Tuesday 28 March 2017

Al-Baqarah, Ayat 19-20 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Ustadz Abu Ihsan al-Atsari.

Surat al-Baqarah.

Al-Baqarah, Ayat 19-20.

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan jari-jemarinya, karena (mendengar suara) petir, dengan sebab takut akan mati. Dan (pengetahuan serta kekuasaan) Allah meliputi orang-orang yang kafir. (QS. 2: 19) Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. 2: 20)

Perumpamaan Lain Bagi Orang-orang Munafik

Inilah perumpamaan lain yang Allah misalkan mengenai orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang terkadang melihat kebenaran, dan di lain waktu mereka ragu. Hati mereka yang berada dalam keraguan, kekufuran, dan rasa bimbang itu diumpamakan seperti hujan lebat (ka-shayyibi). Ash-shayyib berarti hujan. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, dan beberapa Shahabat lainnya ra-dhiyallaahu 'anhum. (80) Demikian pula Abul 'Aliyah, Mujahid, Sa'id bin Jubair, 'Atha', al-Hasan Bashri, Qatadah, 'Athiyyah al-'Aufi, 'Atha' al-Kurasani, as-Suddi dan ar-Rabi' bin Anas. (81)

Adh-Dhahhak mengatakan, "Ash-shayyib maksudnya adalah awan." (82)

Menurut pendapat yang masyhur, ash-shayyib adalah hujan yang turun dari langit dalam keadaan gelap gulita. Kegelapan itu adalah keraguan, kekufuran dan kemunafikan. Wa ra'dun (Dan petir/ halilintar) adalah perumpamaan ketakutan yang menggoncangkan hati.

Termasuk keadaan orang-orang munafik itu adalah ketakutan dan kecemasan yang sangat, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka." (QS. Al-Munaafiquun: 4)

Dia juga berfirman:

"Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (Nama) Allah, bahwa mereka termasuk golonganmu, padahal mereka bukan dari golonganmun, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). Jikalau mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya." (QS. At-Taubah: 56-57)

Adapun "al-barqu" maknanya adalah kilat yang terkadang menyinari hati orang-orang munafik, yakni cahaya keimanan. Oleh karena itu Allah berfirman: "Mereka menyumbat telinganya dengan jari-jemarinya, karena (mendengar suara) petir, dengan sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir." Yakni, ketakutan mereka sama sekali tidak bermanfaat karena Allah telah meliputi mereka dengan kekuasaan-Nya dan mereka itu berada di bawah kehendak dan keinginan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman:

"Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (yaitu kaum) fir'aun dan (kaum) tsamud. Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka." (QS. Al-Buruuj: 17-20)

Kemudian Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka," disebabkan kuat dan dahsyatnya kilat tersebut, di samping lemahnya penglihatan mata hati dan ketidakteguhan mereka dalam beriman.

'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma, tentang ayat: "Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka," ia mengatakan, "Nyaris saja ayat-ayat muhkam al-Qur-an membongkar kebusukan orang-orang munafik." (83)

'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang firman Allah: "Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu," ia berkata: "Setiap kali orang-orang munafik mencicipi kejayaan Islam mereka merasa nyaman, dan jika Islam menghadapi kesulitan mereka ingin segera kembali kepada kekufuran." (84)

Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu." (QS. Al-Hajj: 11)

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang firman Allah: "Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti," bahwa maknanya mereka mengenal kebenaran dan membicarakannya, serta mereka beristiqamah memegang ucapan mereka. Namun jika mereka berbalik kepada kekufuran, maka mereka berdiri kebingungan. (85)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abu 'Aliyah, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, ar-Rabi' bin Anas, dan as-Suddi dengan sanadnya dari beberapa orang Shahabat ra-dhiyallaahu 'anhum. Dan inilah yang benar dan jelas, wallaahu a'lam. (86)

Keadaan itulah yang akan mereka alami pada hari Kiamat kelak, ketika manusia memperoleh cahaya sesuai dengan kadar keimanannya. Sebagian dari mereka ada yang diberi cahaya yang dapat menerangi perjalanan sejauh beberapa farsakh. (87) Dan ada yang mendapatkan lebih atau kurang dari itu. Sebagian lagi ada yang cahayanya terkadang padam dan terkadang menyala, maka dia pun terkadang berjalan di atas ash-shirath dan kadang berhenti. Ada pula yang cahayanya mati sama sekali, yaitu orang munafik sejati (tulen), yang Allah Ta'ala berfirman tentang mereka:

"Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: 'Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.' Dikatakan (kepada mereka): 'Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).'" (QS. Al-Hadiid: 13)

Dan Allah berfirman tentang orang-orang yang beriman dengan sebenarnya:

"(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): 'Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. Al-Hadiid: 12)

Serta firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala:

"Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: 'Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.'" (QS. At-Tahriim: 8)

Hadits-hadits Dalam Masalah Ini

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud ra-dhiyallaahu 'anhu tentang firman Allah: "Sedang cahaya mereka memancar di hadapan mereka," (QS. At-Tahriim: 8) ia berkata: "Mereka akan melewati ash-shirath menurut kadar 'amalnya. Ada yang cahayanya sebesar gunung. Ada yang cahayanya sebesar pohon kurma. Dan cahaya yang paling kecil adalah sebesar ibu jari, terkadang bercahaya dan terkadang redup." (88)

Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma, ia berkata: "Setiap ahli tauhid pasti diberikan cahaya pada hari Kiamat. Adapun orang munafik, cahayanya akan padam. Orang mukmin merasa takut ketika melihat cahaya orang munafik yang padam, maka mereka berdo'a:

"Wahai Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami bagi kami." (QS. At-Tahriim: 8) (89)

Adh-Dhahhak bin Muzahim berkata: "Akan diberikan cahaya di akhirat kepada siapa saja yang menunjukkan keimanan di dunia. Tatkala hendak melewati ash-shirath, cahaya orang munafik padam, maka melihat hal itu orang-orang mukmin merasa takut dan mereka berdo'a: 'Wahai Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami bagi kami.' (QS. At-Tahriim: 8)."

Jenis-jenis Orang Mukmin, Orang Kafir dan Orang Munafik

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia terbagi menjadi beberapa jenis. (Pertama), mukmin sejati, yakni meraka yang disifatkan pada empat ayat pertama surat al-Baqarah. (Kedua), kafir sejati, yakni mereka yang disifatkan pada dua ayat setelahnya. Dan (ketiga) orang-orang munafik, mereka terbagi dua: Pertama, orang-orang munafik 'tulen', merekalah yang disebutkan dalam perumpamaan api (seperti orang yang menyalakan api...dan seterusnya). Dan kedua, orang-orang munafik yang ragu-ragu. Terkadang tampak pada mereka cahaya iman dan terkadang meredup. Merekalah yang disebutkan dalam perumpamaan air hujan (seperti orang yang ditimpa hujan lebat...dan seterusnya). Keadaan mereka ini lebih ringan daripada yang pertama.

Kemudian Allah membuat perumpamaan tentang orang-orang kafir yang mereka merasa yakin berada di atas petunjuk, padahal mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka adalah orang-orang jahil (bodoh) dengan jahil murakkab (kebodohan yang sangat), yang Allah berfirman tentang mereka:

"Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sedikit pun." (QS. An-Nuur: 39)

Kemudian Allah membuat permisalan orang kafir yang jahil, yakni jahil basiith (sedang). Mereka adalah orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka:

"Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan, gelap gulita yang bertindih-tindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tidaklah dia mempunyai cahaya sedikit pun." (QS. An-Nuur: 40)

Di sini orang kafir terbagi menjadi dua, yaitu orang kafir yang menyeru (kepada kekafiran) dan orang kafir yang hanya ikut-ikutan (muqallid), sebagaimana yang Allah Ta'ala sebutkan pada awal surat al-Hajj:

"Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa 'ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat." (QS. Al-Hajj: 3)

Dan Dia berfirman:

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa 'ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab (wahyu) yang bercahaya." (QS. Al-Hajj: 8)

Allah juga telah membagi orang-orang yang beriman di awal dan di akhir surat al-Waaqi'ah, juga pada surat al-Insaan menjadi dua bagian, pertama, saabiquun yaitu mereka yang didekatkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, dan kedua adalah ash-haabul yamiin, yaitu orang-orang yang berbuat kebajikan.

Kesimpulan dari ayat-ayat di atas bahwa orang-orang yang beriman terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang-orang yang didekatkan dan orang-orang yang berbuat kebajikan. Orang-orang kafir juga terbagi dua, yaitu penyeru (kepada kekafiran) dan muqallid (hanya ikut-ikutan). Demikian pula orang-orang munafik terbagi dua, yaitu munafik sejati dan munafik yang dalam dirinya ada sebagian unsur kemunafikan, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) yang diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amr ra-dhiyallaahu 'anhu, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Ada tiga perkara yang apabila semuanya terdapat pada diri seseorang, maka ia adalah seorang munafik tulen. Dan barangsiapa yang dalam dirinya terdapat salah satu dari ketiganya, maka dirinya terkena salah satu sifat kemunafikan, hingga ia meninggalkannya. (Pertama), orang yang apabila berbicara ia berdusta. (Kedua) apabila berjanji ia ingkar, dan (ketiga) apabila diberi kepercayaan ia khianat." (90)

Hadits ini dijadikan dalil bahwa dalam diri manusia mungkin saja terdapat cabang keimanan dan juga cabang kemunafikan, baik yang bersifat 'amali (perbuatan) yakni yang disebutkan dalam hadits ini ataupun i'tiqadi (keyakinan) sebagaimana yang disebutkan dalam ayat.

Jenis-jenis Hati

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Hati itu ada empat jenis: (Pertama) hati yang bersih, yang di dalamnya ada semacam pelita yang bersinar. (Kedua) hati yang tertutup lagi terikat. (Ketiga) hati yang terbalik, dan (keempat) hati yang berlapis. Hati yang bersih itu adalah hati seorang mukmin, maka pelita yang ada di dalamnya itu adalah cahaya hati. Adapun hati yang tertutup adalah hati orang kafir. Sedangkan hati yang terbalik adalah hati orang munafik sejati, ia mengenal Islam kemudian ingkar. Sedangkan hati yang berlapis adalah hati orang yang di dalamnya terdapat keimanan dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam hati laksana sayur-sayuran yang disiram air bersih. Dan perumpamaan kemunafikan dalam hati laksana luka yang berlumuran nanah dan darah. Maka, mana saja di antara keduanya (darah iman dan nanah kemunafikan) yang mengalahkan yang lainnya, itulah yang akan menguasainya.'" (91)

Sanad hadits ini jayyid lagi hasan. (92)

Dan firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala:

"Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 20)

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma tentang firman Allah Ta'ala: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka," ia mengatakan: "(Dilenyapkan) karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya." Tentang firman-Nya: "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu," Ibnu 'Abbas mengatakan: "Artinya, Allah 'Azza wa Jalla berkuasa memberikan adzab ataupun ampunan kepada hamba-hamba-Nya." (93)

Ibnu Jarir mengatakan: "Sesungguhnya Allah menyifati diri-Nya dengan ke-Mahakuasaan atas segala sesuatu dalam hal ini, karena Dia hendak mengingatkan orang-orang munafik akan kekuatan dan keperkasaan-Nya. Dan Allah juga memberitahukan kepada mereka bahwa Dia meliputi mereka serta sanggup melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka." (94)

Ibnu Jarir dan kebanyakan ahli tafsir yang mengikuti beliau berpendapat bahwa kedua perumpamaan tersebut ditujukan untuk satu jenis munafik sehingga kata "aw" (atau) dalam firman Allah: "Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit," (QS. Al-Baqarah: 19) bermakna "wa" (dan) seperti dalam firman Allah: "Dan janganlah kamu iktui orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka." (QS. Al-Insaan: 24)

Bisa juga "aw" (atau) di situ bermakna takhyiir (pilihan/ alternatif), yaitu dibuat perumpamaan pertama bagi mereka, dan jika ingin, bisa juga dengan perumpamaan kedua. Al-Qurthubi berkata: "Kata "aw" (atau) bermakna tasaawi (penyamarataan). Seperti dalam kalimat: "jaalisil hasana aw ibna siriina" (duduklah bersama al-Hasan atau bersama Ibnu Sirin). Seperti yang dijelaskan oleh az-Zamakhsyari bahwa keduanya sama, yaitu sama-sama boleh duduk bersamanya. Jadi, berdasarkan pendapat ini makna firman Allah tersebut adalah sama, perumpamaan manapun yang dibuatkan bagi mereka, yang pertama ataupun yang kedua, keduanya sesuai dengan keadaan mereka."

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

(80) Tafsiir ath-Thabari 1/334.

(81) Ibnu Abi Hatim 1/66.

(82) Ibnu Abi Hatim 1/67.

(83) Tafsiir ath-Thabari 1/349.

(84) Tafsiir ath-Thabari 1/349.

(85) Tafsiir ath-Thabari 1/346.

(86) Ibnu Abi Hatim 1/75.

(87) 1 farsakh = 3 mil, -pent.

(88) Tafsiir ath-Thabari 23/179.

(89) Al-Hakim 2/495.

(90) Fat-hul Baari 1/111, dan Muslim 1/78. Al-Bukhari no. 33, 34, Muslim no. 58, 59, tanpa kata "tsalaa-tsun". Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 2937.

(91) Ahmad 3/17.

(92) Akan tetapi menurut Syaikh al-Albani rahimahullaah sanad hadits ini dha'if dalam kitabnya Silsilah adh-Dha'iifah no. 5158. Begitu juga menurut Syaikh al-Arna'uth hafizhahullaah dalam al-Musnad 17/208 no. 11129, cet. Ar-Risalah.

(93) Ibnu Abi Hatim 1/76.

(94) Tafsiir ath-Thabari 1/361.

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.