Friday 9 June 2017

Qadha' Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

M. Abdul Ghoffar E.M.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keenambelas.

Qadha' Puasa.

1. Ketahuilah, wahai orang muslim, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam memahami agama, bahwa mengqadha' puasa Ramadhan yang tertinggal tidak harus dilakukan seketika. Kewajiban mengqadha' ini bersifat fleksibel dan penuh keleluasaan. Hal tersebut didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Sayyidah 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma: "Aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan, lalu aku tidak bisa menggantinya kecuali pada bulan Sya'ban." (127)

Di dalam kitab Fat-hul Baari IV/ 191, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: "Dan di dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan dibolehkannya penundaan qadha' puasa Ramadhan secara mutlak, baik karena suatu alasan maupun tidak adanya alasan."

Sebagaimana diketahui bersama, menyegerakan qadha' puasa itu lebih baik daripada menundanya, karena ketercakupannya dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menundanya. Hal tersebut didukung pula dalil dari al-Kitab al-Majid:

"Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu." (QS. Ali 'Imran: 133)

Dan firman Allah 'Azza wa Jalla:

"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (QS. Al-Mu'minuun: 61)

2. Tidak wajib untuk mengqadha' puasa secara berurutan dan berkesinambungan, karena keeratan sifat qadha' dengan sifat pelaksanaan. Yang demikian itu sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka berpuasalah pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)

Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) mengatakan: "Tidak ada masalah untuk mengqadha' puasa secara terpisah-pisah." (128)

Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu) mengemukakan: "Jika mau, dia boleh mengqadha' dengan bilangan ganjil." (129)

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi (IV/ 259) dan ad-Daraquthni (II/ 191-192), melalui jalan 'Abdurrahman bin Ibrahim dari al-'Ala' bin 'Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu': "Barangsiapa mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka hendaklah dia mengerjakannya secara berurutan dan tidak memutus-mutuskannya," maka sesungguhnya hadits tersebut dha'if.

Ad-Daraquthni mengatakan: "'Abdurrahman bin Ibrahim adalah seorang yang dha'if."

Al-Baihaqi mengemukakan, dinilai dha'if oleh Ibnu Ma'in, an-Nasa-i, dan ad-Daraquthni.

Di dalam kitab at-Talkhiishul Habiir (II/ 206), Ibnu Hajar menukil dari Ibnu Abi Hatim bahwa dia menolak hadits itu sendiri karena 'Abdurrahman.

Uraian tentang kedha'ifan hadits ini telah disampaikan secara rinci oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil no. 943.

Dan yang terdapat di dalam kitab Silsilatul Ahaadiits adh-Dha'iifah (II/ 137), yang menghasankan hadits ini, maka hal tersebut ditolak. (130) Karena itu, berhati-hatilah.

Ringkas kata dapat dikatakan bahwanya tidak dibenarkan adanya hadits yang marfu' -menurut yang kami ketahui- dalam masalah mengqadha' puasa secara terpisah-pisah, dan tidak juga berturut-turut. Adapun yang mendekati pengertian itu dan mudah dipahami, bolehnya dua cara tersebut. Demikian pula yang dikemukakan oleh Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Abu Dawud di dalam Masaa-ilnya (hal. 95) mengatakan: "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang qadha' puasa Ramadhan, maka dia menjawab: "Jika mau, dia boleh memisah-misahkan, dan jika mau, dia juga boleh melakukannya secara berurutan." Wallaahu a'lam.

Oleh karena itu, diperbolehkannya pemisahan hari-hari qadha' puasa tidak berarti dilarangnya mengqadha' secara berurutan.

3. Para 'ulama telah sepakat bahwa orang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai tanggungan kewajiban beberapa shalat yang ditinggalkannya, maka walinya atau yang lainnya tidak berkewajiban untuk mengqadha'nya. Demikian halnya dengan orang yang tidak mampu mengerjakan puasa, maka tidak seorang pun boleh mengganti puasanya itu semasa hidupnya, tetapi dia harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Anas radhiyallahu 'anhu dalam atsar yang telah kami sebutkan tadi.

Tetapi, orang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai nadzar puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa meninggal dunia sedang dia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya yang harus membayar puasanya itu." (131)

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, "Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku harus membayarnya?' Beliau bersabda: 'Ya, karena hutang kepada Allah itu lebih harus (wajib) dibayar.'" (132)

Hadits-hadits yang bersifat umum di atas secara lantang menjelaskan disyari'atkannya puasa oleh wali sebagai ganti puasa orang yang sudah meninggal dari segala macam puasa. Demikian pula yang menjadi pendapat sebagian penganut madzhab Syafi'i dan juga pendapat Ibnu Hazm (VII/ 2 dan 8).

Hanya saja, hadits-hadits yang bersifat umum ini dikhususkan lagi, dimana seorang wali tidak harus membayar puasa orang yang meninggal dunia kecuali puasa nadzar. Hal itu pula yang disampaikan oleh Imam Ahmad, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Masaa-ilul Imam Ahmad, riwayat Abu Dawud, hal. 96, dia bercerita, aku pernah mendengar Ahmad bin Hanbal mengatakan: "Tidak boleh dibayarkan hutang puasa orang yang sudah meninggal dunia, kecuali puasa nadzar." Abu Dawud mengemukakan, kukatakan kepada Ahmad: "Lalu bagaimana dengan puasa Ramadhan?" Dia menjawab: "Dibayar dengan memberi makan (orang miskin)."

Inilah pendapat yang menenteramkan jiwa dan melapangkan hati serta mendinginkan dada. Pendapat ini ditarjih oleh fiqih dalil, karena di dalamnya terkandung pengamalan terhadap semua hadits yang disebutkan mengenai hal tersebut tanpa adanya penolakan sedikit pun terhadapnya, dengan pemahaman yang benar terhadapnya, khususnya hadits pertama. Dimana 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma tidak memahami kemutlakan hal tersebut pada puasa Ramadhan dan yang lainnya, tetapi dia berpendapat untuk membayar dengan memberikan makan orang miskin. Dan itu merupakan riwayatnya dengan dalil, apa yang diriwayatkan oleh 'Umrah, bahwa ibunya meninggal dunia dengan memiliki hutang puasa Ramadhan. Dia bertanya kepada 'Aisyah: "Apakah aku harus membayarnya?" 'Aisyah menjawab: "Tidak. Tetapi, keluarkanlah sedekah sebagai gantinya setiap hari setengah sha' kepada orang miskin." Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam kitab Musykilul Aatsaar (III/ 142). Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhalla (VII/ 4). Lafazh di atas miliknya dengan sanad yang shahih.

Telah menjadi ketetapan bahwa perawi hadits ini lebih mengetahui apa yang diriwayatkannya dan memberikan penjelasan sebagai berikut: "Jika seseorang jatuh sakit pada bulan Ramadhan, kemudian dia meninggal dunia dan tidak mengerjakan puasa, maka puasanya itu dibayar dengan memberi makan orang miskin dan tidak ada kewajiban qadha' baginya. Dan jika dia mempunyai nadzar puasa, maka nadzar itu harus dibayar oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhalla (VII/ 7), dan dia menilai shahih sanadnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah perawi hadits kedua, khususnya dia meriwayatkan sebuah hadits yang di dalamnya ditegaskan tentang seorang wali yang membayar nadzar puasa untuk si mayit, "Bahwa Sa'ad bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana dia berkata: 'Sesungguhnya ibuku sudah meninggal sedang dia mempunyai hutang puasa?' Beliau bersabda: 'Bayarkanlah untuknya.' Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.

Uraian di atas sesuai dengan kaidah-kaidah syari'at dan dasar-dasarnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-'Allamah Ibnu Qayyim di dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin. Dan dia tambahkan keterangan dan tahqiqnya di dalam kitab Tahdziibu Sunan Abi Dawud (III/ 279-282). Silahkan buku tersebut dibaca, karena ia sangat penting.

4. Barangsiapa meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa nadzar, lalu hutang itu dibayarkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang sesuai dengan hari yang ditinggalkan, al-Hasan mengatakan: "Jika dibayarkan oleh tiga puluh orang, dimana setiap orang mewakili satu hari yang ditinggalkan, maka hal itu dibolehkan." (133)

Adapun memberi makan orang miskin maka dibolehkan bagi walinya untuk mengumpulkan orang-orang miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya sampai mereka kenyang. Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(127) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 166) dan Muslim (1146).

(128) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 189), dan disambungkan oleh 'Abdurrazzaq, ad-Daraquthni, dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih. Lihat juga buku Taghliiqut Ta'liiq (III/ 186).

(129) Lihat mengenai hal itu dalam buku Irwaa-ul Ghaliil (IV/ 95).

(130) Dan kami telah menambahkan penjelasan mengenai hal ini melalui penafsiran dari Syaikh kami, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat padanya.

(131) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 168) dan Muslim (1147).

(132) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 169) dan Muslim (1148).

(133) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 12) sebagai komentar. Dan disambung oleh ad-Daraquthni di dalam kitab Kitabul Mudabbaj. Sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Mukhtashar Shahih al-Bukhari (I/ 58).

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.