kepada seluruh makhluk-Nya.

Aku memuji Allah atas sifat-sifat-Nya yang sempurna dan aku bersyukur kepada-Nya atas kesempurnaan hikmah-Nya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala kerajaan dan pujian pada hakikat-Nya adalah milik-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang memberi kabar gembira dan peringatan. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarga dan para Shahabat beliau serta siapa saja yang meniti jejak beliau hingga hari Kiamat.

Saudara sekalian, sesungguhnya bulan berkah kalian hampir saja berlalu, dan yang tersisa hanya beberapa waktu saja. Maka, siapa saja di antara kalian yang telah berbuat baik, maka hendaklah ia memuji Allah atas perbuatannya itu, dan hendaklah ia memohon agar amalannya itu diterima. Adapun jika ada di antara kalian yang masih lalai dan mengabaikannya, maka segeralah memohon maaf atas kealpaannya itu, karena permohonan maaf sebelum meninggal itu akan diterima.

Saudara sekalian, sesungguhnya di akhir bulan berkah Ramadhan ini Allah telah mensyari'atkan agar kita menunaikan zakat fitrah sebelum mengerjakan shalat Idul Fitri. Dalam kesempatan ini kita akan berbicara mengenai hukumnya, hikmahnya, jenisnya, ukurannya, waktu kewajibannya, cara memberikannya dan tempatnya.

Hukum zakat fitrah adalah fardhu (wajib). Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri yang mewajibkannya atas kaum Muslimin, sedangkan setiap yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam atau yang diperintahkan oleh beliau status hukumnya adalah sebagaimana apa yang diwajibkan secara langsung oleh Allah atau yang diperintahkan oleh-Nya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (QS. An-Nisa' (4): 80)

"Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa' (4): 115)

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr (59): 7)

Zakat fitrah ini merupakan kewajiban atas orang dewasa maupun anak kecil, laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun hamba dari kaum Muslimin. 'Abdullah bin 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma berkata:

"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan dengan memberikan satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa dari kalangan kaum Muslimin." (Mutafaq 'alaih)

Namun ia tidak wajib atas janin yang masih dikandung di perut ibu. Adapun jika ingin menfitrahinya, maka tidak mengapa, tapi ini tidak wajib. Adalah Amirul mukminin 'Utsman ra-dhiyallaahu 'anhu mengeluarkan zakat fitrah atas janin yang masih ada di dalam kandungan.

Zakat ini wajib dikeluarkan atas diri sendiri dan atas orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri atau kerabat jika mereka tidak mampu mengeluarkannya dari harta mereka sendiri. Namun jika mereka punya harta sendiri, yang lebih utama adalah mengeluarkannya dari dirinya sendiri, karena merekalah pada asalnya yang mendapatkan perintah untuk melakukannya masing-masing. Yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang mempunyai kelebihan dari apa yang dibutuhkannya untuk menafkahi kebutuhan sehari semalam di hari raya itu. Jika ia hanya memiliki kurang dari satu sha', maka ia boleh saja mengeluarkannya kurang dari ukuran itu berdasarkan firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun (64): 16)

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam:

"Jika aku menyuruh kalian melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian." (Mutafaq 'alaih)

Hikmah dari disyari'atkannya zakat fitrah ini sangat jelas, yaitu berbuat baik dan menyantuni orang-orang fakir dan mencegah mereka dari meminta-minta pada hari raya, sehingga mereka pun bisa turut menyertai orang-orang kaya dalam kebahagiaan dan keceriaan dalam suasana hari raya, sehingga yang namanya hari raya adalah untuk semua. Hikmah lainnya adalah menyandang sifat akhlak luhur, murah hati, dan suka menghibur hati orang lain. Di samping itu juga akan menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan, kesia-siaan atau bahkan dosa yang mungkin dilakukannya selama ia menjalankan puasa. Juga untuk menunjukkan rasa syukur terhadap nikmat Allah dengan selesainya pelaksanaan puasa Ramadhan maupun berbagai amal shalih yang dilaksanakan di dalamnya. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari tindak kesia-siaan dan bicara kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang memberikannya sebelum shalat (Id), maka itu merupakan zakat fitrah yang bisa diterima. Sedangkan orang yang memberikannya sesudah shalat, maka yang demikian itu berarti salah satu bentuk sedekah." (HR. Ibnu Majah) (61)

Bentuk yang wajib dikeluarkan dalam menunaikan zakat fitrah adalah makanan manusia, berupa kurma, gandum, beras, zabib (kismis), keju atau jenis makanan manusia lainnya. Dalam Shahihain disebutkan hadits Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan berupa satu sha' kurma atau satu sha' gandum."

Ketika itu gandum merupakan bagian dari makanan mereka, seperti yang dikatakan oleh Abu Sa'id al-Khudri ra-dhiyallaahu 'anhu:

"Pada hari raya Idul Fitri di zaman Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, kami mengeluarkan satu sha' makanan. Ketika itu yang menjadi makanan kami adalah gandum, zabib (kismis), keju, dan kurma." (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian, tidaklah sah jika yang diberikan adalah makanan untuk binatang. Sebab, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkannya untuk memberi makan orang-orang miskin, bukan untuk binatang ternak.

Demikian juga tidak bisa diganti dengan memberikan pakaian, perabot rumah, alat-alat dapur, serta barang-barang lainnya selain makanan manusia. Sebab, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkannya dalam bentuk makanan, sehingga apa yang digariskan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ini tidak boleh dilanggar.

Demikian juga tidak bisa diganti dengan nilai atau harga makanan tersebut, karena hal itu bertentangan dengan perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintahku, maka ia tertolak."

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Siapa saja yang membuat hal baru dalam urusan agama kami ini yang tidak menjadi bagian darinya, maka ia tertolak." (HR. Muslim)

Demikian juga, memberikan harga dari nilai makanan itu bertentangan dengan amalan para Shahabat ra-dhiyallaahu 'anhu. Sebab, mereka mengeluarkan zakat fitrah ini dalam bentuk satu sha' makanan. Sedangkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri bersabda:

"Kalian harus mengikuti Sunnahku dan Sunnah khalifah-khalifah adil yang mendapat petunjuk sesudahku." (62)

Di samping itu, zakat fitrah juga merupakan bagian dari ibadah fardhu dalam bentuk tertentu sehingga tidak bisa diganti dengan selain jenis tertentu itu (dengan jenis lain), sebagaimana juga tidak boleh dikeluarkan selain waktu yang telah ditentukan. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menentukannya dari jenis yang berbeda-beda dan nilai yang berbeda-beda pula pada umumnya. Jika nilai atau harta dari suatu barang itu bisa dijadikan sebagai patokan, maka yang wajib dikeluarkan adalah satu sha' dari jenis tertentu dan yang senilai dengannya dari jenis-jenis lainnya.

Di samping itu, memberikan zakat fitrah dengan harganya berarti mengubah keadaan zakat fitrah itu dari syiar yang tampak menjadi bentuk sedekah yang tersembunyi. Sebab, memberikan zakat fitrah dalam bentuk satu sha' makanan menjadikannya terlihat jelas di antara kaum Muslimin, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa, dimana mereka bisa menyaksikan sendiri timbangannya dan pembagiannya serta bisa saling mengenal antara sesama mereka. Berbeda jika yang diberikan adalah berupa dirham yang bisa diberikan oleh seseorang secara tersembunyi antara dirinya dengan yang menerima.

Tentang ukuran atau kadar zakat yang diberikan adalah satu sha' ukuran sha' Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang timbangannya sama dengan 480 mitsqal dari gandum yang bagus. Jika diukur dengan ukuran gram adalah 2,04 kg gandum yang bagus. Sebab, satu mitsqal adalah empat gram seperempat, sehingga 480 mitsqal sama dengan 2.040 gram. Jika kita ingin mengetahui ukuran sha' Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka kita gunakan ukuran dua kilo empat gram (2,04 kg) gandum yang baik, lalu kita letakkan di sebuah wadah lalu ditakar dengan ukuran ini.

Waktu diwajibkannya mengeluarkan zakat fitrah adalah mulai terbenamnya matahari di malam Idul Fitri. Orang yang punya kewajiban menunaikan zakat fitrah ketika itu sudah mulai berkewajiban menunaikannya, dan selain waktu tersebut adalah tidak wajib. Bertolak dari sini, maka jika ada seseorang meninggal dunia sebelum terbenamnya matahari, sekalipun hanya beberapa detik saja dari terbenamnya matahari tersebut, maka tidak terkena kewajiban menunaikan zakat fitrah. Namun jika ia meninggal sesudah terbenamnya matahari walau baru beberapa detik saja, maka ia telah berkewajiban mengeluarkan zakat fitrahnya. Jika ada anak yang dilahirkan setelah terbenamnya matahari atau hanya beberapa detik saja, maka ia belum wajib membayar zakat fitrah, akan tetapi disunnahkan mengeluarkannya. Namun jika ia dilahirkan sebelum terbenamnya matahari walau hanya beberapa detik saja sebelum itu, maka ia sudah wajib mengeluarkan zakat fitrahnya.

Waktu datangnya kewajiban menunaikan zakat ini dimulai sejak terbenamnya matahari di malam Idul Fitri, karena ia adalah waktu dimana waktu berbuka puasa Ramadhan itu tiba, dan ia disandarkan kepada hal itu, sehingga dapat dikatakan sebagai zakat fitrah Ramadhan. Dengan demikian, sandaran hukumnya adalah waktu tersebut.

Waktu pemberian zakat fitrah ini terbagi menjadi dua, waktu yang utama dan waktu yang sifatnya boleh. Waktu utamanya adalah pagi hari Idul Fitri sebelum pelaksanaan shalat Id. Dasarnya adalah hadits yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari yang berasal dari hadits Abu Sa'id al-Khudri ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Di zaman Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya Idul Fitri satu sha' makanan."

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma berkata:

"Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan penyaluran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk menunaikan shalat Id." (HR. Muslim dan lainnya)

Oleh karena itu, afdhalnya adalah mengundrukan pelaksanaan shalat Id pada hari raya Idul Fitri agar waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah menjadi lebih longgar.

Sedangkan waktu yang sifatnya boleh adalah sehari atau dua hari sebelum Id. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan hadits dari Nafi' bahwa ia berkata: "Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma memberikan zakat fitrah atas anak kecil maupun dewasa. Beliau memberikannya kepada orang-orang yang layak menerimanya, dan mereka itu diberi zakat sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri."

Pelaksanaannya tidak boleh diundur hingga shalat Id. Barangsiapa yang mengulurkannya hingga shalat Id tanpa adanya udzur, maka zakat fitrahnya tidak bisa diterima, karena menyelisihi ajaran yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di depan telah kita kemukakan hadits Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa siapa yang menunaikannya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat fitrah yang bisa diterima, akan tetapi siapa yang menunaikan sesudah shalat Id, maka nilainya adalah sedekah sebagaimana sedekah-sedekah lainnya. Adapun jika mengulurkannya disebabkan karena suatu udzur, maka yang demikian ini tidaklah mengapa, misalnya ketika Id tiba ia masih berada di suatu tempat dimana ia tidak memegang sesuatu yang bisa ia berikan, atau tidak mendapatkan seseorang yang bisa ia beri zakat, atau berita tentang kepastian tibanya Idul Fitri itu datang kepadanya secara tiba-tiba sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat Id, atau sebelumnya ia bermaksud memberikan zakat fitrahnya kepada seseorang namun ternyata ia lupa memberikannya, maka adalah tidak mengapa jika memberikannya sekalipun sesudah pelaksanaan shalat Id, karena dalam hal ini ia dimaklumi (ma'dzur).

Yang wajib adalah berhubungan secara langsung dengan yang berhak menerimanya atau dengan wakilnya tepat pada waktunya sebelum pelaksanaan shalat Id. Jika sebelumnya ia telah meniatkannya untuk memberikannya kepada seseorang, namun ternyata ia tidak bisa bertemu dengannya maupun wakilnya pada saat telah tiba waktu pengeluaran zakat, maka ia bisa memberikannya kepada orang lain yang juga berhak menerimanya dan tidak usah mengulurkannya dari waktunya yang telah ditentukan.

Dimana zakat fitrah ini diberikan? Ia diberikan kepada kaum fakir setempat dimana ia berada di tempat ketika waktu pemberian zakat itu, apakah di tempat mukimnya atau sedang berada di salah satu negeri Muslim, lebih lagi jika tempat yang didiami adalah tempat yang utama seperti Mekah dan Madinah, atau di tempat dimana orang-orang fakirnya sangat atau lebih membutuhkan. Jika di suatu negeri tidak ada orang yang bisa diberi fitrah, atau orang yang memberikannya tidak mengetahui siapa-siapa yang berhak menerimanya, maka ia bisa mewakilkannya kepada orang yang bisa membayarkannya di suatu tempat dimana terdapat orang yang berhak menerimanya.

Orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah kaum fakir dan orang-orang yang mempunyai tanggungan utang yang tidak mampu membayarnya. Mereka ini bisa diberi bagian dari zakat sesuai dengan kebutuhan mereka. Pembagian zakat fitrah ini bisa diberikan kepada lebih dari satu fakir. Demikian juga sejumlah pembayaran zakat fitrah juga bisa diberikan kepada seorang miskin saja. Sebab, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya menetapkan ukuran yang wajib dikeluarkan, dan tidak menentukan seberapa ukuran yang diberikan kepada satu orang. Dengan demikian, jika ada sejumlah orang menghimpun zakat fitrah mereka dalam satu wadah setelah ditimbang, lalu mereka baru membagikannya kepada yang berhak tanpa menimbang lagi untuk kedua kalinya, maka yang demikian itu tetap sah. Akan tetapi sebaiknya orang fakir yang diberi bagian itu diberitahu bahwa mereka tidak mengetahui secara persis berapa kadar zakat yang mereka berikan kepadanya, agar ia tidak tertipu, lalu ia memberikan zakat fitrah untuk dirinya dari barang tersebut, sedangkan ia tidak mengetahui berapa sebenarnya takarannya. Orang yang fakir jika telah menerima bagian dari zakat fitrah dari seseorang, maka ia boleh membayarkannya atas nama dirinya sendiri atau salah satu di antara keluarganya jika ia telah menakarnya lagi atau jika orang yang sebelumnya memberikan zakat tersebut kepada dirinya memberitahukan bahwa takarannya adalah sempurna, sedangkan ia sendiri yakin dengan takaran tersebut.

Ya Allah, berilah kami petunjuk dan kemampuan untuk melaksanakan ketaatan kepada-Mu sesuai dengan cara yang Engkau ridhai. Ya Allah, sucikanlah jiwa kami, perkataan kami dan amal perbuatan kami. Bersihkanlah kami dari keyakinan, perkataan dan perbuatan yang keliru, sesungguhnya Engkau Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.

Semoga Allah Sub-haanahu wa Ta'aala senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad serta kepada keluarga dan para Shahabat seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(61) Dikemukakan juga oleh ad-Daruquthni dan al-Hakim serta dishahihkan olehnya.

(62) Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi yang sekaligus mengatakan sebagai hadits hasan shahih. Abu Nu'aim mengatakan: Hadits ini jayyid, yang merupakan bagian dari hadits riwayat orang-orang Syam yang shahih.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.