Sunday 12 March 2017

Muqaddimah Ibnu Katsir (2) | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Muqaddimah Ibnu Katsir (2).

Tafsir dengan ra'-yu (akal)

Adapun menafsirkan al-Qur-an dengan ra'-yu semata hukumnya haram, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Jarir rahimahullaah, dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Barangsiapa berbicara tentang al-Qur-an dengan akalnya atau dengan apa yang tidak dia ketahui ilmunya, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di Neraka."

Demikian yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Abu Dawud. At-Tirmidzi mengatakan, "Ini adalah hadits hasan." (12)

Diam (tidak berbicara) tentang ayat yang tafsirnya tidak diketahui.

Oleh karena itu sejumlah ulama Salaf menahan diri dari berbicara tentang masalah tafsir ayat yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Ma'mar, ia berkata: "Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu 'anhuma berkata:

"Bumi mana tempatku berpijak dan langit mana tempatku bernaung jika aku berbicara tentang Kitabullah apa yang tidak aku ketahui ilmunya." (13)

Demikian juga dari Anas bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu di atas mimbar membaca:

"Dan buah-buahan serta rumput-rumputan." (Qur-an Surat 'Abasa: ayat 31)

Maka ia berkata: "Adapun buah-buahan kita telah mengenalnya, lalu apa yang dimaksud dengan rumput-rumputan?" Lalu ia berkata kepada dirinya sendiri: "Ini adalah takalluf (memberatkan diri) wahai 'Umar." (14)

Hal ini dibawakan kepada makna bahwa ia radhiyallaahu 'anhu berkeinginan mengungkap ilmu tentang kaifiyat al-Abba. Sebab, pada asalnya makna al-Abba sudah jelas dan diketahui yaitu sejenis tanaman yang merambat di tanah. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah:

"Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran." (Qur-an Surat 'Abasa: ayat 27-28)

Ibnu Jarir rahimahullaah meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma pernah ditanya tentang sebuah ayat yang seandainya ditanyakan kepada orang selainnya niscaya orang itu akan menjawabnya namun Ibnu 'Abbas diam, tidak berbicara tentangnya. Sanadnya shahih. (15)

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu 'Abbas tentang ayat:

'...satu hari yang kadar (lama)nya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.' (Qur-an Surat as-Sajdah: ayat 5)

Maka Ibnu 'Abbas berkata kepadanya: 'Apa yang dimaksud dengan satu hari yang kadar (lama)nya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu?' Maka laki-laki itu berkata: 'Aku bertanya kepadamu agar engkau menjelaskannya kepadaku.' Ibnu 'Abbas menjawab: 'Itu adalah dua hari yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang keduanya.' Ibnu 'Abbas tidak suka berbicara tentang Kitabullah apa yang ia tidak mengetahui tentangnya." (16)

Al-Laits meriwayatkan dari Yahya bin Sa'id dari Sa'id bin al-Musayyab, ia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah berbicara tentang al-Qur-an, kecuali yang memang ia mengetahui ilmunya. (17)

Ayyub, Ibnu 'Aun, dan Hisyam ad-Dustuwa-i meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: "Aku bertanya kepada Abu 'Ubaidah yakni as-Salmani, tentang sebuah ayat al-Qur-an, maka ia berkata: 'Orang-orang yang mengetahui apa al-Qur-an diturunkan telah tiada. Maka bertakwalah kepada Allah dan hendaknya engkau senantiasa menetapi kebenaran.'" (18)

Dan asy-Sya'bi meriwayatkan dari Masruq, ia berkata: "Berhati-hatilah berbicara tentang tafsir, karena itu adalah riwayat dari Allah." (19)

Atsar-atsar yang shahih dan yang semisalnya dari para Shahabat dan imam-imam Salaf menunjukkan keengganan mereka berbicara tentang tafsir al-Qur-an yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Adapun barangsiapa yang berbicara tentang apa yang ia mengetahui ilmunya, baik secara bahasa maupun syar'i, maka tidak ada halangan baginya. Oleh karena itulah, diriwayatkan dari mereka dan juga selainnya tentang tafsir al-Qur-an. Hal ini tidaklah bertentangan, karena mereka berbicara tentang apa yang mereka memiliki ilmu tentangnya dan diam terhadap perkara yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Dan ini wajib bagi setiap orang. Sebagaimana ia wajib diam dalam perkara yang ia tidak mengetahui ilmunya. Demikian pula ia wajib menyampaikan perkara yang ditanyakan kepadanya, sedang ia memiliki ilmu tentangnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"...hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya..." (Qur-an Surat Ali 'Imran: ayat 187)

Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan:

"Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya pada hari Kiamat ia akan dibelenggu dengan belenggu dari api Neraka." (20)

Bentuk-bentuk tafsir

Ibnu Jarir rahimahullaah berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah meriwayatkan kepada kami Mu-ammal, telah meriwayatkan kepada kami Sufyan dari Abuz Zinad, ia berkata: "Telah berkata kepada kami Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma: 'Tafsir terbagi menjadi empat bentuk, yaitu tafsir yang dapat dimengerti oleh orang Arab bahasanya, tafsir yang tidak ada udzur bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya, tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama dan tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh Allah." (21)

Surat-surat Makkiyyah dan Madaniyyah

Hamman meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata: "Surat al-Qur-an yang turun di Madinah adalah surat al-Baqarah, Ali 'Imran, an-Nisaa', al-Maa-idah, Baraa-ah (at-Taubah), ar-Ra'du, an-Nahl, al-Hajj, an-Nuur, al-Ahzaab, Muhammad, al-Fat-h, al-Hujuuraat, ar-Rahmaan, al-Hadiid, al-Mujaadilah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, ash-Shaff, al-Jumu'ah, al-Munaafiquun, at-Taghaabun, ath-Thalaaq, at-Tahriim hingga ayat kesepuluh, az-Zalzalah, dan an-Nashr. Surat-surat ini turun di Madinah, sedangkan surat-surat lain semua diturunkan di Makkah. (22)

Jumlah ayat al-Qur-anul Karim

Jumlah ayat al-Qur-anul 'Azhim adalah 6000 ayat. Selebihnya para ulama berbeda pendapat. Ada yang tidak menambahkan lebih dari 6000 ayat. Ada yang menambahkannya 204 ayat. Ada yang menambahkannya 14 ayat. Ada yang menambahkannya 219 ayat, 225 ayat, atau 226 ayat. Dan ada juga yang menambahkannya 236 ayat. Demikian yang diceritakan oleh Abu 'Amr ad-Dani dalam kitab al-Bayaan.

Jumlah kata dan hurufnya

Adapun jumlah kata-katanya, al-Fadhl bin Syadzan meriwayatkan dari 'Atha' bin Yasar, ia berkata: "(Jumlah kata dalam al-Qur-an adalah) tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan (77439) kata."

Adapun jumlah hurufnya, 'Abdullah bin Katsir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: "Menurut perhitungan kami jumlah huruf dalam al-Qur-an adalah tiga ratus dua puluh satu ribu seratus delapan puluh (321180) huruf." Al-Fadhl meriwayatkan dari 'Atha' bin Yasar bahwa jumlahnya tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas (323015) huruf. Sallam Abu Muhammad al-Himmani mengatakan bahwa al-Hajjaj mengumpulkan par qari', hafizh, dan para penulis, lalu mengatakan: "Beritahukan kepadaku berapa jumlah huruf al-Qur-an seluruhnya?" Mereka menjawab: "Kami mengumpulkan dan menghitungnya. Jumlahnya adalah tiga ratus empat puluh ribu tujuh ratus empat puluh (340740) huruf."

Pembagian lain bagi al-Qur-an

Kemudian, ia (al-Hajjaj) berkata: "Mereka pun memberitahukan kepadaku bahwa bagian paling tengah dari al-Qur-an adalah huruf fa' dalam surat al-Kahfi, pada kata {وَلْيَتَلَطَّفْ}. Sepertiga pertamanya adalah ayat seratus dari surat Baraa-ah (at-Taubah), sepertiga keduanya adalah ayat seratus atau seratus satu dari surat asy-Syu'araa'. Dan selanjutnya adalah sepertiga terakhir. Sepertujuh pertama adalah sampai huruf dal pada firman Allah (Qur-an Surat an-Nisaa': ayat 55): {وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ}. Sepertujuh yang kedua sampai huruf ta' pada firman Allah dalam surat al-A'raaf: {حَبِطَتْ}. Sepertujuh ketiga sampai huruf alif kedua pada firman Allah dalam surat ar-Ra'd: {أُكُلَهَا}. Sepertujuh keempat sampai huruf alif pada firman Allah dalam surat al-Hajj: {جَعَلْنَا مَنْسَكًا}. Sepertujuh kelima sampai huruf ha' pada firman Allah dalam surat al-Ahzaab: {وَمَا كَانَ لِمُوءْ مِنٍ وَلَا مُوءْ مِنَةٍ}. Sepertujuh keenam sampai huruf wawu pada firman Allah dalam surat al-Fat-h: {الظَّانِّيْنَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ}. Sepertujuh terakhir sampai akhir al-Qur-an.

Sallam Abu Muhammad berkata: "Kami menelitinya selama empat bulan." Mereka mengatakan: "Al-Hajjaj biasa membaca seperempat al-Qur-an pada setiap malam."

"Seperempat pertama sampai akhir surat al-An'aam. Seperempat kedua sampai firman Allah {وَلْيَتَلَطَّفْ} dalam surat al-Kahfi. Seperempat ketiga hingga akhir surat az-Zumar. Dan seperempat terakhir sampai akhir al-Qur-an.

Syaikh Abu 'Amr ad-Dani menceritakan dalam kitabnya al-Bayaan sesuatu yang berbeda dengan penjelasan di atas, wallaahu a'lam.

Pembagian hizb dan juz

Adapun pembagian hizb dan juz, maka telah masyhur bahwa al-Qur-an terdiri dari 30 juz sebagaimana didapati pada mush-haf di madrasah-madrasah dan yang lainnya. Dan telah kami sebutkan sebuah hadits tentang pembagian hizb al-Qur-an yang dilakkan oleh para Shahabat radhiyallaahu 'anhum. Dan sebuah hadits dalam Musnad al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibni Majah dan yang lainnya dari Aus bin Hudzaifah bahwa ia bertanya kepada para Shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam semasa hidupnya, bagaimanakah mereka membagi hizb al-Qur-an? Mereka mengatakan: sepertiga, seperlima, sepertujuh, sepersembilan, sepersebelas, sepertiga belas, dan hizb-hizb mufashshal (surat-surat pendek mulai dari surat Qaaf) hingga selesai. (23)

Makna "surat" dan pecahan kalimat

(Pasal) Para ulama berbeda pendapat tentang makna "سُوْرَةٌ", dari manakah kata ini berasal. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah suatu tempat yang jelas dan tinggi. An-Nabighah berkata:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةٌ
تَرَى كُلَّ مَلَكٍ دُوْنَهَا يَتَذَ بْذَبُ

"Tidakkah engkau lihat Allah telah memberimu tempat yang tinggi
Engkau dapat melihat seluruh kerajaan terbentang di bawahnya"

Seolah-olah seorang pembaca al-Qur-an berpindah dengan surat dari satu tempat ke tempat lain. Dikatakan pula bahwa maknanya adalah kemuliaan dan ketinggian. Seperti batas suatu begeri (yang biasanya berupa pagar yang tinggi, -pent). Dikatakan pula bahwa dinamakan surat karena ia merupakan potongan dari al-Qur-an dan bagian darinya. Diambil dari kata as-aarul inaa', yaitu pecahan suatu bejana. Berdasarkan hal ini maka asalnya adalah mahmuz (mengandung huruf hamzah), lalu diringankan hamzahnya, kemudian diganti dengan huruf wawu lalu dilebur ke dalamnya, jadilah kata suurah. Dikatakan juga bahwa disebut surah karena kesempurnaan dan kelengkapannya, karena orang Arab menyebut unta yang sempurna dengan sebutan suurah.

(Aku katakan:) Kemungkinan, kata ini berasal dari makna penggabungan dan pembatasan bagi ayat-ayatnya. Sebagaimana disebut suwarul balad, yaitu batas negeri, karena batas ini mengelilingi rumah-rumah dan tempat tinggal di dalamnya. Bentuk jamak dari kata suurah ini adalah suwar (سُوَرٌ), dengan memfat-hahkan huruf wawu. Dan kadangkala dijamakkan dengan kata suuraat (سُوْرَاتٌ) atau suwaraat (سُوَرَاتٌ).

Makna "al-Ayah" (Ayat)

Adapun ayat, diambil dari makna alamat (tanda) atas pemenggalan suatu kalimat yang sebelumnya dari kalimat setelahnya, dan pemisahnya. Jadi, kalimat ini berbeda dengan kalimat setelahnya dan terpisah darinya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

...إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ...

"...Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja..." (QS. Al-Baqarah: 248)

Dikatakan: "Disebut ayat karena ia adalah keajaiban yang mana manusia tidak akan mampu membuat semisalnya." Sibawaih berkata: "Asalnya adalah ayayah (أَيَيَة), seperti akamah (أَكَمَةٌ) dan syajarah (شَجَرَةٌ), dengan huruf yaa' diharakatkan dan huruf yang sebelumnya (hamzah) difath-hahkan. Lalu huruf yaa" diubah menjadi alif menjadi (اية), dengan huruf hamzah yang dipanjangkan."

Al-Kisa-i berkata: "Asalnya (ايية), menuruti wazan (امنة) (aaminah). Lalu huruf yaa' diubah menjadi alif kemudian dihapus karena bercampur dengan alif sebelumnya."

Al-Farra' berkata: "Asalnya dari kata ayyah (ايّة) dengan huruf yaa' ditasydid. Kemudian huruf yaa' yang pertama diubah menjadi alif untuk menghindari tasydid sehingga menjadi (اية). Bentuk jamaknya (اي), (أيات) dan (اياي).

Makna "al-Kalimah" (Kata)

Adapun al-kalimah (kata) adalah satu lafazh. Kadang terdiri dari dua huruf -seperti (ما), (لا) dan lain-lain- dan kadangkala terdiri lebih dari dua huruf, dan paling banyak terdiri dari sepuluh huruf -seperti (لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ), (أَنُلْزِمُكُمُوْهَا), (فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ). Kadangkala satu kata merupakan satu ayat tersendiri, misalnya: (وَالْفَجْرِ), (وَالضُّحَى), dan (وَالعَصْرِ). Demikian juga (الم), (طه), (يس), (حم). Menurut para ulama Kufah, (حم), (عسق), adalah dua kalimah. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa kata seperti ini bukan ayat, tetapi pembuka-pembuka surat. Abu 'Amr ad-Dani mengatakan: "Aku tidak mengetahui satu kata yang berdiri sebagai sebuah ayat kecuali firman Allah Ta'ala: (مُدْ هَا مَّتَان), dalam surat ar-Rahman.

Al-'Ajamiyyah (kata-kata selain Arab) dalam al-Qur-an

(Pasal) Al-Qurthubi berkata: "Para ulama sepakat bahwa di dalam al-Qur-an tidak ada satu pun susunan bahasa 'ajam (selain Arab). Dan mereka sepakat bahwa di dalam al-Qur-an disebutkan beberapa nama 'ajam, seperti Ibrahim, Nuh serta Luth. Lalu mereka berbeda pendapat apakah di dalam al-Qur-an masih ada kata-kata 'ajam (non Arab) selain itu? Al-Baqilani dan ath-Thabari mengingkarinya. Keduanya berkata: "Adapun kata-kata dalam al-Qur-an yang mirip dengan kata-kata 'ajam, maka itu termasuk ke dalam bab kata-kata yang biasa digunakan untuk semua bahasa."

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(12) Tafsiir ath-Thabari 1/77, Tuhfatul Ahwadzi 8/277, an-Nasa-i dalam Fadhaa-ilul Qur-aan nomor 114, Abu Dawud dalam al-'Ilmu min Riwayati Abil Hasan bin al-'Abdi -dikatakan oleh al-Mizzi dalam al-Athraaf 4/423. Dha'if. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi nomor 2951, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu. Lihat pula Silsilah adh-Dha'iifah nomor 1783.

(13) Tafsiir ath-Thabari 1/78.

(14) Tafsiir ath-Thabari 24/229.

(15) Tafsiir ath-Thabari 1/86.

(16) Tafsiir ath-Thabari 23/602.

(17) Tafsiir ath-Thabari 1/86.

(18) Tafsiir ath-Thabari 1/86.

(19) Tafsiir ath-Thabari 1/86.

(20) Ahmad 2/101, 305, 495, Tuhfatul Ahwadzi 7/407, dan al-Hakim 1/101. Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 3658, at-Tirmidzi nomor 2649, Ibnu Majah nomor 264, 266. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah, lihat kitab Shahiih at-Targhib wa at-Tarhiib nomor 120.

(21) Tafsiir ath-Thabari 1/75.

(22) Al-Itqaan 1/28.

(23) Ahmad 4/9, Abu Dawud 2/114, dan Ibnu Majah 1/427. Dha'if. Abu Dawud nomor 1339, Ibnu Majah nomor 1345. Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah. Lihat Dha'iif Sunan Abi Dawud nomor 297 dan Dha'iif Sunan Ibni Majah nomor 2, 83.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.