Wednesday 12 April 2017

Wajibnya ber-ittiba' kepada Rasulullah dan haramnya berbuat bid'ah dalam agama | Menjadikan al-Qur-an sebagai dasar hukum dan as-Sunnah sebagai penjelasnya dan memahami keduanya dengan pemahaman para Shahabat | Wajibnya memulangkan seluruh perselisihan kepada al-Qur-an dan as-Sunnah | Alam jin menurut al-Qur-an dan as-Sunnah

Alam jin menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.
Bantahan terhadap buku Dialog dengan jin Muslim.

Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat.

Bab kedua.

Kaidah-kaidah syari'at.

Kaidah kedua:

Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Barangsiapa yang mengerjakan suatu 'amal yang tidak ada keterangannya dari kami (dasar dari al-Kitab dan as-Sunnah), maka tertolak." (31)

Maksudnya bahwa seseorang tidak boleh mengerjakan sesuatu 'amal kecuali ada keterangannya dari Kami yaitu Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Kata "amal" di atas disebutkan dengan bentuk naqirah (umum), berarti 'amal apa saja, baik itu yng berbentuk keyakinan, 'aqidah, 'amaliah, suluk, dan sebagainya. Hadits ini merupakan kaidah yang sangat besar, sehingga para imam kita, di antaranya Imam an-Nawawi rahimahullaah menganjurkan kaum muslimin untuk menghafal hadits ini untuk membatalkan segala macam bentuk bid'ah dari kaum mubtadi' (ahli bid'ah).

Kaidah ketiga:

Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang biasa bacakan dalam khutbatul hajjah (32):

Maka sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara agama yang baru dan setiap yang baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka.

Hadits yang mulia ini memberikan beberapa qawa'idul 'ilmiah (kaidah-kaidah ilmiah) kepada kaum muslimin:

Pertama, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur-an). Akan tetapi tidak cukup sampai di situ, kemudian dilanjutkan dengan yang kedua:

Kedua, dan sebaik-baik petunjuk, adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Maksudnya adalah bahwa al-Qur-an ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, al-Qur-an dijelaskan oleh Sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Sehingga seseorang tidak akan bisa memahami al-Qur-an tanpa petunjuk dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Kemudian, petunjuk beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ini (as-Sunnah) tidak bisa dipahami dan dilaksanakan, kecuali dengan perantara para Shahabat beliau ridhwanullahu 'alaihim jami'an. Tanpa penjelasan para Shahabat, pasti kita akan tersesat dan menyesatkan. Dalam sebuah hadits, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

Berpegang teguhlah di atas Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin al-mahdiyin, pegang dan gigit dengan gigi gerahammu. (33)

Maknanya adalah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan dan menyampaikan al-Qur-an kepada ummatnya. Dan penyambung lidah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah sunnahnya para khulafaur rasyidin al-mahdiyin (yaitu Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, dan 'Ali radhiyallaahu 'anhum). Dalam hadits di atas beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak mencukupkan hanya dengan mengatakan, "Fa'alaikum bi sunnati (hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku)" saja, akan tetapi beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lanjutkan dengan sunnah para khulafaur rasyidin al-Mahdiyin.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lah yang menjelaskan al-Qur-an ini dan inilah yang dinamakan sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Oleh sebab itu diwajibkan bagi setiap muslim untuk berpegang teguh dengan sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Darimana kita mengetahui sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam? Tentu dari para khulafaur rasyidin al-mahdiyin, kemudian disambung oleh para Shahabat yang lainnya. Karena merekalah yang akan menjelaskannya. Mereka berempat (Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, 'Ali) mewakili sekalian para Shahabat. Dan dalam hadits lain, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

Apa-apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya. (34)

Hadits itu saling menafsirkan antara satu dengan yang lainnya (yufassiru ba'duhu ba'dhan). Dan dalm hadits yang lain, dengan lafazh:

Al-jama'ah. (35)

Para 'ulamaa menafsirkannya dengan "para Shahabat".

Ketiga, dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan, atau yang tidak ada petunjuknya dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebagai pembawa risalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara agama yang baru dan setiap yang baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesataan itu tempatnya di Neraka.

Sabda beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ini, memperingatkan kepada kita akan suatu urusan yang sangat besar, yakni perkara yang muhdats. Muhdats itu adalah perkara yang baru yang diada-adakan oleh manusia dan itulah yang disebut dengan bid'ah. Jadi bid'ah adalah sesuatu yang baru, yang tidak ada contohnya sebelumnya. Begitulah definisi bid'ah secara lughah (bahasa).

Adapun menurut istilah, adalah suatu perbuatan atau perkataan atau amalan, baik merupakan keyakinan atau perbuatan atau cara-cara tertentu yang disandarkan kepada agama, padahal tidak ada keterangan atau contoh dari agama, yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa 'Ala, inilah definisi bid'ah. (36)

Dari sinilah, maka seorang muslim diwajibkan beramal dengan mendasarkan kepada Kitabullah (al-Qur-an) dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan cara mengikuti jejak para Shahabat beliau ridhwanullahu 'alaihim ajma'in. Apabila tidak demikian, mak amalan tersebut tidak akan diterima atau batal.

Kaidah keempat:

Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah berfirman dalam al-Qur-an:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(Qur-an Surah an-Nisa': ayat 59)

Ayat yang mulia ini memerintahkan kepada setiap muslim untuk mengembalikan segala urusan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Sehingga apabila seseorang berselisih tentang sesuatu hal, maka ia akan mengembalikan perselisihan itu kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Ada atau tidak dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Jadi, setiap perbedaan pendapat harus ada penyelesaiannya, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ini adalah salah satu kaidah yang sangat besar sekali dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Masih banyak lagi kaidah-kaidah yang lain yang patut dan wajib diketahui oleh setiap muslim. Kesimpulannya, kita harus selalu merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang sah menurut pemahaman salafush shalih (para imam salaf yang shalih). Dan pemahaman para imam salaf yang shalihlah yang menjadi ukuran dan dasar bagi kita dalam memahami al-Qur-an dan as-Sunnah.

Sampai di sini dua buah muqaddimah yang mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita sekalian.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(31) Hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma yang sangat agung, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahiih-nya nomor 1718.

(32) Yaitu khutbah pembukaan yang Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa membuka khutbahnya dengan khutbah tersebut, contohnya secara lengkap lihat di awal muqaddimah. Adapun rinciannya silahkan lihat kitab al-Masaa-il jilid 1 halaman 1 (masalah 1).

(33) Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud nomor 4607, Imam at-Tirmidzi nomor 1718, Imam Ibnu Majah nomor 42, Imam Ahmad, Imam al-Hakim, Imam Ibnu Hibban dan yang lainnya banyak sekali, dari hadits 'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu 'anhu. Imam at-Tirmidzi berkata: Hadits hasan shahih.

(34) Ini merupakan penggalan dari hadits Iftiraaqul Ummah dari jalan 'Abdullah bin 'Amru bin al-'Ash dengan lafazh sebagai berikut:

Dari 'Abdullaah bin 'Amru radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka, kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah," (para Shahabat) bertanya, "Siapa mereka wahai Rasulullah?" Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjawab, "Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya."

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud nomor 4596 dan ini lafazhnya, Imam at-Tirmidzi nomor 2640, Imam Ibnu Majah nomor 3991, Imam Ahmad 2/332, Imam Ibnu Hibban nomor 1834 -al-Mawaarid, Imam al-Hakim 1/128, Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab as-Sunnah nomor 66 dan yang lainnya lihat kitab al-Masaa-il jilid 4 -belum dicetak-. Dan lihat pula kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah nomor 204.

(35) Ini juga merupakan penggalan dari hadits Iftiraaqul Ummah yang diriwayatkan oleh 'Auf bin Malik dan Mu'awiyyah dengan lafazh sebagai berikut:

Dari 'Auf bin Malik radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Dan yahudi berpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu masuk Surga dan yang tujuh puluh di Neraka. Dan nasrani berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu di Surga, dan yang tujuh puluh dua golongan di Neraka," ditanyakan kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjawab, "al-Jama'ah."

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah nomor 3992, dan Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab as-Sunnah nomor 63 dengan sanad yang hasan sebagaimana yang dikatakan oleh penulis, lihat kitab al-Masaa-il jilid 4 -belum dicetak- oleh penulis, dan lihat juga kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam al-Albani nomor 1492.

Adapun riwayat Mu'awiyyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu 'anhu, maka lafazh lengkapnya adalah sebagai berikut:

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab berpecah menjadi tujuh puluh dua millah (golongan) dan sesungguhnya millah (agama) ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang tujuh puluh dua (golongan) di Neraka dan yang satu di Surga, yaitu: al-Jama'ah.

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud nomor 4597 dan ini lafazhnya, Imam Ahmad 4/102, Imam ad-Darimi 2/158, Imam al-Hakim 1/128, dan yang lainnya, dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis dalam kitab al-Masaa-il jilid 4 -belum dicetak-. Namun dengan semua jalan-jalan hadits ini dapat naik derajatnya menjadi shahih, bahkan mutawatir. Karena hadits Iftiraaqul Ummah ini telah diriwayatkan dari banyak Shahabat, seperti: Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Mu'awiyyah, Abu Darda, Waatsilah bin al-Asyqa', Ibnu Mas'ud, Sa'ad bin Abi Waqqas radhiyallaahu 'anhum. Wallaahu a'lam.

Adapun hadits yang menyelisihinya yaitu hadits yang berbunyi:

Ummatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya di Surga kecuali kaum zindiq.

Maka sesungguhnya hadits ini maudhu' (palsu), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitb al-Maudhu'at 1/267, Imam Ibnu 'Araq dalam kitab Tanzihusy Syari'ah 'Anil Ahaditsil Maudhu'ah, Imam asy-Syaukani dalam kitab al-Fawaa-id, Imam as-Suyuthi dalam kitab al-La-aali al-Mashnuu'ah dan Imam al-Albani dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha'iifah wal maudhu'ah 3/124-126 nomor 1035 dan yang lainnya.

(36) Lihat kitab Iqtidha Shirathal Mustaqim 2/98, kitab Majmu' Fatawa 4/107-108, dan kitab al-I'tisham 1/38-45 atau dalam kitab penulis yang berjudul Risalah Bid'ah halaman 23.

===

Maraji'/ sumber:

Buku: Alam jin menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, bantahan terhadap buku Dialog dengan jin Muslim, Penulis: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah, Penyusun: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullah, Penerbit: Darul Qolam - Jakarta, Cetakan kedua, Tahun 1425 H/ 2004 M.