Friday 21 April 2017

Definisi I'tikaaf | Disyari'atkannya i'tikaaf | I'tikaaf

I'tikaaf.

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Pembahasan pertama.

Definisi I'tikaaf.

I'tikaaf berasal dari kata:

'Akafa - Ya'kufu - 'Ukuufan

Kemudian disebut dengan i'tikaaf:

I'takafa - Ya'takifu - I'tikaafan

I'tikaaf menurut bahasa ialah: "Menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan."

ALLOH berfirman:

Artinya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun ber'ibadah kepadanya?"
(Qur-an Suroh al-Anbiyaa': ayat 52)

I'tikaaf berarti: "Tekun dalam melakukan sesuatu. Karena itu, orang yang tinggal di masjid dan melakukan 'ibadah di sana, disebut mu'takif atau 'aakif." (2)

Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah: "Seseorang tinggal/ menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada ALLOH dengan sifat/ ciri tertentu."

Lihat kitab Fat-hul Baari 4/271, kitab Syaroh Muslim 8/66, kitab Mufrodaat Alfaazhil Qur-aan halaman 579, kitab ar-Roghib al-Ashfahani, kitab Muhalla 5/179.

Pembahasan kedua.

Disyari'atkannya i'tikaaf.

Para 'ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam pada bulan Romadhon dan bulan-bulan lainnya dan i'tikaaf yang paling utama adalah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Romadhon. Hal tersebut karena Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam selalu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits:

Hadits pertama:

Dari 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma, isteri Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam, ia berkata, "Adalah Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam biasa beri'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon, sampai Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam wafat, kemudian isteri-isteri Beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya."

(Hadits Riwayat Imam Ahmad 6/92, Imam al-Bukhori nomor 2026, al-Hafizh Ibnu Hajar - Fat-hul Baari 4/271, Imam Muslim nomor 1172 (5), Imam Abu Dawud nomor 2462, dan Imam al-Baihaqi 4/315, 320)

Hadits kedua:

Dari Ibnu 'Umar rodhiyaLLOOHU 'anhuma, ia berkata, "Adalah Rosulullloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon."

(Hadits Shohih Riwayat Imam al-Bukhori nomor 2025 dan Imam Muslim nomor 1171 (2))

Hadits ketiga:

Dari 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma, ia berkata, "Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon, maka Beliau) mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam itu, membangunkan isterinya."

(Hadits Shohih Riwayat Imam Ahmad 6/41, Imam al-Bukhori nomor 2024, Imam Muslim nomor 1174, Imam Abu Dawud nomor 1376, Imam an-Nasa-i 3/218, lafazh ini milik Imam al-Bukhori)

Maksud dari kalimat:

1. "Mengikat kainnya" adalah satu kinayah bahwa Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bersungguh-sungguh dalam ber'ibadah dan tidak bercampur dengan isteri-isterinya karena Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam selalu melakukan i'tikaaf setiap sepuluh hari terakhir dari bulan Romadhon sedangkan orang yang i'tikaaf tidak boleh bercampur dengan isterinya.

2. "Menghidupkan malamnya" artinya Beliau shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam sedikit sekali tidur dan banyak melakukan sholat dan berdzikir.

3. "Membangunkan isterinya" yakni menyuruh mereka sholat malam (Tarowih) serta melakukan 'ibadah-'ibadah lainnya.

Lihat dalam kitab Subulus Salam 2/351 karya Imam ash-Shon'aani, kitab Fiqhul Islam Syaroh Bulughul Maroom 3/257-258.

Hadits keempat:

'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma berkata, "Ialah Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bersungguh-sungguh dalam ber'ibadah pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Romadhon) melebihi kesungguhannya di malam-malam lainnya."

(Hadits Shohih Riwayat Imam Ahmad 6/256, dam Imam Muslim nomor 1175)

Setiap 'ibadah yang nash-nya sudah jelas dari al-Qur-an dan as-Sunnah yang shohih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya. Begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu merupakan taqorrub kepada ALLOH yang mempunyai keutamaan, akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menerangkan tentang keutamaannya.

Imam Abu Dawud as-Sijistani berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ahmad: 'Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf?' Jawab beliau: 'Tidak aku dapati, kecuali sedikit riwayat dan riwayat itu pun lemah.' Dan tidak ada khilaf (perselisihan) di antara 'ulama bahwa i'tikaaf adalah sunnah."

Lihat kitab al-Mughni 4/455-456.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(2) Lihat kitab an-Nihaayah fii Ghoriibil Hadiits 3/284 dan kitab Lisaanul 'Arob 9/341, cetakan Daar Ihyaa-ut Turots al-'Arobi.

===

Maraji'/ Sumber rujukan:

Judul buku: I'tikaaf, Penulis: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit: Pustaka 'Abdullah - Jakarta, Cetakan I, 1425 H/ 2004 M.