Saturday 3 June 2017

Kajian Keempat Belas | Hal-hal yang Membatalkan Puasa | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Salafuddin Abu Sayyid.

Kajian Ramadhan.

Kajian Keempat Belas.

Hal-hal yang Membatalkan Puasa.

Segala puji bagi Allah. Dzat yang mengetahui segala yang tampak maupun tidak tampak, yang mengetahui segala yang disembunyikan oleh hamba maupun yang ditampakkan olehnya, yang dengan sendiri-Nya menciptakan alam semesta, dan yang mengatur segala gerak dan diamnya. Allah telah membuat penciptaan dengan sebaik-baiknya, menciptakan pendengaran dan penglihatan, menghitung seluruh dedaunan yang ada di setiap pepohonan, baik di dahan maupun di ranting. Allah membentangkan bumi sebagai hamparan, memperluas dan mengangkat langit, menjadikan bintang-bintang berjalan dan memunculkannya di kegelapan malam. Allah juga telah menurunkan air hujan dari langit untuk menumbuhkan biji-bijian dari yang semula kering. "Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah." (Qur-an Surat Luqman (31): ayat 11)

Aku memuji Allah atas kemurahan yang diberikan kepada kita. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam uluhiyah maupun kerajaan-Nya. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang dikuatkan dengan hujjah yang diberikan kepadanya.

Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, kepada Abu Bakar yang senantiasa menemani beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam setiap keadaan, kepada 'Umar penakluk Kisra di istananya, kepada 'Utsman yang senantiasa tidak tidur malam untuk membaca al-Qur-an, kepada 'Ali yang telah berhasil mencabut pintu Khaibar dan mengguncang bentengnya, serta kepada seluruh keluarga dan para shahabat beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang senantiasa menaati Allah dalam segala tindakannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 187)

Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan pokok-pokok pembatal puasa, kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam haditsnya menyebutkan pembatal-pembatal tingkat berikutnya. Pembatal puasa itu ada tujuh macam:

Pertama, jima' (senggama).

Yaitu memasukkan alat kelamin laki-laki (dzakar) ke dalam alat kelamin perempuan (farji). Ini merupakan pembatal puasa yang terbesar dan paling besar pula dosanya. Jika seorang yang berpuasa itu berjima', maka puasanya menjadi batal, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah. Jika ia melakukan jima' pada siang hari di bulan Ramadhan, sedangkan puasa adalah wajib baginya, maka di samping ia harus mengqadhanya ia masih punya kewajiban membayar kafarat yang cukup berat, yaitu membebaskan seorang budak wanita beriman. Jika ia tidak mampu, maka sebagai gantinya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa diselingi dengan berbuka sehari pun kecuali karena adanya udzur syar'i, seperti adanya dua hari raya dan hari tasyrik atau karena adanya udzur yang bersifat fisik, seperti karena sakit atau bepergian tanpa berniat/ menyengaja untuk tidak berpuasa. Jika ia berbuka tanpa ada udzur di atas, walau hanya sehari pun, maka ia harus memulai kembali puasanya dari awal sehingga puasa yang dilakukannya benar-benar bisa disebut 'terus menerus' atau 'berturut-turut' (tataabu'). Jika tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka sebagai alternatif ketiga adalah memberi makan enam puluh orang miskin, setiap satu orang miskin mendapatkan bagian setengah kilo sepuluh gram gandum yang bagus. (32)

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan riwayat bahwa ada seseorang yang menggauli isterinya di siang hari bulan Ramadhan, lalu ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengenai hal itu, dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah kamu mendapatkan (mampu memerdekakan) seorang budak wanita?" Ia menjawab: "Tidak." Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda lagi: "Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: "Tidak." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda: "Kalau begitu beri makan enam puluh orang miskin." Hadits ini disebutkan dalam kitab Shahihain dengan redaksi yang cukup panjang.

Kedua, mengeluarkan air mani dengan sengaja.

Ini bisa karena mengecup atau menyentuh wanita, dengan cara masturbasi dan semisalnya. Sebab, hal itu merupakan bagian dari syahwat, dimana yang namanya puasa itu harus menjauhi hal-hal yang demikian, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi:

"Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya demi Aku." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Adapun mengecup atau menyentuh isteri yang tidak sampai menyebabkan keluarnya mani (ejakulasi), maka yang demikian itu tidaklah membatalkan puasa. Ini berdasarkan hadits yang disebutkan dalam kitab Shahihain yang berasal dari hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma:

"Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengecup (isteri beliau) ketika dalam keadaan puasa, dan juga bercumbu ketika dalam keadaan puasa. Akan tetapi beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah orang yang paling bisa menahan hasrat (nafsu birahi) di antara kalian."

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa 'Umar bin Abu Salamah radhiyallaahu 'anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam apakah orang yang berpuasa boleh mengecup isterinya. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tanyakan kepada orang ini!" -maksudnya kepada Ummu Salamah radhiyallaahu 'anha-. Ummu Salamah kemudian memberitahukannya bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melakukan hal itu. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selanjutnya bersabda: "Demi Allah, aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dan paling takut kepada-Nya."

Akan tetapi jika orang yang berpuasa itu takut bila mengecup dan hal yang semisalnya itu bisa menyebabkan air maninya keluar, maka dalam keadaan seperti itu diharamkan baginya untuk melakukannya demi menutup jalan bagi terjadinya hal yang bisa membatalkan puasa dan demi menjaga puasanya dari kerusakan, jangan sampai batal. Oleh karena itu, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh orang yang berwudhu untuk beristinsyaq (menghirup air dan mengeluarkannya kembali), kecuali jika sedang berpuasa karena dikhawatirkan air itu bisa masuk ke dalam perut.

Adapun keluarnya mani disebabkan karena mimpi, atau sekedar memikirkan (mengingat) persetubuhan (tanpa disengaja), maka hal itu tidak sampai membatalkan puasa. Sebab, yang namanya mimpi itu adalah di luar kesengajaan orang yang berpuasa. Sedangkan memikirkannya juga dimaafkan berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memaafkan dari ummatku dari sesuatu yang dipikirkan oleh dirinya namun belum sampai ia lakukan atau ia ucapkan." (Mutafaq 'alaih)

Ketiga, makan dan minum.

Yaitu memasukkan makanan dan minuman ke dalam perut melalui mulut atau hidung, apapun bentuk makanan dan minuman yang dimasukkan. Dasarnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 187)

Menyedot sesuatu melalui hidung sama seperti makan dan minum, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah radhiyallaahu 'anhu:

"Bersungguhlah dalam istinsyaq, kecuali jika kamu sedang berpuasa." (Hadits Riwayat lima Imam hadits, dan dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi)

Adapun mencium bau-bauan tidak membatalkan puasa. Sebab, yang namanya aroma atau bau itu tidak mempunyai massa (ukuran) yang masuk ke dalam perut.

Keempat, sesuatu yang bisa disebut semakna dengan makan dan minum.

Ini terbagi menjadi dua macam: Pertama, menyuntikkan darah (transfusi darah) ke dalam tubuh orang yang berpuasa, misalnya ia mengalami pendarahan atau lemas karena kurang darah, lalu diinfuskan darah ke dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti ini ia berarti telah berbuka puasa (batal puasanya). Sebab, darah merupakan tujuan dari makan dan minum, dan tujuan itu telah tercapai dengan diinfuskannya darah ke dalam tubuhnya. (33) Kedua, makanan yang disuntikkan yang mencukupkannya dari makan dan minum. Jika hal itu dilakukan, maka ia berarti telah berbuka. Sebab, sekalipun hal itu tidak merupakan makan dan minum secara hakiki, namun hal itu sama artinya dengan makan dan minum, sehingga keduanya dihukumi seperti hukum makan dan minum. Adapun suntikan yang bukan berupa makanan, maka hal itu tidak membatalkan puasa, sekalipun hal itu barangkali terasa di tenggorokan. Sebab, hal itu bukanlah makanan dan minuman, dan juga tidak semakna dengannya.

Selain itu, tidak pula dianggap batal puasanya bila tenggorokannya ada rasa makanan atau minuman asalkan yang bersangkutan sendiri tidak makan dan tidak minum. Misalkan ia melumuri kakinya dengan hazhal, lantas rasa hanzhal itu terasa di tenggorokannya, maka hal seperti itu tidaklah membatalkan puasanya. Demikian menurut para fuqaha. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan di dalam risalahnya, Haqiqatus Shiyam, sebagai berikut: "Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa pembatal puasa itu adalah sesuatu yang sampai ke otak atau yang sampai ke dalam tubuh, atau yang masuk melalui hidung, atau yang sampai ke dalam perut dan sebagainya yang oleh banyak orang dianggap sebagai sandaran hukum oleh Allah dan Rasul-Nya (maksudnya, ketetapan hukum itu digantungkan pada hal-hal tersebut). Apabila tidak ada dalil yang menunjukkan penyandaran hukum pada yang demikian itu, maka perkataan bahwa Allah dan Rasul-Nya menjadikan perkara ini sebagai pembatal puasa karena adanya sifat-sifat itu adalah perkataan yang tidak berdasar 'ilmu."

Kelima, mengeluarkan darah dengan cara hijamah (berbekam).

Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Orang yang berbekam dan yang dibekam berarti telah berbuka (batal puasanya)." (Hadits Riwayat Imam Ahmad, dan Imam Abu Dawud yang berasal dari hadits Syaddad bin Aus)

Imam al-Bukhari mengatakan: "Dalam masalah ini tidak ada hadits lain yang lebih kuat dari hadits ini."

Ini adalah madzhab Imam Ahmad dan kebanyakan dari para fuqaha hadits. Dengan demikian, orang yang menjalankan puasa wajib tidak boleh memberikan darahnya (donor) dengan mengeluarkannya cukup banyak yang bisa berpengaruh terhadap badan sebagaimana pengaruh berbekam, kecuali jika ada masalah mendesak untuk itu yang tidak bisa terpenuhi kecuali harus dengan hal itu serta tidak ada kemudharatan terhadap orang yang berpuasa dengan diambilnya darah darinya. Dengan demikian, kebolehan ini bersifat darurat, dan ia berarti berbuka pada hari itu dan kemudian harus mengqadhanya. Adapun keluarnya darah karena mimisan, atau batuk, atau wasir, atau tanggalnya gigi, luka, periksa darah, tidaklah membatalkan puasa, karena hal itu bukan bagian dari berbekam dan juga tidak semakna dengannya. Sebab, hal ini tidak memberikan pengaruh terhadap badan sebagaimana pengaruh bekam.

Keenam, muntah dengan sengaja.

Yaitu mengeluarkan makanan atau cairan dari lambung melalui jalan mulut. Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Siapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak wajib mengqadha puasanya, dan siapa yang muntah dengan sengaja, maka ia wajib mengqadhanya." (Hadits Riwayat lima Imam hadits kecuali Imam an-Nasa-i dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim)

Yang dimaksud dengan menyengaja adalah misalnya dengan menekan perut, atau memainkan tenggorokan, atau dengan mencium sesuatu yang bisa membuat muntah, atau dengan melihat sesuatu yang menjijikkan sehingga bisa menyebabkan muntah. Ini semua menyebabkan puasa itu batal. Adapun jika muntah itu tidak tanpa sebab atau tidak disengaja, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa. Jika lambungnya penuh, maka sudah tentu ia tidak bisa menahan muntah, karena hal itu justru bisa membahayakannya, akan tetapi hendaklah ia membiarkannya, dan tidak berupaya untuk memuntahkan dan tidak pula mencegahnya.

Ketujuh, keluarnya darah haidh dan nifas.

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda mengenai wanita:

"Bukanlah ketika ia sedang haidh tidak boleh mengerjakan shalat dan tidak boleh berpuasa?!"

Jika seorang wanita melihat adanya darah haidh atau nifas, maka puasanya menjadi batal, apakah hal itu terjadi pada pagi hari maupun petang hari, sekalipun menjelang terbenamnya matahari. Jika ia merasakan adanya darah yang mengalir, namun darah tersebut belum terlihat kecuali setelah terbenamnya matahari, maka puasanya sah.

Orang yang menjalankan puasa dilarang melanggar hal-hal yang membatalkan puasa seperti di atas jika puasa yang dilakukan adalah wajib, seperti puasa Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nazar. Kecuali jika ada udzur yang membolehkannya untuk berbuka puasa, seperti bepergian (safar), sakit dan lainnya. Sebab, orang yang mengerjakan suatu kewajiban itu wajib menyempurnakannya, kecuali jika ada udzur yang dibenarkan. Selanjutnya, orang yang terlanjur melanggar hal itu pada siang Ramadhan tanpa ada udzur, maka ia tetap berkewajiban menahan diri (melanjutkan) puasa pada sisa waktu hingga terbenam matahari, dan wajib pula mengqadha puasanya. Adapun jika yang dilaksanakan adalah puasa sunnah, maka ia boleh membatalkannya, sekalipun tanpa udzur. Akan tetapi yang lebih utama adalah menyempurnakannya.

Ikhwan sekalian. Jagalah selalu segala bentuk ketaatan dan jauhilah segala kemaksiatan serta hal-hal yang diharamkan. Berdo'a dan memohonlah kepada Pencipta langit dan bumi. Songsonglah curahan kemurahan-Nya, karena sesungguhnya Ia banyak memberi. Ketahuilah bahwa sebenarnya kalian tidak akan mempunyai bagian dari dunia kalian kecuali yang kalian curahkan untuk melakukan ketaatan kepada Rabb kalian. Carilah ghanimah sebelum habis waktunya dan carilah keberuntungan sebelum mengalami kerugian.

Ya Allah, berilah petunjuk dan pertolongan kepada kami untuk bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan bisa mengisinya dengan amalan-amalan shalih. Ya Allah, anugerahkan kemurahan-Mu kepada kami dan berikan kepada kami ampunan dan maaf. Ya Allah, mudahkanlah kami ke jalan kemudahan dan jauhkan kami dari kesulitan. Ampunilah kami di dunia dan akhirat. Ya Allah, anugerahkan kepada kami syafa'at Nabi kami dan bawa kami menuju telaganya, lalu beri minum kami dari air telaga itu sehingga kami tidak akan pernah haus lagi selamanya, wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah, anugerahkan rahmat, keberkahan dan kedamaian kepada hamba dan Nabi-Mu, Muhammad, serta kepada keluarga dan para shahabat seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(32) Bisa juga diganti dengan beras. Namun dalam hal ini harus diperhatikan timbangannya. Jika beras lebih berat, maka timbangannya ditambah sesuai dengan selisih yang ada sehingga menjadi seimbang, dan jika lebih ringan maka dikurangi sehingga menjadi seimbang pula.

(33) Ini adalah pendapat aku sebelumnya. Namun kemudian aku menjadi tahu bahwa ternyata menginfuskan darah ke dalam tubuh itu tidak sampai membatalkan puasa, karena ia tidak bisa disebut makan atau minum, dan tidak bisa dimaknakan dengan keduanya. Maka, pada prinsipnya puasa tetap sah sehingga terbukti dengan jelas kerusakannya. Kaidah yang pasti adalah bahwa keyakinan itu bisa dihilangkan dengan keraguan.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.