Sunday 30 April 2017

Sahur | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kesepuluh.

Sahur.

1. Hikmah Sahur.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan kita semua untuk berpuasa sebagaimana Dia telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Dia berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Pada awalnya, waktu dan hukumnya sama dengan apa yang ditetapkan bagi Ahlul Kitab, yaitu tidak boleh makan, minum, dan berhubungan badan setelah tidur. Artinya, jika salah seorang di antara mereka tidur, maka dia tidak makan sampai malam berikutnya. Hal tersebut juga diwajibkan bagi kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami jelaskan tadi (60). Dan setelah dinasakh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk sahur, sebagai upaya membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab:

Dari 'Amr bin al-'Ash radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Perbedaan antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab terletak pada makan sahur." (61)

2. Keutamaan Sahur.

a. Sahur adalah berkah.

Dari Salman radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Berkah itu terdapat pada tiga hal: Jama'ah, sayur, dan makan sahur." (62)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah memberikan berkah melalui sahur dan takaran." (63)

Dari 'Abdullah bin al-Harits, dari seorang Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia bercerita: "Aku pernah masuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedang beliau tengah sahur seraya berucap: 'Sesungguhnya sahur itu berkah yang diberikan oleh Allah pada kalian, karenanya janganlah kalian meninggalkannya.'" (64)

Sahur merupakan berkah yang sudah sangat jelas, karena ia merupakan tindakan mengikuti Sunnah Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam), sekaligus memperkuat diri dalam menjalankan puasa, menambah semangat untuk menjalankan puasa dan terus menambahnya karena ia terasa ringan. Selain itu, sahur sebagai upaya membedakan diri dari Ahlul Kitab, karena mereka puasa tanpa sahur. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutnya sebagai al-ghadaa' al-mubaarak (makanan penuh berkah), sebagaimana yang disebutkan di dalam dua hadits al-'Irbadh bin Sariyah dan Abud Dardak radhiyallahu 'anhuma:

"Mari makan al-ghadaa' al-mubaarak (makanan penuh berkah), yakni sahur." (65)

b. Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.

Berkah sahur yang paling agung adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melimpahkan ampunan kepada orang-orang yang makan sahur serta menuangkan rahmat-Nya kepada mereka. Di sisi lain, para Malaikat-Nya juga memohonkan ampunan bagi mereka seraya berdo'a agar Dia memberi maaf kepada mereka, agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan dari api Neraka oleh Allah yang Mahapermurah pada bulan al-Qur-an ini.

Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sahur adalah makanan penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur." (66)

Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang muslim tidak kehilangan pahala yang besar yang berasal dari Rabb yang Mahapenyayang ini.

Sebaik-baik makan sahur seorang mukmin adalah kurma.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sebaik-baik makan sahur seorang mukmin adalah kurma." (67)

Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak memiliki makanan apa-apa maka hendaklah dia berusaha sahur meski dengan seteguk air, karena alasan di atas dan juga karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air." (68)

3. Mengakhirkan Waktu Sahur.

Disunatkan mengakhirkan waktu makan sahur sampai waktu yang tidak jauh dari waktu terbit fajar. Sebab, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu pernah makan sahur. Setelah keduanya selesai makan sahur, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat menunaikan shalat. Jarak selesai makan sahur keduanya dan saat mengerjakan shalat seperti bacaan 50 ayat al-Qur-an yang dilakukan oleh seseorang.

Telah diriwayatkan dari Anas radhiyallahu 'anhu, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwasanya dia pernah berkata: "Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu beliau langsung berangkat shalat." Kutanyakan: "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Dia menjawab: "Kira-kira sama seperti bacaan 50 ayat." (69)

Ketahuilah, wahai hamba Allah, mudah-mudahan Allah membimbing engkau, bahwa engkau boleh makan, minum, dan melakukan hubungan suami isteri selama engkau masih merasa ragu akan terbitnya fajar sedang fajar sendiri belum tampak. Allah Jalla Jaluhu dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan batasan tabayyun (kejelasan waktu fajar), maka perhatikanlah. Selain itu, karena Allah Jalla Sya'-nuhu telah memberikan maaf atas suatu kesalahan dan kealpaan serta membolehkan makan, minum, dan hubungan suami isteri sehingga waktu fajar benar-benar jelas. Adanya keraguan itu berarti belum jelas, karena kejelasan itu adalah sebuah keyakinan yang tidak mengandung keraguan sama sekali. Karenanya, camkanlah!

4. Hukum Sahur.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluarkan perintah -yang diberikan penekanan- kepada orang yang hendak menunaikan ibadah puasa supaya makan sahur. Dimana beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda:

"Barangsiapa hendak berpuasa, maka hendaklah dia makan sahur dengan sesuatu." (70)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah." (71)

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan nilai sahur bagi ummatnya, dimana beliau bersabda:

"Perbedaan antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab terletak pada makan sahur." (72)

Selain itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang untuk meninggalkannya, dimana beliau bersabda:

"Sahur adalah makanan penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur." (73)

Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) juga bersabda:

"Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air." (74)

Dapat kami katakan, kami melihat ada perintah Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) di sini sebagai perintah yang bersifat penekanan sekaligus anjuran, dilihat dari tiga sisi:

a. Hal itu memang diperintahkan.

b. Sahur sebagai syi'ar puasa kaum Muslimin sekaligus sebagai pembeda antara puasa mereka dengan puasa pemeluk agama lain.

c. Larangan untuk meninggalkannya.

Hal itu merupakan keterikatan yang sangat kuat sekaligus dalil yang sangat jelas.

Dengan itu semua, di dalam kitab, Fat-hul Baari (IV/ 139), al-Hafizh Ibnu Hajar menukil ijma' yang menyunnahkan sahur. Wallaahu a'lam.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(60) Sebagai tambahan, silahkan baca beberapa buku tafsir berikut ini:

1. Zaadul Masiir (I/ 184), Ibnul Jauzi.

2. Tafsiir al-Qur-aan al-'Azhiim (I/ 213-214), Ibnu Katsir.

3. Ad-Durrul Mantsuur (I/ 120-121), as-Suyuthi.

(61) Diriwayatkan oleh Muslim (1096).

(62) Diriwayatkkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab, al-Kabiir (6127). Abu Nu'aim di dalam kitab, Dzikru Akhbaari Ashbihaan (I/ 57) dari Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu. Di dalam kitab, Majma'uz Zawaa-id (III/ 151), al-Haitsami mengatakan: "Di dalamnya terdapat Abu 'Abdillah al-Bashari, dimana adz-Dzahabi mengatakan: 'Dia tidak dikenal.' Dan rijal lainnya tsiqah." Hadits ini mempunyai satu syahid dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu) yang diriwayatkan oleh al-Khathib di dalam kitab, Muwadhah Auhaamil Jam'i wat Tafriiq (I/ 263). Sanad hadits ini hasan di dalam beberapa syahid.

(63) Diriwayatkan oleh asy-Syirazi di dalam kitab, al-Alqaab, sebagaimana terdapat di dalam kitab, al-Jaami'ush Shagiir (1715). Dan juga al-Khathib di dalam kitab, Muwadhah Auhaamil Jam'i wat Tafriiq (I/ 263) dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dengan sanad terdahulu.

Hadits ini hasan dalam beberapa syahidnya. Dan diperkuat pula oleh hadits sebelumnya. Diputihkan/ dicopy oleh al-Munawi di dalam kitab, Faidhul Qadiir (II/ 223), seakan-akan dia tidak berdiri pada sanadnya.

(64) Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (IV/ 145) dan Ahmad (V/ 270) dan sanadnya shahih.

(65) Sedangkan hadits al-Irbadh diriwayatkan oleh Ahmad (IV/ 126), Abu Dawud (II/ 303), an-Nasa-i (IV/ 145) melalui jalan Yunus bin Saif, dari al-Harits bin Ziyad, dari Abu Rahm, dari al-'Irbadh. Di dalamnya terdapat al-Harits, yang dia adalah seorang perawi yang majhul.

Adapun hadits Abud Darda' diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (223 -Mawaarid) melalui jalan 'Amr bin al-Harits, dari 'Abdullah bin Salam, dari Risydin bin Sa'ad. Dan Risydin adalah seorang yang dha'if.

Tetapi hadits ini mempunyai syahid lain dari hadits al-Miqdam bin Ma'di Karib, yang diriwayatkan oleh Ahmad (IV/ 133) dan juga an-Nasa-i (IV/ 146).

Dan sanadnya shahih; kalau dia selamat dari yang lainnya, maka sebenarnya dia dengan lantang telah menyampaikan hadits dari syaikhnya. Tetapi, apakah hal tersebut cukup memadai ataukah harus ada penyampaian hadits secara lantang pada seluruh tingkatan sanad. Lalu apakah dia termasuk dari mudallis taswiyah? Dengan demikian, hadits tersebut shahih.

(66) Takhrijnya telah diberikan sebelumnya.

(67) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/ 3030), Ibnu Majah (223), al-Baihaqi (IV/ 237), melalui beberapa jalan dari Muhammad bin Musa, dari Sa'id al-Maqbari dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Sanadnya shahih.

(68) Takhrij hadits ini juga sudah diberikan sebelumnya.

(69) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 118) dan Muslim (1097).

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab, Fat-hul Baari (IV/ 138) mengatakan: "Di antara kebiasaan masyarakat Arab adalah memperkirakan waktu dengan aktivitas mereka: "Kira-kira selama pemerahan susu kambing," dan disamakan dengan pemerahan unta (waktu yang berlangsung antara kedua pemerahan tersebut), "Seperti lama penyembelihan binatang." Oleh karena itu, Zaid memperkirakan waktu itu dengan bacaan al-Qur-an sebagai isyarat darinya bahwa waktu tersebut adalah waktu ibadah, dan aktivitas mereka adalah membaca al-Qur-an dan tadabbur.

(70) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (III/ 8), Ahmad (III/ 367), Abu Ya'la (III/ 438), al-Bazzar (I/ 465) melalui jalan Syuraik, dari 'Abdullah bin Muhammad 'Aqil, dari Jabir radhiyallahu 'anhu. Dan Syuraik adalah seorang yang dha'if. Hanya saja, hadits ini memiliki satu syahid yang mursal dari Sa'id bin Manshur, di dalam kitab Sunannya dengan lafazh: "Makan sahurlah meski hanya dengan satu suap saja."

Sebagaimana dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, di dalam kitab, Fat-hul Baari (IV/ 140). Hadits ini memiliki syahid lain, yaitu akan disampaikan setelah tiga hadits berikutnya.

(71) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IVG 120), dan Muslim (1095) dari Anas radhiyallahu 'anhu.

(72) Takhrijnya telah diberikan sebelumnya.

(73) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (III/ 8) dan Ahmad (III/ 112 dan III/ 44) melalui tiga jalan dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu. Dan sebagian memperkuat sebagian lainnya.

(74) Diriwayatkan oleh Abu Ya'la (3340) dari Anas radhiyallahu 'anhu. Di dalamnya terkandung kelemahan. Dan diperkuat oleh hadits 'Abdullah bin 'Amr yang ada pada Ibnu Hibban (no. 884), yang di dalamnya terdapat 'an'anah Qatadah. Hadits ini hasan.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.