Sunday 23 April 2017

Niat | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kedelapan.

Niat.

1. Wajib Berniat Pada Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar.

Jika datangnya bulan Ramadhan telah dipastikan melalui penglihatan mata, kesaksian atau penyempurnaan bilangan, maka setiap orang muslim yang mukallaf berkewajiban untuk meniatkan puasanya pada malam hari. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya." (36)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Barangsiapa tidak berniat puasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya." (37)

Niat itu letaknya ada di dalam hati dan melafazhkannya adalah bid'ah sesat sekalipun orang-orang melihatnya baik. Dan pernyataan niat itu hanya khusus pada puasa wajib saja, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma) di luar bulan Ramadhan seraya bertanya: "Apakah kalian punya persediaan makanan? Jika tidak, berarti aku berpuasa." (38)

Hal seperti itu juga bisa dilihat dari praktek yang dijalankan oleh para Shahabat: Abud Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu 'anhum. Dan mudah-mudahan kita juga dikumpulkan bersama mereka di bawah bendera Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (39)

Yang demikian itu terjadi pada puasa sunnat, sehingga menunjukkan wajibnya menyatakan niat sebelum terbit fajar pada puasa wajib dan tidak pada puasa sunnat. Wallaahu a'lam.

2. Kemampuan Menjadi Dasar Taklif (Pembebanan Tugas).

Barangsiapa sempat menjumpai bulan Ramadhan sedang dia tidak mengetahuinya sehingga dia makan dan minum di siang hari dan setelah itu dia mengetahuinya, maka hendaklah dia menahan diri dari makan dan minum serta tetap menyelesaikan puasanya dair waktu yang tersisa, hal itu cukup baginya. Dan bagi orang yang tidak makan, agar menahan diri untuk tidak makan dan hendaklah berpuasa. Di sini, niat sebelum fajar bukan sebagai satu syarat baginya, karena dia tidak mampu melakukannya. Di antara dasar pokok syari'at yang telah ditetapkan, menyebutkan bahwa kemampuan itu merupakan dasar diberikannya taklif.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk mengerjakan puasa 'Asyura'. Setelah puasa Ramadhan itu diwajibkan, maka diberi kebebasan, bagi yang mau boleh berpuasa dan bagi yang mau, juga boleh berbuka (tidak berpuasa)." (40)

Dari Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan seseorang dari Aslam agar mengumumkan kepada orang-orang, bagi yang sudah sempat makan maka hendaklah dia tetap berpuasa dari sisa hari yang ada. Sedangkan bagi yang tidak memakan makanan, maka hendaklah dia berpuasa, karena hari ini adalah hari 'Asyura'." (41)

Demikianlah, hari 'Asyura' yang sempat diwajibkan dan kemudian dihapuskan. Mereka telah diperintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum pada siang hari dan hal itu boleh mereka lakukan. Sedangkan puasa Ramadhan adalah wajib, dan hukum wajib itu tidak berubah-ubah.

3. Sebagian Ulama Menentang Pendapat Tersebut dan Menyatakan Harus Mengqadha'.

Puasa 'Asyura' itu bukan suatu hal yang wajib. Ketahuilah saudaraku seiman, sekumpulan dalil yang menjelaskan bahwa puasa 'Asyura' itu sebelumnya wajib (adalah) karena adanya perintah mengerjakannya, sebagaimana yang disebutkan di dalama hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma. Kemudian diperkuat dengan seruan yang bersifat umum, lalu diperkuat lagi dengan perintah kepada orang yang makan untuk menghentikan makannya sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Salamah bin al-Akwa' di atas dan juga hadits Muhammad bin Shaifi al-Anshari, dia bercerita: "Pada hari 'Asyura', Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami seraya bersabda: 'Apakah kalian berpuasa pada hari kalian ini?' Sebagian dari mereka menjawab: 'Ya.' Dan sebagian lagi menjawab: 'Tidak.' Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) pun bersabda: 'Sempurnakanlah puasa pada sisa waktu kalian hari ini.' Dan beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) juga memerintahkan mereka untuk mengumumkan kepada penduduk sekitar Madinah agar mereka menyempurnakan puasa pada sisa hari ini." (42)

Perbedaan pendapat tersebut diakhiri oleh ungkapan Ibnu Mas'ud (radhiyallahu 'anhu) (43), "Setelah puasa Ramadhan diwajibkan, maka puasa 'Asyura' ditinggalkan." Dan juga keterangan 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma) (44), "Setelah perintah puasa Ramadhan turun, sedang puasa Ramadhan itu yang diwajibkan, maka puasa 'Asyura' pun ditinggalkan."

Namun demikian, hukum sunnat puasa 'Asyura' itu tidak ditinggalkan, bahkan ijma' ulama menyatakan hukum sunnat puasa 'Asyura', sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 246) dari Ibnu 'Abdil Barr, sehingga keberadaannya tetap dipertahankan. Dan hal itu menunjukkan bahwa yang ditinggalkan adalah hukum wajibnya. Wallaahu a'lam.

Yang lainnya mengatakan, "Kalau memang puasa 'Asyura' itu sebelumnya wajib, maka kewajiban itu kini sudah dinasakh (dihapuskan). Dan dihapus pula bersamanya hukum-hukumnya. Yang pasti, bahwa hadits-hadits tentang 'Asyura' ini menunjukkan beberapa hal, yaitu:

a. Hukum wajib puasa 'Asyura'.

b. Bahwa orang yang tidak berniat pada puasa wajib sebelum terbit fajar karena ketidaktahuannya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya.

c. Orang yang terlanjur makan dan minum, kemudian dia mengetahui datangnya bulan puasa, maka hendaklah dia menghentikan makan dan minumnya dan tetap melanjutkan puasanya dari waktu yang tersisa dan tidak ada kewajiban mengqadha' baginya.

Yang dihapuskan adalah point pertama, sehingga puasa itu menjadi sunnat, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Adanya penghapusan hukum wajibnya tidak mengharuskan penghapusan hukum-hukumnya yang lain. Wallaahu a'lam.

Mereka berdalil pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (2447) dan Ahmad (V/ 409) melalui jalan Qatadah dari 'Abdurrahman bin Salmah, dari pamannya, bahwa penduduk Aslam pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya: "Apakah kalian puasa pada hari ini?" Mereka menjawab: "Tidak." Maka beliau bersabda: "Kalau begitu, sempurnakanlah puasa kalian dari sisa hari ini dan qadha'lah ia."

Ini adalah hadits dha'if, yang di dalamnya terkandung dua 'illat, yaitu: Majhulnya 'Abdurrahman bin Salmah. Mengenai dirinya ini, di dalam kitab al-Miizaan (II/ 567), adz-Dzahabi mengatakan: "Tidak dikenal." Sedangkan al-Hafizh di dalam kitab at-Tahdziib (VI/ 239) mengatakan: "Kondisinya majhul (tidak diketahui)." Dan disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab al-Jarh wat Ta'diil (V/ 288), dan dia tidak menyebutkan jarh dan ta'dil pada dirinya.

Mengenai dirinya, Qatadah telah meng'an'anahnya (penyebutan: Dari fulan, dari fulan dari fulan, dan seterusnya), dan dia sebagai seorang mudallis.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(36) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2454), Ibnu Khuzaimah (1933), al-Baihaqi (IV/ 202) melalui jalan Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai'ah dan Yahya bin Ayyub dari 'Abdullah bin Abi Bakar bin Hazm, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin 'Abdillah, dari ayahnya, dari Hafshah (radhiyallahu 'anha).

Dan dalam lafazh milik ath-Thahawi di dalam kitab Syarhu Ma'aani al-Aatsaar (I/ 54): "Yubayyit", melalui jalan yang sama. Juga diriwayatkan oleh an-Nasa-i (IV/ 196), at-Tirmidzi (730) melalui jalan lain dari Yahya dan sanadnya shahih.

(37) Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (IV/ 196), al-Baihaqi (IV/ 202), Ibnu Hazm (VI/ 162) melalui jalan 'Abdurrazzaq, dari Ibnu Juraij, tetapi hadits ini shahih dengan apa yang sebelumnya.

(38) Diriwayatkan oleh Muslim (1154).

(39) Lihat hal tersebut dan juga takhrijnya di dalam kitab, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 144-147).

(40) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 212) dan juga Muslim (1125).

(41) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 216) dan juga Muslim (1135).

(42) Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (III/ 389), Ahmad (IV/ 388), an-Nasa-i (IV/ 192), Ibnu Majah (I/ 552), ath-Thabrani di dalam kitab, al-Kabiir (XVIII/ 238) melalui jalan asy-Sya'bi. Sanad hadits ini shahih.

(43) Diriwayatkan oleh Muslim (1127).

(44) Diriwayatkan oleh Muslim (1125).

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.