Monday 13 March 2017

Al-Baqarah, Ayat 2 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Baqarah.

Tiga Golongan Manusia dalam Menghadapi al-Qur-an, -pent

Al-Baqarah, Ayat 2.

Golongan Mukmin, -pent

Dzaalikal kitaabu laa raiba fiihi hudal lilmuttaqiin.
"Kitab (al-Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS. 2: 2)

Tidak Ada Keraguan di dalam al-Qur-an.

Yang dimaksud dengan al-Kitab adalah al-Qur-an. Sedangkan ar-raib adalah keraguan. As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Shalih, dari Ibnu 'Abbas, dari Murrah al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari beberapa orang Shahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam: Laa raiba fiihi maknanya adalah tidak ada keraguan di dalamnya. (19)

Hal senada juga dikatakan oleh Abud Darda', Ibnu 'Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Abu Malik, Nafi' maula Ibnu 'Umar, 'Atha', Abul 'Aliyah, ar-Rabi' bin Anas, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi, Qatadah, dan Isma'il bin Abi Khalid.

Ibnu Abi Hatim mengatakan: "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini." (20)

Maknanya bahwa al-Qur-an ini sama sekali tidak mengandung keraguan di dalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat as-Sajdah:

"Alif laam miim. Turunnya al-Qur-an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Rabb semesta alam." (QS. As-Sajdah: 1-2)

Sebagian mereka mengatakan bahwa yang demikian itu adalah kabar yang berarti larangan. Artinya, jangan kalian meragukannya.

Di antara para Qurra' ada yang menghentikan bacaannya ketika sampai pada kata "laa raiba" dan memulainya kembali dengan firman-Nya: "fiihi hudal lilmuttaqiin".

Ada juga yang menghentikan bacaan pada kata "laa raiba fiihi". Bacaan yang terakhir ini lebih tepat. Karena dengan bacaan seperti itu, maka firman-Nya "hudan" menjadi sifat bagi al-Qur-an itu sendiri. Dan kalimat itu lebih baik dan mendalam dari sekedar pengertian yang menyatakan adanya petunjuk di dalamnya "fiihi hudan".

"Hudan" ditinjau dari segi bahasa Arab bisa berkedudukan marfu' sebagai na'at (sifat) dan bisa juga manshub sebagai hal (keterangan keadaan).

Dikhususkannya Hidayah bagi Orang-orang yang Bertakwa

Hidayah ini hanya dikhususkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana Allah berfirman:

"Al-Qur-an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan al-Qur-an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh." (QS. Fushshilat: 44)

Dia juga berfirman:

"Dan Kami turunkan dari al-Qur-an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur-an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian." (QS. Al-Israa': 82)

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan pengkhususan orang-orang yang beriman bahwa hanya merekalah yang dapat mengambil manfaat dari al-Qur-an, karena al-Qur-an itu sendiri adalah petunjuk, dan tidak ada yang bisa meraihnya kecuali orang-orang yang berbuat ketaatan. Sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala:

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus: 57)

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud dan beberapa Shahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, bahwa makna firman Allah: "hudal lilmuttaqiin" berarti cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.

Makna Muttaqin

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Al-muttaqiin adalah orang-orang mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa berbuat taat kepada-Nya."

Diriwayatkan juga dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: "Al-muttaqiin adalah orang-orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah Ta'ala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung dalam petunjuk tersebut."

Qatadah berkata: "Al-muttaqiin adalah mereka yang disifati oleh Allah Sub-haanahu wa Ta'aala dalam firman-Nya: "(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat," (QS. Al-Baqarah: 3) dan ayat selanjutnya.

Dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir bahwa ayat ini mencakup semua itu, dan pendapat inilah yang benar.

At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari 'Athiyyah as-Sa'di ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Tidaklah seorang hamba meraih derajat muttaqiin (orang-orang yang bertakwa) hingga ia meninggalkan apa yang boleh ia lakukan untuk menghindari apa yang tidak boleh ia lakukan.'"

At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan gharib." (21)

Hidayah (Petunjuk) itu Ada Dua Macam

Yang dimaksud dengan huda (petunjuk) adalah keimanan yang tertanam di dalam hati. Dan tidak ada yang dapat meletakkannya di hati manusia kecuali Allah Sub-haanahu wa Ta'aala. Dalam hal ini Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (QS. Al-Qashash: 56)

Dia juga berfirman: "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 272)

Dia juga berfirman: "Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tidak ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Al-A'raaf: 186)

Dan Dia berfirman: "Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya." (QS. Al-Kahfi: 17)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Juga dimaksudkan sebagai penjelasan tentang kebenaran, pembuktiannya, serta bimbingan menuju kepadanya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syuuraa: 52)

Dia berfirman: "Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Ar-Ra'd: 7)

Dia juga berfirman: "Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu." (QS. Fushshilat: 17)

Dan Dia berfirman: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS. Al-Balad: 10)

Yang dimaksud dengan dua jalan adalah jalan kebaikan dan jalan keburukan, dan inilah yang lebih tepat. Wallaahu a'lam.

Makna Takwa

Takwa pada dasarnya berarti menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, karena kata taqwa berasal dari kata al-wiqaayah (penjagaan).

Dikatakan bahwa 'Umar bin al-Khaththab ra-dhiyallaahu 'anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab ra-dhiyallaahu 'anhu mengenai takwa. Lalu Ubay bertanya kepadanya: "Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?" 'Umar menjawab: "Ya." Ubay bertanya lagi: "Lalu apa yang engkau lakukan?" 'Umar menjawab: "Aku akan berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk menghindarinya." Lalu Ubay mengatakan: "Itulah takwa." (22)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(19) Tafsiir ath-Thabari 1/228.

(20) Ibnu Abi Hatim 1/31.

(21) Tuhfatul Ahwadzi 7/147 dan Ibnu Majah 2/1409. Dha'if: At-Tirmidzi no. 2451, Ibnu Majah no. 4215. Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam kitabnya Dha'iif at-Targhiib no. 1081.

(22) Tafsiir al-Baghawi 1/59, Jaami'ul 'Uluum wal Hikam 1/160.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.