Sunday 12 March 2017

Al-Faatihah, Ayat 2 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Faatihah.

Al-Faatihah, Ayat 2.

Al-Hamdulillaahi Rabbil 'aalamiin.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. (QS. 1: 2)

Makna Kata al-Hamdu, -pent.

Abu Ja'far bin Jarir berkata: "Makna al-Hamdulillaah adalah bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah Dia ciptakan, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada para hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya. Kenikmatan tersebut berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah berupa kekuatan fisik untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban dari-Nya. Selain itu Dia telah memberikan rizki kepada mereka di dunia serta melimpahkan berbagai macam kenikmatan dalam hidup mereka, yang (pada dasarnya) mereka sama sekali tidak memiliki hak atas hal itu. Pelimpahan nikmat ini disertai dengan peringatan dan seruan kepada mereka agar menggunakan nikmat-nikmat itu sebagai sebab-sebab (sarana-sarana) yang dapat membawa mereka kepada kekekalan hidup di Surga tempat segala macam kenikmatan yang abadi. Hanya bagi Allah segala puji, di awal maupun di akhir." (44)

Ibnu Jarir rahimahullaah mengatakan: "Al-Hamdulillaahi merupakan pujian Allah bagi diri-Nya. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka memuji diri-Nya, seolah-olah Dia mengatakan: 'Ucapkanlah al-Hamdulillaah'."

Ada yang mengatakan bahwa ucapan al-Hamdulillaah adalah pujian bagi Allah dengan Nama-nama-Nya yang husna (baik) dan sifat-sifat-Nya yang 'ulya (tinggi). Adapun ucapan asy-Syukru lillaah adalah pujian bagi-Nya atas segala nikmat dan pertolongan-Nya. (45)

Perbedaan antara al-Hamdu dan asy-Syukru

Setelah diteliti, antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Al-Hamdu lebih umum dari asy-Syukru jika dilihat dari obyeknya, karena al-hamdu bisa dikaitkan dengan sifat-sifat lazim (tidak berkaitan dengan obyek) dan juga sifat-sifat muta'addi (yang berkaitan dengan obyek) seperti engkau mengatakan: hamid-tuhu lifuruu siyyatihi "حَمِدْتُهُ لِفُرُوْسِيَّتِهِ" (aku memujinya karena sifatnya yang kesatria) dan bisa juga engkau mengatakan: hamid-tuhu likara mihi "حَمِدْتُهُ لِكَرَمِهِ" (aku memujinya karena kedermawanannya). Di satu sisi al-hamdu lebih khusus dari asy-syukru karena al-hamdu hanya bisa diwujudkan dalam bentuk ucapan semata.

Adapun asy-syukru lebih umum dari al-hamdu karena ia bisa diwujudkan melalui ucapan, perbuatan, ataupun niat. Dan ia lebih khusus dari al-hamdu karena hanya berkaitan dengan sifat-sifat muta'addiyah (memiliki obyek). Engkau tidak bisa mengatakan: syakar-tuhu lafuruu siyyatihi "شَكَرْتُهُ لَفُرُوْسِيَّتِهِ" (aku bersyukur kepadanya karena sifatnya yang ksatria). Namun, engkau bisa mengatakan: syakar-tuhu 'ala karamihi wa ihsaanihi ilayya "شَكَرْتُهُ عَلَى كَرَمِهِ وَإِحْسَانِهِ إِلَيَّ" (aku bersyukur kepadanya karena kedermawanan dan kebaikannya kepadaku).

Demikianlah yang disimpulkan oleh sebagian ulama muta-akhkhirin. Wallaahu a'lam.

Abu Nashr Isma'il bin Hammad al-Jauhari mengatakan: "Al-hamdu (pujian) adalah lawan dari adz-dzammu (celaan). Engkau mengatakan: 'Aku memuji seorang laki-laki dengan sebuah pujian.' Orang yang memuji adalah hamiid dan orang yang dipuji adalah mahmuud. At-tahmiid memiliki makna lebih daripada al-hamdu. Al-hamdu lebih umum dari asy-syukru." Ia (Abu Nashr) mengatakan bahwa asy-syukru adalah pujian atas orang yang berbuat kebaikan karena kebaikannta, maka dikatakan: "Syakartuhu" atau, "Syakartu lahu (aku bersyukur kepadanya)." Dan memakai huruf lam itu lebih fasih. Adapun al-mad-hu lebih umum dari al-hamdu, karena al-mad-hu bisa ditujukan kepada orang yang masih hidup ataupun sudah mati dan juga kepada benda mati. Sebagaimana al-mad-hu ditujukan kepada makanan, tempat dan lain sebagainya. Ia bisa diberikan sebelum mendapat kebaikan ataupun setelahnya atas sifat muta'addi (transitif/ memerlukan obyek) maupun lazim (intransitif/ tidak memerlukan obyek).

Ucapan-ucapan Salaf tentang al-Hamdu

Dan diriwayatkan oleh selain Abu Ma'mar, dari Hafsh, ia berkata: "'Umar radhiyallaahu 'anhu berkata kepada 'Ali radhiyallaahu 'anhu -dan para Shahabat radhiyallaahu 'anhum berada di sisinya-: 'Kami telah mengetahui tentang Laa ilaaha illallaah, Sub-haanallaah, dan Allaahu Akbar. Lalu apa al-Hamdulillaah itu?' Maka 'Ali menjawab: 'Ia adalah kalimat yang disukai oleh Allah Ta'ala bagi diri-Nya dan Dia meridhainya bagi diri-Nya serta menyukai kalimat itu diucapkan'." (46)

Dan Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu berkata: "Al-Hamdulillaah adalah kalimat syukur. Apabila seorang hamba mengucapkan al-hamdulillaah, maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku." Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. (47)

Keutamaan al-Hamdu

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah meriwayatkan dari al-Aswad bin Sari' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Aku berkata kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: 'Wahai Rasulullah, maukah engkau aku puji dengan segala pujian seperti yang aku berikan kepada Rabbku Tabaaraka wa Ta'aala?' Maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: '(Tidak!) Adapun Rabbmu 'Azza wa Jalla sesungguhnya Dia menyukai al-hamdu'." Diriwayatkan juga oleh an-Nasa-i. (48)

Diriwayatkan oleh Abu 'Isa al-Hafizh at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadits Musa bin Ibrahim bin Katsir, dari Thalhah bin Khurrasy dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Sebaik-baik dzikir adalah kalimat Laa ilaaha illallaah, dan sebaik-baik do'a adalah al-Hamdulillaah.'"

At-Tirmidzi mengatakan: "(Hadits hasan) ini gharib." (49)

Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidaklah Allah menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan al-hamdulillaah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik dari apa yang diambil-Nya." (50)

Di dalam kitab Sunan Ibni Majah diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:

'Sesungguhnya seorang dari hamba Allah mengucapkan:

Yaa Rabbi, lakal hamdu kamaa yanba-ghii lijalaali waj-hika wa li'a-zhiimi sul-thaanika
'Ya Rabbku, segala puji bagi-Mu sebagaimana yang layak bagi kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kerajaan-Mu.' Maka hal itu membingungkan dua Malaikat (pencatat), mereka tidak tahu bagaimana mencatatnya, maka keduanya naik ke langit menemui Allah, seraya berkata: 'Wahai Rabb kami, sesungguhnya seorang hamba telah mengucapkan sebuah ucapan yang kami tidak tahu bagaimana mencatatnya.' Maka Allah bertanya -dan Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya-: 'Apa yang diucapkan hamba-Ku?' Kedua Malaikat itu menjawab: 'Wahai Rabb, dia mengatakan: 'Bagi-Mu segala puji sebagaimana kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kerajaan-Mu.' Maka Allah berfirman: 'Tulislah sebagaimana yang diucapkan hamba-Ku, hingga ia bertemu dengan-Ku lalu Aku memberinya balasan karenanya.'" (51)

Alif Laam pada Kata al-Hamdu untuk Istighraq

Alif Laam pada kata al-hamdu dimaksudkan untuk istighraq, yakni untuk mencakup segala jenis dan bentuk pujian hanya bagi Allah semata. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Ya Allah, bagi-Mu segala pujian seluruhnya, dan bagi-Mu seluruh kerajaan. Di tangan-Mu seluruh kebaikan dan kepada-Mu kembali segala urusan." (52)

Makna ar-Rabb

Ar-Rabb adalah pemilik, penguasa dan pengatur. Menurut bahasa, kata Rabb ditujukan kepada tuan dan kepada siapa yang berbuat untuk perbaikan. Semua itu benar bagi Allah Ta'ala. Kata ar-Rabb tidak digunakan untuk selain Allah, kecuali jika disambung dengan kata lain setelahnya, misalnya rabbud daar (pemilik rumah). Sedangkan nama ar-Rabb (secara mutlak) hanya boleh digunakan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Dan ada yang mengatakan bahwa itu adalah al-ismul a'zham (nama yang agung).

Makna al-'Aalamiin

Al-'Aalamiin adalah jamak dari 'alam yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah 'Azza wa Jalla. 'Aalam adalah bentuk jamak yang tidak memiliki bentuk mufrad (bentuk tunggal). Al-'Awaalim berarti berbagai macam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan maupun lautan. Dan setiap kurun atau generasi juga disebut 'aalam. Al-Farra' dan Abu 'Ubaid mengatakan: "Al-'Aalam adalah sebuah ungkapan bagi sesuatu yang berakal, yakni manusia, jin, Malaikat dan syaitan. Dan hewan tidak disebut alam."

Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dan Abu Muhaishin: "Al-'Aalam adalah segala sesuatu yang memiliki ruh dan hidup."

Qatadah berkata: "(Rabbil 'aalamiin) maka 'aalamiin adalah seluruh bentuk alam." Az-Zajjaj mengatakan: "Al-'Aalam adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia maupun akhirat."

Al-Qurthubi berkata: "Inilah yang benar, karena ia mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat), sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Fir'aun bertanya: 'Siapa Rabb semesta alam itu?' Musa menjawab: 'Rabb Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang ada di antara keduanya (itulah Rabbmu), jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayai-Nya." (QS. Asy-Syu'araa': 23-24)

Alasan Penamaan al-'Aalam

Kata al-'aalam terbentuk (musytaq) dari kata al-'allaamah. Aku (Ibnu Katsir) katakan: "Sebab, alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta menunjukkan keesaan-Nya." (53)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(44) Tafsiir ath-Thabari 1/135.

(45) Tafsiir ath-Thabari 1/137.

(46) Ibnu Abi Hatim 1/15.

(47) Ibnu Abi Hatim 1/13.

(48) Ahmad 3/435 dan an-Nasa-i dalam al-Kubra 4/416. Hasan: Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Adabul Mufrad no. 660.

(49) Tuhfatul Ahwadzi 9/324, an-Nasa-i dalam al-Kubra 6/208 dan Ibnu Majah 2/1249. Hasan: at-Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800. Lihat Shahiih at-Targhiib no. 1526.

(50) Ibnu Majah 2/1250. Shahih: Ibnu Majah no. 3805. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Jami' ash-Shaghiir no. 5563.

(51) Ibnu Majah 2/1249. Dha'if: Ibnu Majah no. 3801. Lihat Dha'iif at-Targhiib wat Tarhiib no. 961.

(52) At-Targhiib wat Tarhiib 2/253.

(53) Al-Qurthubi 1/139.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.