Sunday 12 March 2017

Surat al-Faatihah (2) | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Faatihah (2).

Tafsir al-Isti'aadzah dan hukum-hukumnya.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang lain mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-A'raaf: 199-200)

Allah juga berfirman:

"Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (perbuatan) yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, 'Ya Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada-Mu ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mu'-minuun: 96-98)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Fushshilat: 34-36)

Tidak ada ayat lain yang memiliki makna seperti tiga ayat di atas. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan manusia agar beramah tamah dengan musuh dari kalangan manusia dan berbuat baik kepadanya, sehingga dapat mengembalikannya kepada tabi'at asalnya, yakni sebagai teman dan sahabat. Sebaliknya, Allah memerintahkan agar memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan dari jenis jin. Karena dia tidak menerima ramah-tamah maupun kebaikan. Ia tidak menghendaki sesuatupun, kecuali kebinasaan anak Adam. Hal ini disebabkan karena kerasnya permusuhan antara dia dengan anak Adam, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Surga." (QS. Al-A'raaf: 27)

Allah juga berfirman:

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala." (QS. Faathir: 6)

Dan Dia berfirman:

"Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu. Amat buruklah (iblis) itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Kahfi: 50)

Syaitan telah bersumpah kepada bapak kita Adam 'alaihis salaam bahwa dia adalah pemberi nasihat baginya, padahal dia berdusta. Lalu bagaimana pula mu'amalah syaitan dengan kita? Sementara mereka telah berkata: "Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka." (QS. Shaad: 82-83)

Allah juga berfirman:

"Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang menyekutukannya dengan Allah." (QS. An-Nahl: 98-100)

Isti'aadzah sebelum membaca al-Qur-an

Makna firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (QS. An-Nahl: 98)

Yakni jika engkau hendak membaca, (maka sebelumnya bacalah isti'aadzah (a'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim)) sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah dan tanganmu." (QS. Al-Maa-idah: 6)

Yakni, jika engkau hendak mengerjakan shalat, (maka berwudhu'lah terlebih dahulu).

Hal ini juga berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Apabila Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hendak mengerjakan shalat malam, maka beliau membuka shalatnya dengan bertakbir seraya mengucapkan:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَرَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Sub-haanakallaahumma wa bihamdika wa tabarakasmuka wa ta'aala jadduka wa laa ilaaha ghairuka
'Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Mahaagung Nama-Mu dan Mahatinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.'

Kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Laa ilaaha illallaah
Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah.
Sebanyak tiga kali.

Setelah itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengucapkan:

أَعُوْذُ بِاللَّهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

A'uu-dzu billaahis samii'il 'aliimi minasy syai-thaanir rajiimi min hamzihi wa naf-khihi wa naf-tsihi
'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan hembusannya.'"

Hadits ini juga diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan yang empat. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling masyhur dalam masalah ini. (18)

Kata al-hamz juga ditafsirkan dengan cekikan (yang menyebabkan kematian), an-nafkh adalah kesombongan dan an-nafts adalah sya'ir. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Jubair bin Muth'im dari ayahnya, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika mulai mengerjakan shalat, beliau mengucapkan:

اَللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا -ثَلَاثًا-, اَلْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا -ثَلَاثًا-, سُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا -ثَلَاثًا-, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

'Allaahu Akbaru kabiiraa (Allah Mahabesar)' sebanyak tiga kali, 'al-Hamdulillaahi ka-tsiiraa (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak)' sebanyak tiga kali, 'Sub-haanallaahi bukratan wa a-shiilaa (Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang) sebanyak tiga kali. (Lalu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengucapkan:) 'Allaahumma innii a'uu-dzu bika minasy syai-thaanir rajiim min hamzihi wa naf-khihi wa naf-tsihi (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan hembusannya).'"

'Amr berkata: "Makna al-hamz adalah cekikan (yang menyebabkan kematian), an-nafkh adalah kesombongan dan an-nafts adalah sya'ir." (19)

Ibnu Majah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 'Ali bin al-Mundzir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail, telah menceritakan kepada kami 'Atha' bin as-Sa-ib dari Abu 'Abdirrahman as-Sulami dari Ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

Allaahumma innii a'uu-dzu bika minasy syai-thaanir rajiimi min hamzihi wa naf-khihi wa naf-tsihi
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (gangguan) syaitan yang terkutuk, serta godaan, tiupan dan hembusannya."

Ibnu Majah berkata, "Al-hamz adalah cekikan (yang menyebabkan kematian), an-nafkh adalah kesombongan dan an-nafts adalah sya'ir." (20)

Membaca ta'awwudz ketika marah

Al-Hafizh Abu Ya'la Ahmad bin 'Ali bin al-Mutsanna al-Mushili meriwayatkan dalam kitab Musnadnya dari Ubay bin Ka'ab radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Dua orang laki-laki bertengkar di hadapan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, hidung salah seorang dari keduanya mengembang dan mengempis karena marah. Maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang ia rasakan. Yaitu ucapan:

أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

A'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim
(Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).'"

Demikian yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah. (21)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Ada dua orang laki-laki saling mencela di hadapan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sedang kami duduk di hadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela yang lainnya dalam keadaan marah dan wajah yang memerah. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya niscaya akan hilang kemarahannya. Yaitu ucapan: A'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).'"

Maka para Shahabat radhiyallaahu 'anhum berkata kepada orang itu: "Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?" Orang itu menjawab: "Sesungguhnya aku bukanlah orang yang kurang akal."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa-i. (22)

Dan masih banyak hadits-hadits yang menyebutkan tentang isti'adzah ini yang terlalu panjang pembahasannya jika disebutkan di sini. Dan penyebutannya mungkin dalam kitab tentang dzikir atau fadha-ilul 'amal, wallaahu a'lam.

Apakah isti'adzah itu wajib atau sunnah?

(Masalah:) Jumhur ulama berpendapat bahwa isti'adzah itu hukumnya sunnah dan bukan suatu kewajiban yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia berdosa. Ar-Razi menceritakan dari 'Atha' bin Abi Rabah tentang wajibnya isti'adzah di dalam shalat dan di luar shalat ketika hendak membaca al-Qur-an. Ar-Razi berhujjah dengan riwayat 'Atha', yaitu dengan zhahir ayat: "Maka hendaklah kamu meminta perlindungan." Ini adalah perintah yang zhahirnya wajib. Juga karena Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam rutin melakukannya. Dan isti'adzah dapat menolak keburukan syaitan. Sedangkan suatu perkara yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu pun wajib. Di samping itu isti'adzah merupakan tindakan kehati-hatian. Maka, jika seseorang yang berlindung mengucapkan: "A'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim," maka itu sudah cukup.

Di antara manfaat isti'aadzah

Di antara manfaatnya adalah untuk menyucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang buruk dan tidak berfaedah. Isti'aadzah ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah. Artinya, memohon pertolongan kepada Allah sekaligus menyatakan pengakuan atas kekuasaan-Nya, kelemahan dirinya sebagai seorang hamba dan ia tidak berdaya melawan musuh yang sejati (syaitan), yang bersifat bathin (tidak terlihat) dan tidak seorang pun mampu menolak dan mengusirnya kecuali Allah yang telah menciptakannya. Karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan. Berbeda dengan musuh dari jenis manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat al-Qur-an tentang tsalaatsin minal matsaani (tiga perkara yang diulang-ulang) dan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai Penjaga." (QS. Al-Israa': 65)

Dan para Malaikat telah turun untuk memerangi musuh dari kalangan manusia. Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat lahiriyah dari kalangan manusia, maka ia mati syahid. Namun, barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat bathin (syaitan) maka ia terusir. Barangsiapa dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka ia akan mendapatkan pahala. Tetapi, barangsiapa dikalahkan oleh musuh yang bersifat bathin (syaitan), maka ia tertipu dan menanggung dosa. Oleh karena syaitan dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihatnya, maka manusia harus memohon perlindungan kepada Rabb yang melihat syaitan dan syaitan tidak melihat-Nya.

(Pasal) isti'aadzah berarti permohonan perlindungan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dari kejahatan setiap yang jahat. Al-'iyaadzah adalah permohonan pertolongan dalam usaha menolak kejahatan, dan al-liyaadz adalah permohonan pertolongan dalam upaya meraih kebaikan.

Makna isti'aadzah

Maka a'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim adalah aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang Dia perintahkan atau menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang. Karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaitan itu dari manusia kecuali Allah.

Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kepada manusia agar membujuk syaitan dari jenis manusia dan berbuat baik kepadanya, sehingga dapat merubah tabi'at dan kebiasaannya mengganggu orang lain. Tetapi, Allah memerintahkan agar kita memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan jenis jin. Karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan. Tabi'at mereka jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang telah menciptakannya.

Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat al-Qur-an, dimana aku tidak mengetahui ada ayat keempat yang semakna dengannya. Pertama, firman-Nya dalam surat al-A'raaf:

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang lain mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raaf: 199)

Makna di atas berkenaan dengan mu'amalah dengan musuh dari kalangan manusia.

Dilanjutkan dengan firman-Nya:

"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-A'raaf: 200)

Sedangkan dalam surat al-Mu'-minuun Allah berfirman:

"Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Rabbku, aku berlindung kepada-Mua dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada-Mu ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mu'-minuun: 96-98)

Dan dalam surat Fushshilat Allah berfirman:

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antara kami dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Fushshilat: 34-36)

Penamaan syaitan

Dalam bahasa Arab, kata syaitan berasal dari kata sya-thana (شَطَنَ) yang berarti jauh. Jadi tabi'at syaitan itu sangat jauh dengan tabi'at manusia. Dan karena kefasikannya itu ia sangat jauh dari kebaikan.

Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaitan itu berasal dari kata syaa-tha (شَاطَ)= terbakar, karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama lebih tepat.

Menurut Sibawaih, bangsa Arab mengatakan: "tasyai-thana fulaanun (تَشَيْطَنَ فُلَانٌ)", berarti si Fulan itu berbuat seperti perbuatan syaitan. Jika kata syaitan itu berasal dari kata syaa-tha tentunya mereka akan mengatakan: tasyai-tha. Maka menurut pendapat yang benar, kata syaitan itu berasal dari kata sya-thana yang berarti jauh. Oleh karena itu mereka menyebut syaitan untuk setiap pendurhaka baik dari kalangan jin, manusia maupun hewan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Dan demikianlah Kami jadikan tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (QS. Al-An'aam: 112)

Dalam Musnad al-Imam Ahmad, disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Wahai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari keburukan syaitan-syaitan dari jenis manusia dan jin.' Lalu aku bertanya: 'Apakah ada syaitan dari jenis manusia?' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Ya, ada.'" (23)

Dan dalam Shahiih Muslim diriwayatkan sebuah hadits yang juga dari Abu Dzarr, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Sesuatu yang dapat membatalkan shalat adalah wanita, keledai, dan anjing hitam.' Kemudian aku bertanya: 'Wahai Rasulullah, mengapa anjing hitam, dan bukan anjing merah atau kuning?' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Anjing hitam itu adalah syaitan.'" (24)

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu mengendarai kuda tarik, namun kuda itu berjalan pelan maka 'Umar pun memukulnya (supaya jalannya cepat). Namun kuda itu justru berjalan semakin pelan. 'Umar pun turun dan berkata: "Tidaklah kalian membawakan kepadaku kecuali syaitan. Aku turun darinya karena perasaanku merasa tak enak." Sanad-sanadnya shahih. (25)

Makna ar-Rajiim

Ar-rajiim berwazan "فَعِيْلٌ" (subyek) bermakna "مَفْعُوْلٌ" (obyek). Maknanya bahwa syaitan itu terkutuk dan terjauh dari segala kebaikan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan." (QS. Al-Mulk: 5)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, syaitan-syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para Malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan), maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang." (QS. Ash-Shaaffaat: 6-10)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk. Kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari Malaikat) lalu dia dikejar semburan api yang terang." (QS. Al-Hijr: 16-18)

Dan ayat-ayat lainnya.

Ada juga yang berpendapat bahwa "رَجِيْمٌ" bermakna "رَاجِمٌ".

Karena ia mengganggu manusia dengan waswas dan bisikan. Hanya saja makna yang pertama lebih masyhur dan lebih tepat.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(18) Ahmad 3/69, Abu Dawud 1/490, dan Tuhfatul Ahwadzi 2/47, an-Nasa-i 2/132 dan Ibnu Majah 1/264. Shahih: Abu Dawud no. 775, at-Tirmidzi no. 242, an-Nasa-i no. 900, Ibnu Majah no. 804. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitabnya Shahiih Sunan Abi Dawud no. 701.

(19) Abu Dawud 1/486 dan Ibnu Majah 1/265. Dha'if: Abu Dawud no. 764, Ibnu Majah no. 806. Lihat al-Irwaa' 2/54.

(20) Ibnu Majah 1/264. Shahih: Ibnu Majah no. 808. Lihat kitab al-Irwaa' 2/55.

(21) An-Nasa-i dalam al-Kubra no. 10233.

(22) Fat-hul Baari 6/388, Muslim 4/2015, Abu Dawud 5/140, an-Nasa-i dalam al-Kubra 6/104.

(23) Ahmad 5/178. Dha'if: Ahmad meriwayatkannya dengan dari dua jalan. Salah satunya dari jalan al-Mas'udi. Al-Haitsami mengatakan: "Dia adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), akan tetapi hafalannya bercampur (kacau). Kedua adalah dari jalan 'Ali bin Yazid dan dia dha'if. Sebagaimana disebutkan dalam Majma'uz Zawaa-id 1/214-215.

(24) Muslim 1/365. Lihat Shahiih Muslim no. 510 dan Sunan Abi Dawud no. 702.

(25) Tafsiir ath-Thabari 1/111.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.