Monday 24 April 2017

Kajian Kesebelas | Adab-adab Puasa yang Disunnahkan | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kesebelas.

Adab-adab Puasa yang Disunnahkan.

Segala puji bagi Allah, Dzat yang mengantarkan orang yang berharap untuk memperoleh sesuatu jauh di atas apa yang diharapkannya, dan memberi orang yang meminta melebihi apa yang diminta. Kami memuji Allah atas petunjuk yang dianugerahkan kepada kita, dan aku mengakui keesaan-Nya dengan pengakuan yang berdasarkan dalil dan dasar-dasarnya. Kami ucapkan do'a permohonan rahmat dan kedamaian untuk Nabi kami, Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sebagai hamba dan utusan-Nya, kepada shahabat setianya, Abu Bakar, yang senantiasa menemani beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam bepergian maupun ketika berada di kampung sendiri, kepada 'Umar yang selalu menjaga Islam dengan penuh keteguhan tanpa pernah kenal takut, kepada 'Utsman yang senantiasa bersabar terhadap bencana ketika menimpa, kepada 'Ali bin Abi Thalib yang berhasil membuat musuh takut karena keberaniannya sebelum berhasil mengalahkannya, serta kepada seluruh keluarga dan para shahabat yang telah pertama-tama menerima Islam, baik dalam persoalan dasar maupun cabang, dan mereka terus berpegang dengannya selama angin masih berhembus dari arah utara, selatan, barat dan timur.

Kesempatan ini akan kita gunakan untuk menjelaskan bagian kedua dari adab-adab puasa, yaitu adab-adab yang bersifat sunnah. Di antara adab-adab itu adalah sebagai berikut:

1. Makan sahur.

Yaitu makan di akhir malam. Dinamakan demikian karena hal itu dilakukan pada waktu sahar (waktu menjelang shubuh). Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan hal ini melalui sabda beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Bersahurlah, karena sesungguhnya ada berkah padanya." (Mutafaq 'alaih)

Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Amru bin Ash radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Yang membedakan puasa yang kita tunaikan dengan puasa yang dilakukan oleh ahli kitab adalah makan sahur."

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memuji makan sahur dengan menyantap kurma. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sebaik-baik makan sahurnya orang mukmin adalah kurma." (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud) (17)

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:

"Makan sahur itu berkah. Maka dari itu jangan tinggalkan sahur, sekalipun hanya meneguk air satu teguk. Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya mengucapkan shalawat (mendo'akan dan memberikan rahmat) kepada orang-orang yang makan sahur." (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Mundziri mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat) (18)

Sebaiknya orang yang makan sahur meniatkan diri untuk melaksanakan perintah dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan meneladani 'amalan beliau agar sahurnya benar-benar bernilai 'ibadah, dan juga berniat untuk menguatkan tubuh agar benar-benar mampu menjalankan puasa dengan sempurna sehingga dengan niat ini pula ia mendapatkan pahala. Sunnahnya adalah mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terbit fajar, karena itu adalah yang dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Qatadah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu:

Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Ketika mereka selesai dari makan sahur, maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bangkit menuju tempat shalat lalu mengerjakan shalat. Kami tanyakan kepada Anas: "Berapa lama rentang waktu antara selesainya mereka dari makan sahur dan masuknya mereka ke dalam shalat." Ia menjawab: "Lamanya kira-kira bila seseorang membaca lima puluh ayat." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Diriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa Bilal radhiyallaahu 'anhu mengumandangkan adzan di malam hari (adzan pertama), lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena ia tidak mengumandangkan adzan kecuali bila terbit fajar (adzan shubuh)." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Mengakhirkan makan sahur lebih mengenakkan bagi orang yang berpuasa dan lebih selamat dari tidur kembali sehingga bisa menyebabkan ketinggalan shalat shubuh. Orang yang berpuasa masih boleh makan dan minum, sekalipun setelah makan sahur selesai dan berniat mengerjakan puasa sehingga ia yakin betul bahwa fajar (shubuh) telah tiba. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Makan dan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (shubuh)." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 187)

Terbitnya fajar bisa diputuskan dengan cara menyaksikan terbitnya fajar itu di ufuk timur, atau berdasarkan informasi yang bisa terpercaya, dengan dikumandangkannya adzan dan lainnya. Jika fajar sudah terbit, maka ia harus menahan makan dan minum serta meniatkan puasa dengan hati, tanpa perlu melafalkannya, karena melafalkan niat adalah bid'ah.

2. Segera berbuka puasa.

Di antara adab puasa yang disunnahkan adalah segera berbuka puasa jika sudah dapat dipastikan terbenamnya matahari dengan menyaksikannya secara langsung atau sudah yakin bahwa matahari telah terbenam berdasarkan informasi dari orang yang terpercaya melalui pengumandangan adzan atau hal lainnya.

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'd radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa." (Mutafaq 'alaih)

Dalam hadits qudsi disebutkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang paling aku sukai adalah yang paling bersegera berbuka puasa." (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Imam at-Tirmidzi) (19)

Disunnahkan lagi agar berbuka puasa dengan menggunakan ruthab. Kalaupun tidak ada bisa menggunakan tamr (20). Jika tidak ada, bisa berbuka dengan air. Anas radhiyallaahu 'anhu berkata:

"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbuka puasa dengan menyantap beberapa ruthab sebelum melaksanakan shalat (maghrib). Jika tidak ada ruthab, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbuka dengan tamr. Jika tidak ada tamr, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam minum beberapa teguk air."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam at-Tirmidzi) (21)

Jika tidak ada ruthab, tamr, maupun air, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbuka puasa dengan makanan atau minuman apa saja yang ada, asalkan halal. Jika tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meniatkan berbuka dengan hati, namun tidak mengisap jari atau menghimpun air liur lalu menelannya, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang awam.

Hendaknya ia berdo'a ketika berbuka puasa dengan do'a yang disukainya. Dalam kitab Sunan Ibni Majah disebutkan riwayat bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya orang yang berpuasa itu punya kesempatan berdo'a yang tidak akan tertolak, yaitu ketika ia berbuka puasa."

Dalaam kitb Majma-uz Zawa'id disebutkan bahwa sanad hadits ini shahih. (22)

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Mu'adz bin Zuhrah secara mursal marfu' bahwa ketika berbuka, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdo'a:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Allaahumma laka shumtu wa 'ala rizqika af-thartu
"Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan atas rezeki-Mu aku berbuka." (23)

Dalam hadits Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jika buka puasa, berdo'a:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhama-u wabtallatil uruuqu wa tsabatal ajru in-syaa allaah
"Dahaga telah lenyap, urat-urat menjadi basah dan jika Allah menghendaki akan mendapat pahala." (24)

3. Banyak membaca al-Qur-an, berdzikir, berdo'a, shalat dan sedekah.

Adab puasa lainnya yang disunnahkan adalah banyak membaca al-Qur-an, berdzikir, berdo'a, shalat dan sedekah. Dalam kitab Shahih Ibni Khuzaimah dan kitab Shahih Ibni Hibban disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Ada tiga golongan yang do'a mereka tidak akan tertolak: orang yang berpuasa sehingga ia berbuka, imam yang adil, dan do'a orang yang dizhalimi. Allah mengangkat do'a mereka di atas awan lalu membukakan untuknya pintu-pintu langit, lalu Allah berfirman: 'Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan menolongmu walau beberapa saat kemudian'." (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Imam at-Tirmidzi) (25)

Dalam kitab Shahihain disebutkan riwayat hadits dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berada di bulan Ramadhan pada saat Jibril mengecek kembali al-Qur-an yang telah dihafal oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Sungguh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam itu jauh lebih dermawan daripada angin yang berhembus cepat (yang memberi manfaat sangat luas, -ed)."

Kedermawanan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam itu meliputi segala bentuk kedermawanan, mulai dari mencurahkan 'ilmu, mengorbankan jiwa dan harta karena Allah di dalam membela dan memenangkan agama-Nya dan memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya, memberikan manfaat kepada orang lain dengan segala cara yang bisa dilakukan, dengan cara mengajar mereka yang masih jahil (bodoh), memenuhi kebutuhan mereka, dan memberi makan mereka yang lapar. Kedermawanan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ini terus bertambah pada bulan Ramadhan disebabkan karena kemuliaan waktu, berlipatgandanya pahala serta membantu orang-orang yang beribadah untuk meningkatkan ibadah mereka. Penyatuan antara puasa dan memberi makan merupakan bagian dari penyebab masuk Surga.

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa di antara kalian yang berpuasa pada hari ini?" Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu menjawab, "Aku." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda lagi: "Siapa di antara kalian yang pada hari ini mengiringi jenazah?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda lagi: "Siapa di antara kalian yang pada hari ini telah menjenguk orang sakit?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda: "Tidaklah amalan-amalan itu terhimpun pada diri seseorang melainkan ia akan masuk Surga."

4. Mengingat agungnya nikmat puasa.

Adab puasa lainnya yang disunnahkan adalah agar orang yang berpuasa mengingat betapa agungnya nikmat Allah yang dianugerahkan kepadanya dengan cara menjalankan puasa, dimana Allah telah memberikan kemudahan dan petunjuk oleh oleh Allah sehingga ia bisa menyempurnakan puasanya di hari itu dan merampungkan puasanya di bulan itu. Sebab, banyak orang yang tidak sempat menjalankan puasa, entah karena meninggal sebelum bertemu dengan bulan Ramadhan, atau karena tidak menjalankannya, atau karena kesesatan dan keberpalingan mereka dari melaksanakan puasa. Maka dari itu hendaklah orang yang berpuasa itu memuji Allah atas nikmat puasa yang merupakan penyebab datangnya ampunan dari Allah, penghapusan dosa, serta pengangkatan derajat di dalam Surga di sisi Rabb yang mulia.

Saudara-saudaraku! Berpeganglah dengan adab-adab puasa, dan tinggalkanlah segala penyebab murka Allah. Berhiaslah dengan karakter kaum salaf yang mulia, karena ummat yang ada sekarang ini akan menjadi baik bilamana meniti langkah yang pernah ditempuh oleh para pendahulunya dengan cara melaksanakan ketaatan dan menjauhi dosa-dosa dan kemaksiatan.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullaah berkata bahwa orang-orang yang berpuasa itu ada dua tingkatan: salah satunya mereka yang meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya semata karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan mengharap pahala di sisi-Nya sebagai ganti dan balasannya di Surga. Ini adalah orang yang berdagang dengan Allah. Dan memang Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik, di samping juga tidak akan membuat rugi orang yang beramal. Bahkan Allah akan memberikan laba (keuntungan). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya engkau tidak meninggalkan sesuatu (berpuasa) karena ketakwaan kepada Allah melainkan Allah pasti akan memberimu yang lebih baik darinya." (Hadits Riwayat Imam Ahmad) (26)

Orang yang berpuasa di dalam Surga nanti akan diberi makanan dan minuman apa saja yang mereka suka, dan juga wanita. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "(Kepada mereka dikatakan): 'Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu'." (Qur-an Surat al-Haqqah (69): ayat 24)

Mujahid dan lainnya mengatakan: "Ayat ini turun mengenai orang-orang yang berpuasa."

Dalam hadits 'Abdurrahman bin Samurah yang dimimpikan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Aku lihat seseorang dari ummatku menjulur-julurkan lidahnya karena haus. Setiap kali ia mendekat ke telaga, ia dihalangi dan diusir darinya, sampai akhirnya ia didatangi oleh puasa Ramadhan yang kemudian memberinya minum dan menghilangkan rasa hausnya."
(Hadits Riwayat Imam Thabrani) (27)

Tidakkah kita mau bermunajat kepada Dzat yang Maha Pemurah di bulan Ramadhan ini?! Tidakkah kita mau terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang patuh di dalam Surga yang menjadi idaman kelak?!

Siapa yang menginginkan kerajaan Surga
Jangan lagi berlambat-lambat
Segeralah bangkit di kegelapan malam
Menuju cahaya al-Qur-an
Sambungkan satu puasa dengan puasa berikutnya
Hidup ini adalah fana
Hidup yang sebenarnya ada di sisi-Nya
Di kampung kedamaian

Sedangkan tingkatan yang kedua adalah orang yang berpuasa di dunia dengan meninggalkan segala hal selain Allah, sehingga ia akan menjaga kepala dengan segala pikiran di dalamnya, perut dengan segala isinya, selalu mengingat mati, serta selalu menghendaki akhirat dan meninggalkan perhiasan dunia. Hari rayanya orang seperti ini adalah ketika ia bertemu dengan Rabbnya dan kegembiraannya adalah ketika ia melihat Allah secara langsung.

Siapa yang menjalankan puasa ata perintah Allah dengan menahan diri dari syahwatnya di dunia, maka ia kelak akan mendapatkannya di Surga. Siapa yang berpuasa semata karena Allah, maka hari rayanya adalah pada hari ketika ia bertemu dengan-Nya. "Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qur-an Surat al-'Ankabut (29): ayat 5)

Wahai orang-orang yang bertaubat, berpuasalah pada hari ini dengan menahan diri dari segala keinginan hawa nafsu agar kalian bisa mendapatkan hari raya ketika bertemu dengan-Nya.

Ya Allah, hiasilah batin kami dengan keikhlasan kepada-Mu, perbaikilah amalan ini dengan mengikuti Rasul-Mu dan beradab dengan adab-adab Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Ya Allah, bangunkanlah kami dari kelengahan dan selamatkan kami dari jurang kehinaan. Hapuskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dengan keluasan rahmat-Mu, wahai Dzat Pemberi rahmat yang terbaik. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabat seluruhnya.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(17) Sanada hadits ini hasan, akan tetapi mempunyai syawahid yang mengangkatnya sampai kepada tingkatan shahih.

(18) Bagian pertama dari matan hadits ini mempunyai syahid (hadits penguat) dalam kitab Shahihain.

(19) Sanad hadits ini dha'if. Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.

(20) Yang dinamakan ruthab adalah kurma matang sebelum menjadi tamr.

(21) Sanad hadits ini hasan.

(22) Sebagian 'ulama melemahkan hadits ini. Penyebab perbedaan pendapat mereka mengenai keshahihan hadits ini adalah perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan salah seorang rawinya. Namun demikian, hadits ini mempunyai syawahid mengenai dikabulkannya do'a orang yang berpuasa secara mutlak. Dengan demikian, hadits ini paling tidak memiliki derajat hasan.

(23) Mu'adz bin Zuhrah adalah seorang tabi'in yang dianggap tsiqah oleh Imam Ibnu Hibban. Hadits ini dha'if karena kemursalannya, akan tetapi ia mempunyai syawahid yang bisa menguatkannya.

(24) Sanadnya hasan.

(25) Hadits ini mengandung kelemahan, akan tetapi sebagiannya mempunyai syawahid yang menguatkannya.

(26) Hadits shahih.

(27) Hadits ini dha'if isnadnya. Akan tetapi Imam Ibnul Qayyim setelah membawakan hadits ini secara utuh dalam kitab ar-Ruh, mengatakan: "Aku telah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengagungkan hadits ini, dan beliau mengatakan bahwa dasar-dasar Sunnah menguatkan bobot hadits ini, dan ia termasuk hadits yang paling hasan."

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam, Solo - Indonesia, Cetakan V, 2012 M.

===

Disalin dari buku milik Abu Reza Taufik al-Batawy, semoga Allah menjaga dan memudahkan segala urusan kebaikannya.