Saturday 18 March 2017

Al-Baqarah, Ayat 7 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Baqarah.

Al-Baqarah, Ayat 7.

"Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat." (QS. 2: 7)

As-Suddi mengatakan: "Khatamallaahu artinya Allah telah menutup dengan sesuatu yang melekat (thaba'a)." (44)

Berkaitan dengan ayat ini Qatadah mengatakan: "Syaitan telah menguasai mereka karena mereka mentaatinya. Maka Allah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, serta pandangan mereka ditutup, hingga tidak dapat melihat petunjuk, tidak dapat mendengarkan, memahami ataupun berfikir." (45)

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid, ia mengatakan bahwa kata khatama dalam firman Allah: "Khatamallaahu 'alaa quluubihim 'Allah mengunci mati hati mereka', artinya adalah ath-thab'u yaitu melekatnya dosa di hati, lalu dosa-dosa itu senantiasa mengelilinginya dari segala arah, sehingga berhasil bertemu (melekat kuat) dengan hati. Pertemuan dosa dengan hati inilah yang merupakan tutupan yang melekat (ath-thab'u)." (46)

Selanjutnya Ibnu Juraij mengatakan: "Yang ditutup rapat adalah hati dan pendengaran mereka." (47)

Ibnu Juraij berkata: 'Abdullah bin Katsir telah berkata kepadaku bahwasanya ia pernah mendengar Mujahid mengatakan: "Ar-Raan (noda-noda yang menempel di hati) lebih ringan daripada ath-thab'u (penutup yang melekat), dan ath-thab'u lebih ringan dari al-iqfaal (dikunci mati), serta al-iqfaal lebih berat dari semua itu." (48)

Al-A'masy berkata: "Mujahid mengisyaratkan kepada kami dengan tangannya seraya berkata: 'Mereka berpendapat bahwa perumpamaan hati seperti ini, yakni telapak tangan. Jika seseorang berbuat dosa, maka dosa itu menutupinya.' Sambil membengkokkan jari kelingkingnya, ia (Mujahid) mengatakan: 'Seperti ini. Jika ia berbuat dosa lagi, maka dosa itu menutupinya.' Mujahid membengkokkan jari yang lain ke telapak tangannya. Demikian seterusnya hingga seluruh jari jemari menutup telapak tangannya. Setelah itu Mujahid berkata: 'Hati mereka itu terkunci mati.' Dan Mujahid mengatakan: 'Mereka memandang bahwa hal itu adalah ar-rain (kotoran/ dosa).'" (49)

Al-Qurthubi berkata: "Ummat Islam telah sepakat bahwa Allah 'Azza wa Jalla telah menyifati diri-Nya dengan mengunci mati dan menutup hati orang-orang kafir sebagai balasan atas kekufuran mereka. Sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Bahkan, sebenarnya Allah telah menutup hati mereka karena kekafirannya." (QS. An-Nisaa': 155)

Lalu dia menyebutkan hadits tentang berbolak-baliknya hati.

Yaa muqallibal quluubi tsabbit quluubanaa 'alaa diinika
"Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatia kami di atas agama-Mu." (50)

Dia (al-Qurthubi) juga menyebutkan hadits Hudzaifah yang terdapat dalam kitab ash-Shahiih, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Berbagai fitnah yang menimpa hati laksana tikar yang dianyam lembar demi lembar. Mana saja hati yang terkena suatu fitnah, maka digoreskan satu noda hitam padanya. Dan mana saja hati yang menolak fitnah-fitnah itu, maka digoreskan padanya titik putih. Jadi, hati manusia itu terbagi dua. (Pertama) Hati yang putih seperti air jernih, yang tidak akan dicelakakan oleh fitnah apapun selama masih ada langit dan bumi. Dan (kedua), hati yang berwarna hitam kelam, bagaikan tempat minum yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak pula mengingkari kemungkaran." (51) (Dan hadits selanjutnya)

Ibnu Jarir berkata: "Menurut pendapatku dalam hal ini yang benar adalah hadits shahih yang semakna dengannya dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: 'Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Sesungguhnya apabila seorang mukmin berbuat suatu dosa, maka pasti ada titik hitam dalam hatinya. Apabila ia bertaubat dan mencabut dirinya dari dosa itu, serta mencari keridhaan Allah, maka hatinya menjadi mengkilap. Jika dosanya bertambah, maka bertambah pula titik itu sehingga meliputi hatinya. Itulah ar-raan yang Allah Ta'ala berfirman: 'Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menodai hati mereka.' (QS. Al-Muthaffifiin: 14).'" (52)

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan shahih." (53)

I'rab (*) Kata Ghisyaawah dan Maknanya

Perlu diketahui bahwa waqaf taam, yaitu berhenti sempurna saat membaca firman Allah: Khatamallaahu 'alaa quluubihim wa 'alaa sam'ihim "Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka", dan juga firman-Nya: Wa 'alaa ab-shaarihim ghi-syaawah "Serta penglihatan mereka ditutup", menunjukkan bahwa dua penggalan ayat di atas masing-masing merupakan kalimat sempurna. Penggalan pertama memberi pengertian bahwa yang dikunci mati adalah hati dan pendengaran mereka. Sedangkan ghisyaawah pada penggalan yang kedua adalah penutup pada pandangan.

As-Suddi dalam tafsirnya dari Ibnu Mas'ud ra-dhiyallaahu 'anhu, dan beberapa orang Shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, menerangkan tentang firman-Nya: "Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka", dengan berkata: "Oleh karena itu, mereka tidak dapat berfikir dan mendengar. Dan penutup (ghisyaawah) pada penglihatan mereka, membuat mereka buta." (54)

Penyebutan Orang-orang Munafik

Setelah menyebutkan sifat-sifat kaum mukminin pada empat ayat pertama surat al-Baqarah, dan menerangkan keadaan orang-orang kafir dengan kedua ayat di atas, kemudian Allah Sub-haanahu wa Ta'aala menjelaskan keadaan orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran.

Bersamaan dengan semakin samarnya kaum munafik di tengah-tengah manusia, maka Allah Sub-haanahu wa Ta'aala semakin sering menyebutkan sifat-sifat kemunafikan mereka, seperti Allah telah menurunkan surat Bara-ah (at-Taubah) dan surat al-Munaafiquun tentang keadaan mereka. Dalam surat an-Nuur dan surat-surat lainnya pun dijelaskan tentang keadaan mereka agar orang-orang menghindarinya dan tidak terjerumus ke dalam kemunafikan.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(44) Ibnu Abi Hatim 1/44.

(45) Ibnu Abi Hatim 1/44.

(46) Ibnu Abi Hatim 1/44.

(47) Tafsiir ath-Thabari 1/259.

(48) Tafsiir ath-Thabari 1/259.

(49) Tafsiir ath-Thabari 1/258.

(50) At-Tirmidzi no. 2140, 2587, dan Ibnu Majah no. 3834. Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' no. 7987, 7988.

(51) Muslim 1/128. no. 144.

(52) Tafsiir ath-Thabari 1/260.

(53) Tuhfatul Ahwadzi 9/254, an-Nasa-i dalam al-Kubra 6/509, dan Ibnu Majah 2/1418. Hasan: At-Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, dan lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 3141.

(*) Perubahan akhir kata dalam susunan bahasa Arab, -pent.

(54) Tafsiir ath-Thabari 1/266.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.