Saturday 18 March 2017

Al-Baqarah, Ayat 8-9 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Baqarah.

Kemudian Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

Al-Baqarah, Ayat 8-9.

Golongan Munafik, -pent.

"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir', padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman." (QS. 2: 8). "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya." (QS. 2: 9)

Makna Nifaq (Kemunafikan).

Nifaq adalah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan. Nifaq ada beberapa macam. Pertama, nifaq I'tiqadi (dalam keyakinan), yang menjadikan pelakunya kekal di Neraka. Kedua, nifaq 'amali (berupa perbuatan) yang merupakan salah satu dosa besar, sebagaimana akan dirinci pada pembahasan khusus insya Allah. Ibnu Juraij berpendapat bahwa orang munafik itu senantiasa bertentangan antara ucapan dan perbuatannya, antara yang tersembunyi dan yang nyata, serta antara zhahir dan yang bathin. (55)

Awal Mula Kemunafikan.

Sesungguhnya sifat-sifat kaum munafik banyak disebutkan dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah, karena di Makkah tidak ada kemunafikan. Bahkan sebaliknya, di antara penduduk Makkah ada yang menampakkan kekafiran karena terpaksa, padahal hati mereka beriman. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah, di sana terdapat kaum Anshar yang terdiri dari kabilah Aus dan Khazraj yang pada masa jahiliyah, mereka beribadah kepada berhala, sebagaimana kaum musyrikin Arab. Di sana juga terdapat orang-orang yahudi dari kalangan Ahlul Kitab yang menempuh jalan para pendahulu mereka. Mereka terdiri dari tiga kabilah:

1. Bani Qainuqa', yang merupakan sekutu kabilah Khazraj.
2. Bani Nadhir.
3. Bani Quraizhah, sekutu kabilah Aus.

Tatkala Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tiba di Madinah, beberapa orang dari kalangan Anshar masuk Islam. Mereka berasal dari kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Hanya sedikit orang-orang yahudi masuk Islam, seperti 'Abdullah bin Salam ra-dhiyallaahu 'anhu. Saat itu belum ada kemunafikan, sebab kaum mukminin belum memiliki kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak luar. Bahkan, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdamai dengan golongan yahudi dan beberapa kabilah di sekitar Madinah.

Pasca perang Badar, di mana Allah telah menampakkan kalimat-kalimat-Nya serta memuliakan Islam dan para pemeluknya, maka muncullah orang-orang yang mengaku Islam, namun hati mereka kafir, seperti 'Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh di Madinah yang berasal dari kabilah Khazraj. Dia termasuk salah satu pemimpin kabilah Aus dan Khazraj pada masa jahiliyah. Sebelum kemunculan Islam, dua kabilah itu bertekad hendak menjadikannya pemimpin.

Begitu datang kebaikan (Islam) kepada mereka dan mereka pun masuk Islam, tekad mereka itu terlupakan, sehingga tokoh yang satu ini menyimpan dendam kesumat terhadap Islam dan kaum muslimin. Usai perang Badar, 'Abdullah bin Ubay berkata: "Ketetapan Islam benar-benar telah tiba." Dia pun memperlihatkan diri masuk Islam bersama orang-orang yang mengikuti jejaknya dan beberapa dari kalangan Ahli Kitab. Sejak itulah muncul kemunafikan di tengah-tengah penduduk Madinah dan orang-orang Arab di sekitarnya.

Adapun dari kalangan Muhajirin tidak ada seorangpun dari mereka yang munafik, karena tidak seorang pun dari mereka yang hijrah dengan terpaksa. Bahkan mereka melakukannya sehingga rela meninggalkan harta, anak-anak dan negerinya, dengan mengharapkan pahala di sisi Allah di negeri akhirat.

Tafsir Ayat

Muhammad bin Ishaq telah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa makna firman Allah: "Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir', padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman", yakni orang-orang munafik dari kabilah Aus dan Khazraj serta orang-orang yang semisal dengan mereka." (56)

Abul 'Aliyah, al-Hasan al-Bashri, Qatadah dan as-Suddi pun menafsirkan 'Orang-orang munafik' pada ayat tersebut dengan orang-orang munafik kabilah Aus dan Khazraj. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala mengingatkan sifat-sifat orang-orang munafik agar kaum mukminin tidak terpedaya oleh penampilan mereka, karena kelengahan dalam hal ini akan mendatangkan bahaya yang besar, jika tidak berhati-hati terhadap mereka. Jangan sampai kaum mukminin beri'tiqad bahwa orang-orang munafik itu beriman, padahal sebenarnya mereka kafir.

Sangkaan ini merupakan kesalahan besar, karena menganggap orang-orang fajir (buruk) sebagai orang-orang baik. Dalam hal ini Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir', padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman", maknanya mereka mengucapkan pengakuan itu tanpa bukti yang nyata, sebagaimana firman-Nya: "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, seraya berkata: 'Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.' Maka Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya." (QS. Al-Munaafiquun: 1). Maknanya, mereka mengucapkannya hanya ketika mendatangimu (Muhammad) saja, bukan pengakuan yang sesungguhnya. Hal ini terlihat ketika mereka menggunakan huruf inna dan laam ta'-kid yang keduanya berfungsi sebagai penguat (innaka larasuulullaah (sesungguhnya engkau benar-benar Rasulullah)) ketika menyampaikannya.

Orang-orang munafik menekankan pernyataan keimanan mereka kepada Allah dan hari Akhir, padahal sesungguhnya tidak demikian. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala telah mendustakan persaksian dan pernyataan mereka dengan firman-Nya: "Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar para pendusta." (QS. Al-Munaafiquun: 1)

Dan juga dengan firman-Nya: "Padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah: 8)

Firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman", dengan menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran, hal ini terjadi karena kebodohan mereka. Mereka menyangka: Pertama, telah menipu Allah dengan ucapan itu. Kedua, mengira bahwa ucapan itu bermanfaat di sisi Allah. Ketiga, menganggap bahwa perkataan mereka itu akan laris diterima, sebagaimana pernyataan mereka itu sempat diterima oleh sebagian kaum muslimin.

Firman Allah:

"(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan oleh Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang-orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu, dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka adalah para pendusta." (QS. Al-Mujaadilah: 18)

Tiga sangkaan itu dibalas oleh Allah 'Azza wa Jalla dengan firman-Nya: "Padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedangkan mereka tidak menyadarinya." (QS. Al-Baqarah: 9). Dengan tindakan itu mereka hanya menipu diri mereka sendiri karena mereka tidak menyadarinya. Sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka." (QS. An-Nisaa': 142)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Juraij tentang firman Allah Ta'ala: "Mereka menipu Allah", ia mengatakan: "Mereka memperlihatkan diri dengan mengucapkan laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah) untuk menyelamatkan nyawa dan kekayaan mereka agar tidak lenyap, sementara hati mereka sama sekali tidak meyakininya." (57)

Firman Allah:

"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir', padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedangkan mereka tidak sadar." (QS. Al-Baqarah: 8-9)

Tentang ayat di atas, Sa'I'd telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa sebagian dari sifat-sifat orang munafik yang sangat banyak adalah akhlaknya tercela, membenarkan dengan lisan tetapi mengingkarinya dengan hati serta bertentangan dengan perbuatan. Pada pagi hari ia berada dalam suatu keadaan tetapi di sore hari ia berada dalam keadaan lain. Sore hari dalam suatu keadaan dan pada pagi harinya pun berubah, seperti bergoyangnya kapal yang ditiup angin. Ke mana angin bertiup ke situlah ia mengarah. (58)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(55) Tafsiir ath-Thabari 1/270.

(56) Tafsiir ath-Thabari 1/269.

(57) Ibnu Abi Hatim 1/46.

(58) Ibnu Abi Hatim 1/47.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.