Sunday 23 April 2017

Waktu Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kesembilan.

Waktu Puasa.

Para Shahabat Nabi yang ummi -Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam- jika berpuasa lalu tiba waktu berbuka, maka mereka makan dan minum serta mencampuri isteri-isteri mereka selama mereka belum tidur. Tetapi jika ada salah seorang di antara mereka tidur sebelum makan malam, maka dia tidak diperbolehkan melakukan sedikit pun hal-hal di atas. Kemudian rahmat Allah yang Mahamulia memberi keleluasaan bagi mereka, dimana mereka diberikan keringanan untuk melakukan hal tersebut, sebagaimana yang diuraikan oleh hadits berikut ini:

Dari al-Barra' radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika seseorang berpuasa, lalu waktu berbuka tiba, maka dia mengerjakan shalat sebelum berbuka, dia tidak makan sepanjang malam dan juga siang harinya sampai sore hari tiba. Dan Qais bin Shirmah al-Anshari pernah mengerjakan puasa. Ketika mendatangi isterinya, dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau mempunyai makanan?" Isterinya menjawab: "Tidak, tetapi aku akan pergi dan mencarikan makanan untukmu." Pada hari itu dia bekerja keras sehingga kedua matanya pun tidak bisa menahan rasa kantuk. Dan ketika isterinya datang dan melihatnya tertidur, maka sang isteri pun berkata: "Engkau kurang beruntung." Dan ketika siang hari tiba, dia tidak sadarkan diri. Kemudian hal tersebut diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu turunlah ayat ini:

"Dihalalkan bagimu pada malam bulan puasa bercampur dengan isterimu."

Maka mereka pun benar-benar gembira. Dan kemudian turun pula ayat:

"Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah: 187) (45)

Demikianlah rahmat Rabbani yang dilimpahkan oleh Allah yang Mahapenyantun lagi Mahapenyayang kepada hamba-hamba-Nya yang taat yang selalu mengatakan, "Kami senantiasa mendengar dan mentaati. Berikanlah ampunan kepada kami, ya Rabb kami, dan hanya kepada-Mu kami kembali." Rahmat-Nya ini telah memberikan pembatasan waktu bagi orang yang berpuasa, awal dan akhir waktunya, yaitu dimulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

1. Benang Putih dan Benang Hitam.

Setelah ayat di atas turun, para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sengaja mengambil tali hitam dan tali putih (46) dan meletakkannya di bawah bantal mereka atau salah seorang dari mereka mengikatkannya di kakinya, dan dia masih tetap bebas makan dan minum sehingga terlihat jelas olehnya kedua tali tersebut.

Dari 'Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Ketika turun ayat: 'Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar,' aku mengambil tali hitam dan juga tali putih, lalu meletakkannya di bawah bantalku, kemudian aku melihatnya pada malam hari dan keduanya tidak tampak olehku. Selanjutnya aku berangkat menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu, maka beliau bersabda: 'Yang dimaksudkan adalah hitamnya malam dan putihnya siang.'" (47)

Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Ketika ayat ini turun: 'Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar,' dia bercerita: 'Jika ada seseorang yang hendak berpuasa maka salah seorang di antara mereka mengikatkan tali pada kedua kakinya, benang putih dan benang hitam. Dan dia masih bebas makan dan minum sampai tampak jelas olehnya kedua benang tersebut. Dan setelah itu, turunlah ayat: 'Yaitu fajar.' Kemudian mereka mengetahui bahwa yang dimaksudkan adalah malam dan siang.'" (48)

Setelah adanya penjelasan al-Qur-an dan keterangan Rabbani tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berusaha menjelaskan batas pembedaan hitam dan putih tersebut kepada para Shahabatnya, sehingga tidak meninggalkan ruang keraguan dan ketidaktahuan.

Seorang penya'ir mengungkapkan:

"Tidak ada yang benar sedikitpun di dalam pikiran,
jika siang memerlukan petunjuk."

2. Dua Macam Fajar.

Di antara hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara rinci terdapat keterangan yang menerangkan bahwa fajar itu ada dua, yaitu:

a. Fajar kadzib, yaitu fajar dimana shalat Shubuh tidak sah untuk dilakukan dan tidak pula diharamkan bagi orang yang akan berpuasa untuk makan dan minum pada waktu itu.

b. Fajar shadiq, yaitu saat dimana orang yang berpuasa diharamkan untuk makan dan minum dan dihalalkan untuk mengerjakan shalat Shubuh.

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Fajar itu ada dua: Adapun fajar yang pertama, makanan tidak diharamkan dan tidak diperbolehkan mengejakan shalat. Sedangkan fajar yang kedua, makanan diharamkan dan dibolehkan mengerjakan shalat Shubuh." (49)

Ketahuilah saudaraku, bahwa:

a. Fajar kadzib: Berwarna putih panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.

b. Fajar shadiq: Berwarna merah yang naik dan muncul dari puncak gunung dan yang tersebar di jalanan, gang-gang, dan rumah-rumah. Inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.

Dari Samurah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian tertipu oleh adzan Bilal dan warna putih ini untuk waktu Shubuh sehingga naik." (50)

Dari Thalq bin 'Ali (radhiyallahu 'anhu) bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Makan dan minumlah serta janganlah kalian tertipu oleh pancaran putih yang naik. Makan dan minumlah sehingga tampak oleh kalian warna merah." (51)

Ketahuilah bahwa sifat-sifat fajar shadiq adalah sesuai dengan ayat mulia ini: "Sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." Jika cahaya fajar telah tampak di ufuk dan puncak gunung sehingga terlihat seakan-akan ia sebagai benang putih, lalu tampak pula di bagian atasnya benang warna hitam, yaitu sisa-sisa malam yang akan segera beranjak pergi.

Jika hal tersebut telah benar-benar tampak, maka berhentilah dari makan dan minum serta bercampur. Dan jika tangan engkau masih memegang gelas berisi air atau minuman, maka minumlah dengan tenang dan nikmat, karena hal itu sebagai keringanan yang sangat berharga dari Rabb yang Mahapenyayang kepada hamba-hamba-Nya yang mengerjakan puasa, sekalipun engkau telah mendengar adzan berkumandang.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika salah seorang di antara kalian mendengar suara adzan sedang bejana masih di tangannya (sedang meneguk air minum), maka janganlah dia meletakkannya sehingga keperluannya pada bejana itu terpenuhi." (52)

Yang dimaksud dengan an-nida' di sini adalah adzan Shubuh kedua saat fajar shadiq telah tiba berdasarkan pada tambahan yang diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 510) dan Ibnu Jarir ath-Thabari (II/ 102) dan lain-lain setelah hadits: "Dan muadzin mengumandangkan adzan jika sudah terbit fajar." (53)

Makna ini diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, "Pernah iqamat dikumandangkan, sedang bejana masih di tangan 'Umar (radhiyallahu 'anhu). Dia bertanya, 'Apakah aku boleh meminumnya, wahai Rasulullah?' Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) menjawab, 'Boleh.' Maka 'Umar pun meminumnya." (54)

Dengan demikian, jelas sudah bahwa pengadaan istilah imsak dari makan sebelum terbit fajar shadiq dengan alasan pencegahan adalah bid'ah, yang diada-adakan.

Di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 199), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: "Di antara bid'ah yang harus ditolak yang berkembang pada zaman sekarang ini adalah pnengumandangan adzan kedua tiga jam sebelum terbit fajar pada bulan Ramadhan dan juga mematikan lampu yang dijadikan sebagai tanda diharamkannya makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk mengambil sikap hati-hati dalam beribadah. Dan tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali beberapa orang saja. Hal tersebut telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah beberapa saat matahari terbenam untuk meyakinkan masuknya waktu. Oleh karena itu, mereka mengakhirkan waktu berbuka dan menyegerakan waktu sahur, dan mereka juga menyalahi Sunnah. Oleh sebab itu, kebaikan mereka sangat minim sekali, sedangkan keburukan mereka sangat banyak. Hanya Allah yang patut menjadi tempat meminta pertolongan.

Dapat kam katakan: "Bid'ah imsak sebelum terbit fajar ini masih berlangsung bersamaan dengan penetapan waktu sebelum waktunya. Dan hanya kepada Allah sepatutnya kita mengadu."

3. Kemudian Meneruskan Puasa Sampai Malam Hari.

Jika malam telah datang dari arah timur dan siang pergi dari arah barat serta matahari pun telah terbenam maka dipersilahkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka.

Dari 'Umar radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika malam telah datang dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun telah terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka." (55)

Dan itu berlangsung tepat setelah bulatan matahari terbenam, sekalipun sinarnya masih tampak. Salah satu petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika beliau tengah berpuasa, dimana beliau memerintahkan seseorang untuk memantau (melihat) sesuatu (matahari), dan jika dia mengatakan, "Matahari telah terbenam," maka beliau pun langsung berbuka. (56)

Sebagian orang ada yang mengira bahwa malam itu tidak terealisasi langsung setelah matahari terbenam, tetapi masuk setelah tersebarnya kegelapan, baik di bagian timur maupun barat. Dan hal tersebut telah terjadi pada sebagian Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau memberikan pemahaman bahwa waktu malam itu cukup pada permulaan gelap dari arah timur, langsung setelah bulatan matahari tenggelam.

Dari 'Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan sedang waktu itu beliau dalam keadaan puasa (pada bulan Ramadhan). Pada saat matahari terbenam, beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda kepada beberapa orang: "Wahai fulan (dalam sebuah riwayat Abu Dawud: "Hai Bilal), berdiri dan siapkan minuman dan makanan untuk kami." Dia berkata: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau menunggu sampai sore hari," (dalam riwayat al-Bukhari disebutkan: "Seandainya engkau menunggu sampai sore tiba." Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: "Matahari"). Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Singgah dan siapkanlah makanan dan minuman untuk kami." Dia mengatakan: "Sesungguhnya ini masih siang." Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Singgah dan siapkanlah makanan dan minuman untuk kami." Maka dia pun singgah dan menyiapkan minuman untuk mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun minum. (Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Seandainya ada salah seorang yang berusaha melihat matahari di atas untanya niscaya akan melihatnya.") Kemudian beliau melempar. (Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan: "Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) memberi isyarat dengan tangannya"). (Dan dalam riwayat Syaikhani disebutkan: "Dan beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) memberi isyarat dengan jarinya ke arah timur). Selanjutnya beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Jika engkau melihat malam telah tiba dari sini berarti orang yang berpuasa sudah boleh berbuka." (57)

Ditegaskan bahwa para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengikuti sabda beliau, dimana apa yang mereka kerjakan sesuai dengan sabda beliau, dan Abu Sa'id al-Khudri (radhiyallahu 'anhu) berbuka puasa saat bulatan matahari tenggelam. (58)

Peringatan:

1. Hukum-hukum puasa yang diterangkan di atas berkaitan dengan penglihatan mata telanjang, sehingga tidak harus mempersulit diri serta tidak perlu melihat bulan dan fajar dengan berbagai macam peralatan astronomi modern atau dengan berpegang pada ketentuan perhitungan ahli perbintangan (astrolog), dimana banyak kaum muslimin yang menyimpang dari Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kebaikan yang ada pada mereka sangat minim, sedangkan keburukan melimpah-ruah pada diri mereka. (59) Wallaahu a'lam.

2. Di beberapa negara Islam, para muadzin menggunakan bantuan penanggalan yang telah berlalu lebih dari 50 tahun, sehingga mereka mengakhirkan waktu berbuka dan menyegerakan waktu sahur, yang mengakibatkan terjerumus ke dalam pertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di negara seperti ini, sebagian orang yang berpegang teguh pada Sunnah berbuka dengan berdasarkan pada matahari dan melakukan sahur berdasarkan pada fajar. Artinya, jika matahari telah terbenam, maka mereka akan berbuka dan jika fajar shadiq telah terbit -sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya- maka mereka akan menghentikan diri dari makan, minum dan bercampur. Yang demikian itu merupakan amalan yang sesuai dengan syari'at dan benar serta tidak diwarnai keraguan. Orang yang menilai mereka melakukan penyimpangan, berarti dia benar-benar telah salah. Tidak ada daya dan upaya melainkan hanya milik Allah semata.

Bukan rahasia lagi bahwa ibadah ini sangat berkaitan erat dengan matahari dan fajar. Jika mereka menyalahi hal tersebut, berarti mereka benar-benar telah melakukan kesalahan, tidak demikian orang yang berpegang pada ketentuan hukum pokok. Adzan merupakan sarana pemberitahuan masuknya waktu shalat. Karenanya, jika waktu shalat sudah masuk sementara adzan dikumandangkan terlambat atau dikumandangkan lebih awal sementara waktu shalat belum masuk, maka yang berlaku tetap pada hukum pokok adalah wajib. Oleh karena itu, peliharalah ini dan renungkanlah.

Baca selanjutnya:

Daftar Isi Buku Ini.

Daftar Buku Perpustakaan Ini.

===

Catatan Kaki:

(45) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 911).

(46) Yaitu tali yang biasa dipergunakan untuk mengikat unta, a-Mishbaah (II/ 422).

(47) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 113), dan Muslim (1090). Lahiriah atsar menyebutkan bahwa 'Adi dalam keadaan hadir saat turun ayat tersebut, dan hal itu menuntut ke-Islamannya, padahal tidak demikian adanya. Lalu, diwajibkan puasa pada tahun kedua dari hijriah. Sedangkan 'Adi memeluk Islam pada tahun kesembilan atau kesepuluh seperti yang disebutkan di dalam kitab al-Ishaabah (II/ 468). Jika dikatakan, turunnya ayat tersebut datang belakangan, maka jelas hal itu sangat jauh sekali. Ada juga yang menafsirkan ucapan 'Adi: "Ketika ayat itu turun," yakni, saat aku sudah memeluk Islam dan dibacakan kepadaku ayat ini. Inilah yang benar, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam riwayat Ahmad di dalam Musnadnya (IV/ 377): "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku shalat dan puasa." Beliau bersabda: "Kerjakanlah shalat ini dan itu, dan puasalah, sehingga apabila matahari telah terbenam, maka makan dan minumlah sehingga terlihat jelas benang putih dari benang hitam. Dan berpuasalah tiga puluh hari sehingga terlihat olehmu bulan sebelum itu." Kemudian aku mengambil dua benang dari bulu berwarna hitam dan putih..." (Fat-hul Baari IV/ 132-133).

(48) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 114) dan Muslim (1091).

(49) Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (III/ 210), al-Hakim (I/ 191 dan 495), ad-Daraquthni (II/ 165), al-Baihaqi (IV/ 261) melalui jalan Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari 'Atha`, dari Ibnu 'Abbas. Dan sanadnya adalah shahih.

Hadits ini juga memiliki satu syahid dari Jabir (radhiyallahu 'anhu), diriwayatkan oleh al-Hakim (I/ 191), al-Baihaqi (IV/ 215), ad-Daraquthni (II/ 165).

Dan terjadi perbedaan dalam washl dan irsalnya. Ada syahid lain dari ats-Tsauban yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (III/ 27).

(50) Diriwayatkan oleh Muslim (1094).

(51) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (III/ 76), Abu Dawud (II/ 304), Ahmad (IV/ 23), Ibnu Khuzaimah (III/ 211) melalui jalan 'Abdullah bin Nu'man, dari Qais bin Thalq, dari ayahnya, sanadnya shahih. 'Abdullah bin Nu'man dinilai tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban, dan al-Ajali. Dan Ibnu Khuzaimah tidak mengetahui keadilannya. Ibnu Hajar mengatakan: "Maqbul."

(52) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (235), Ibnu Jarir (3115), al-Hakim (I/ 426), al-Baihaqi (II/ 218), Ahmad (423) melalui jalan Hammad, dari Muhammad bin 'Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu). Sanadnya hasan. Hadits ini mempunyai jalan lain, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 510), al-Hakim (I/ 203 dan 205) melalui jalan Hammad, dari 'Ammar bin 'Ammar, dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu). Dan sanadnya shahih.

(53) Tambahan ini membatalkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Habiburrahman al-A'zhami al-Hanafi sebagai komentar terhadap buku, Mushannaf 'Abdurrazzaq (IV/ 173), dimana dia mengatakan, "Hadits tersebut diartikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar." Walhamdulillaah.

(54) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (II/ 102) melalui dua jalan darinya.

(55) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 171) dan Muslim (1100). Dan sabda beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam): "Orang yang berpuasa sudah boleh berbuka," yakni dari sisi hukum dan bukan dari sisi realitas, karena sudah masuk waktu berbuka.

(56) Diriwayatkan oleh al-Hakim (I/ 434) dan Ibnu Khuzaimah (2061). Dinilai shahih oleh al-Hakim dengan syarat Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim).

(57) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 199), Muslim (1101), Ahmad (IV/ 381), Abu Dawud (2352). Tambahan pertama milik Muslim (1101). Tambahan kedua milik 'Abdurrazzaq (IV/ 226).

Dalam hadits tersebut terkandung manfaat yang cukup banyak. Lihat uraiannya di dalam kitab, Fat-hul Baari (IV/ 198). Dan sabda beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam): (اجْدَحْ لَنَا) "Buatkanlah untuk kami," yaitu siapkan makanan dan minuman untuk kami. Asal arti dari kata al-Jadh yaitu mengaduk makanan, susu atau air dengan 'uud (kayu).

(58) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 196). Dan disambung oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (III: 12), dan Sa'id bin Manshur sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 196), dan juga 'Umdatul Qaari' (IX/ 130). Lihat juga buku, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 195).

(59) Bagi yang berminat untuk menambah penjelasan dan keterangan lebih rinci, silahkan membaca beberapa buku berikut ini:

1. Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (rahimahullah) (XXV/ 126-202).

2. Al-Majmuu' Syarh al-Muhadzdzab (VI/ 279), karya an-Nawawi rahimahullah.

3. At-Talkhiishul Habiir (II/ 187-188), karya Ibnu Hajar rahimahullah.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.