Monday 13 March 2017

Al-Faatihah, Ayat 6 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Faatihah.

Al-Faatihah, Ayat 6.

"Ihdi-nash shiraa-thal mustaqiim"
Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus. (QS. 1: 6)

Rahasia Diakhirkannya Do'a Setelah Pujian dan Penyebutan Sifat.

Setelah menyampaikan pujian kepada Allah Sub-haanahu wa Ta'aala dan menyatakan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diiringi dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya (dalam hadits Qudsi): "Setengahnya untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."

Hal itu merupakan keadaan yang sangat sempurna bagi seseorang yang mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang akan ia mintai dan kemudian memohon keperluan dirinya sendiri dan juga saudaranya dari orang-orang yang beriman, melalui ucapannya: "Ihdinash Shiraa-thal mustaqiim (Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus)." Karena hal itu lebih dekat kepada pengabulan dan dipenuhinya apa yang ia butuhkan. Karena itulah Allah Sub-haanahu wa Ta'aala membimbing kita untuk senantiasa melakukannya, karena hal itu lebih sempurna.

Permintaan itu bisa diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa 'alaihis salaam:

"Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al-Qashash: 24)

Permintaan itu bisa dimulai dengan menyebutkan sifat-sifat Rabb yang dia mintai, seperti ucapan Dzun Nuun (Nabi Yunus 'alaihis salaam): "Tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Anbiyaa': 87)

Tetapi terkadang permintaan itu cukup hanya dengan memuji-Nya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penya'ir:

Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malu-Mu.
Sesungguhnya rasa malu merupakan adat kebiasaan-Mu.

Jika suatu hari seseorang menyampaikan pujian kepada-Mu, niscaya pujian itu mencukupi orang itu karena telah mengemukakannya.

Makna Hidayah.

Kata hidayah dalam ayat ini berarti bimbingan dari taufiq. Terkadang kata hidayah itu muta'addi (membutuhkan obyek) tanpa huruf penyambung. Sebagaimana firman-Nya di sini: "Ihdinash Shiraa-thal mustaqiim (Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus."

Dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, atau berikanlah taufiq kepada kami, berikanlah rizki atau anugerah kepada kami.

Dan juga firman-Nya: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS. Al-Balad: 10). Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.

Selain itu kata hidayah juga bisa muta'addi dengan memakai kata "ilaa", sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Allah telah memilihnya dan menujukinya kepada jalan yang lurus." (QS. An-Nahl: 121)

Dan juga firman-Nya: "Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka." (QS. Ash-Shaaffaat: 23)

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas adalah bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya: "Dan sesungguhnya Kami benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syuura: 52)

Terkadang kata hidayah muta'addi dengan memakai huruf "lam" sebagaimana ucapan para penghuni Surga: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (Jannah) ini." (QS. Al-A'raaf: 43). Artinya, Allah memberikan taufiq kepada kami untuk memperoleh Surga ini dan Dia menjadikan kami sebagai penghuninya.

Makna ash-Shiraa-thal Mustaqiim (Jalan yang Lurus)

Sedangkan mengenai ash-shiraa-thal mustaqiim (jalan yang lurus), Imam Abu Ja'far bin Jarir mengatakan: "Seluruh ahli tafsir sepakat bahwa maksud ash-shiraa-thal mustaqiim adalah jalan yang terang dan lurus, tidak ada kebengkokan padanya. Demikian yang dikenal dalam bahasa seluruh bangsa Arab. Di antaranya adalah perkataan Jarir bin 'Athiyyah al-Khathfi:

'Amirul Mukminin di atas jalan yang lurus
Manakala persimpangan-persimpangan mulai bengkok.'" (66)

Ibnu Jarir menyambung penuturannya:

"Pendukung-pendukung bagi makna ini sangat banyak sehingga tidak bisa disebutkan satu persatu. Kemudian, orang Arab menggunakan kata shirath untuk makna-makna lain, di antaranya adalah setiap ucapan, perbuatan atau sifat yang lurus atau bengkok. Disifatkan mustaqim karena kelurusannya dan disebut mu'awwij karena kebengkokannya. Yang dimaksud di sini adalah Islam."

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari an-Nawwas bin Sam'an ra-dhiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Allah telah membuat sebuah perumpamaan shiraa-thal mustaqiim (jalan yang lurus), di dua sisi shirath (jalan) terdapat dua pagar. Di pagar tersebut terdapat pintu-pintu yang terbuka. Dan di pintu-pintu itu terdapat tirai-tirai yang terurai. Di depan shirath terdapat seseorang yang berseru: 'Wahai manusia, masuklah kalian semua ke dalam shirath ini dan janganlah berbelok.' Dan di atas shirath terdapat penyeru yang akan berseru, apabila ada seorang manusia yang ingin membuka pintu-pintu tersebut, penyeru di atas shirath berkata: 'Celaka (hati-hatilah) kamu, janganlah engkau membukanya. Jika engkau membukanya, niscaya engkau akan terperosok masuk ke dalamnya.' Shirath itu adalah Islam. Pagar-pagar itu adalah batasan-batasan Allah. Pintu-pintu yang terbuka itu adalah perkara-perkara yang diharamkan Allah. Penyeru di depan pintu shirath adalah Kitabullah. Dan penyeru di atas shirath adalah pemberi peringatan dari Allah yang ada di dalam hati setiap Muslim." (67)

Permohonan Hidayah Seorang Mukmin Sedangkan Ia Menyandang Sifat Itu (Hidayah)

Apabila ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta hidayah, baik di waktu mengerjakan shalat maupun di luar shalat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk tah-shiilul haa-shil (usaha memperoleh sesuatu yang sudah ada) atau bukan?

Jawabnya, bukan. Sekiranya mereka tidak perlu memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah Sub-haanahu wa Ta'aala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu. Sebab, seorang hamba senantiasa membutuhkan Allah kapan saja dan bagaimanapun keadaannya, agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan hidayah, karena ia tidak kuasa mendatangkan manfaat ataupun mudharat kepada dirinya sendiri kecuali atas izin Allah Sub-haanahu wa Ta'aala.

Oleh karena itu Allah Sub-haanahu wa Ta'aala selalu membimbingnya untuk senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat agar Dia memberikan pertolongan, keteguhan dan taufiq.

Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk senantiasa memohon kepada-Nya. Sebab, Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang apabila ia memohon kepada-Nya. Terlebih lagi permohonan orang yang berada dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya pada malam dan siang hari. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya." (QS. An-Nisaa': 136)

Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman agar tetap beriman. Dan hal ini bukan termasuk tah-shiilul haa-shil, karena maksudnya adalah memohon ketetapan, kelangsungan dan kesinambungan amal yang dapat membantu mencapai tujuan tersebut. Wallaahu a'lam.

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala juga memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan do'a:

Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba'da idz hadaitanaa wa hablanaa milladunka rahmatan innaka antal wahhaab
"(Mereka berdo'a): 'Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali 'Imran: 8)

Dengan demikian, makna firman-Nya: Ihdinash shiraa-thal mustaqiim adalah "Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus dan jangan Engkau belokkan kami ke jalan yang lain."

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(66) Ath-Thabari 1/170.

(67) Ahmad 4/182. Shahiih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib no. 2348.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.